“Apa ini? Ayah bilