WWW.Me | t i g a b e l a s

16 1 0
                                    

SMA Nagaswara pagi ini terlihat pecah lantaran jeritan heboh serta mayoritas penghuninya yang berlarian ke sana–ke mari akibat isu yang terdengar.

Faira, Shasa dan Uci yang baru menginjakkan kaki di pekarangan sekolah hanya bisa melirik kiri–kanan dengan alis terangkat. Penasaran namun tak sempat bertanya karena yang ingin ditanya pun tampak sibuk dengan diri sendiri. Dalam hati Faira hanya bisa menerka–nerka, melihat dari situasi dimana kubu kaum hawa yang lebih mendominasi maka ini pasti mengenai cowok.

“Ada apa, sih?” heran Shasa.

“Gosip baru mungkin.” Faira menjawab acuh sambil terus mengayunkan kakinya menyusuri koridor menuju kelasnya.

Uci masih celingak–celinguk ke belakang, melihat reaksi anak cewek bak mendapat hadiah lotre. “Gosip panas pasti, nih.”

Dan benar saja, Faira dan kedua sahabatnya yang masih di ambang pintu masuk kelas sudah mendengar jeritan heboh Rina si penghibah ulung di kelas. Gadis itu tampak membahas sesuatu dengan wajah berbinar, sesekali kakinya terhentak kuat lantaran tak kuasa menahan euforia.

“Anak–anak kenapa pada gila?” tanya Faira pada Nuga yang memang selalu datang lebih awal dan sudah duduk anteng di bangkunya kala Faira dan sahabatnya memasuki kelas.

“Kesurupan mungkin.” Nuga menjawab pelan, tetap melanjutkan bacaannya pada buku pelajaran yang ia letakkan di meja.

“Nggak asik, lo. Orang pada heboh gitu, masih juga sempat–sempatnya baca buku,” rutuk Uci tidak puas dengan jawaban Nuga. Juga, karena cowok itu malah asik dengan dunianya sendiri.

“Gue pelajar, bukan lambe turah.”

Uci bergerak merebut buku bacaan Nuga karena kesal mendengar kalimat sindiran yang keluar dari mulut cowok itu.

Nuga hanya pasrah saja. Badan yang tadinya tegak kini ia sandarkan pada sandaran kursi sebelum menoleh ke arah Faira yang tengah membuka jendela.

“Merasa lebih baik?”

Faira berbalik menghadap Nuga setelah berhasil meloloskan udara pagi memasuki kelasnya. “Hm. Thanks untuk obatnya,”

Nuga mengangguk puas. Setidaknya rona merah sudah kembali bersemu di wajah gadis itu. Tidak lagi sepucat mayat seperti saat Faira memasuki apartemennya kemarin. Saat Nuga meninggalkan Faira untuk beristirahat, Nuga menyempatkan pulang untuk meminta obat penambah darah kepada Papanya. Sedikit demi sedikit Nuga mulai belajar ilmu medis bermodalkan buku kesehatan juga berguru langsung kepada ahlinya, yang tak lain adalah Papanya sendiri.

Nuga kemudian berbincang dengan Faira mengenai menu makanan sehat yang wajib ia santap setelah melakukan donor darah. Papanya juga menyarankan agar Faira berhenti melakukan donor darah, jika insomnia yang dideritanya belum teratasi. Namun Faira bukan orang yang bisa dilarang, gadis itu bahkan sudah memperingatkan untuk tidak menghentikannya saat di apartemen kemarin dengan jaminan bahwa dia akan berhenti sendiri jika ada kesempatan untuk melakukan itu.

“What?!”

Faira dan Nuga yang asik berbincang menjengit kaget akibat pekikan Uci yang entah sejak kapan sudah bergabung dengan kerumunan penghibah di depan sana.

“Uci, suara lo bikin budeg tahu, nggak!” teriak Faira dari bangkunya. Nuga yang duduk di samping Faira pun spontan mengusap telinganya yang berdeging.

“Suara lo juga bikin gue budeg,” gumam Nuga yang membuat Faira cengegesan.

“Sorry.”

Rina yang mendengar suara Faira pun bergegas mendekat ke meja gadis itu. “Ra, lo kemana aja, dua hari nggak masuk sekolah?”

“Gue ada urusan keluarga,” ucap Faira santai. “Kenapa? kangen, lo?”

“Ho’oh. Kangen banyolan, lo.” Rina terkikik sendiri mendengar ucapannya. “ Nuga, Shasa sama Uci juga nggak asik pas lo nggak masuk. Udah kayak putus cinta gitu mukanya.”

Faira terkekeh sambil melirik Nuga yang tampak kesal mendengar ujaran Rina.

“Faira, my bestie! Astaga, kemarin gue dimarahin Pak Asto, woy! Marahin balik, gih!” teriak Rehan yang dibalas acungan jempol oleh Faira.

Faira dan pak Asto— guru seni budaya, memang tak pernah akur sejak awal pembelajaran. Semuanya bermula dari isu bahwa Faira memiliki suara merdu saat PLS sehingga pak Asto merekomendasikan Faira di ekskul musik. Namun sayang, saat melakukan tes, pak Asto tampak meraup kasar wajahnya akibat kecewa. Suara Faira memang merdu, tapi sayangnya buta not. Nada dan lirik menjadi berantakan begitu Faira mulai bernyanyi.

“Kamu menipu saya?!”

“Bapak yang nggak nanya dulu, main bawa saya ke sini. Saya nggak pernah nyanyi pake mic, Pak. Takut mic nya pecah karena nada tinggi saya.”

Karena malu dengan guru musik akibat salah memilih kandidat, pak Asto sepertinya menyimpan dendam tersendiri pada Faira. Terbukti jika guru itu memasuki kelasnya, Faira akan selalu menjadi target utama. Sudah tahu buta not, malah disuruh baca not balok. Ya, Faira asal sebut saja sampai disemprot habis–habisan oleh mulut pedas pak Asto.

“Hati–hati, Ra. Pak Asto duda lho, jangan sampai jadi jodoh lo!” ledek Malvin sudah terbahak di deret depan bersama anak–anak lain.

Faira mengumpati Malvin yang asal bicara. Ucapan itu kan doa. “Doain gue jadi mantu presiden, dong. Biar kalian bisa main di Istana Negara.”

Gelak tawa kembali mengudara begitu Faira menyelesaikan kalimatnya. Nuga pun tak sanggup menahan tawa karena guyonan Faira tak berhenti bersahutan dengan penghuni kelas lainnya. Nuga memang tak begitu pandai bersosialisasi, namun bersama Faira entah kenapa Nuga bisa beradaptasi. Mungkin karena Faira pintar menyesuaikan suasana dan kepada siapa dia berbicara, itu sebabnya Nuga merasa nyaman dan nyambung saat berbicara dengannya.

“Oh, iya. Tadi ada gosip apa? Rame banget kayaknya?” Faira kemudian menyuarakan rasa penasaran akibat gosip misterius yang menyambut kedatangannya pagi ini.

Rina yang semula terbahak bersama yang lainnya mendadak menggebrak meja dengan semangat. “Lo nanya sama orang yang tepat,” ujar Rina menepuk dada bangga. “Jadi menurut isu yang beredar dan dari sumber terpercaya, konon—”

“Bisa langsung ke intinya?” potong Faira jengah mendengar pembukaan kelewat panjang dan tak penting untuk ia ketahui.

Rina merenggut sebal karena Faira yang tak bisa diajak  kompromi. “Katanya, anak pewaris Nagaswara sekolah di sini dan masuk tahun ini juga. Tahu nggak apa artinya? Kita seangkatan dengan anak itu, Faira!!”

“Trus anaknya cowok. Ganteng pasti!” Uci ikut menjerit heboh.

Beda halnya dengan Uci, Rina dan Shasa yang sudah mencak–mencak sendiri memikirkan cowok tersebut, Faira lebih penasaran akan identitasnya agar bisa menghindarkan diri dari tipe manusia berkuasa seperti sosok sang pewaris yang dimaksud. Faira hanya ingin tenang selama di sekolah.

“Orangnya yang mana?” tanya Faira.

Rina mendadak lesu mendengar pertanyaan Faira. “Masih belum tahu,”

“Menurut gue, dia sengaja nggak pake identitas asli. Kalo dia pake marga Nagaswara, sudah pasti ketahuan sejak awal dong pasti.” Shasa mengetuk dagu dengan jari memikirkan alasan dibalik penyamaran si cowok misterius.

“Heran deh, gue. Kenapa pada sibuk mikirin cowok yang identitasnya masih nggak jelas. Mending mikirin kita nih, yang identitas sama mukanya udah terpampang jelas di depan mata,” tutur Malvin disetujui anak cowok lainnya.

“Muka jelas, masa depan yang suram,” timpal Uci yang disambut tawa kaum hawa, beda lagi dengan kaum adam yang mendelik tajam ke arah Uci.

“Faira, jangan bilang lo juga mau gebet anak pewaris itu?” tanya Rehan. “Jangan maruk, ya. Lo udah punya, Danu!”

“Ngg—”

“Faira!”





Budayakan vote ya, sayang. Pencet bintang enggak bikin jempol kamu pegal kok😁








Konawe Selatan, 12 September 2022


Irma

Whats Wrong With Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang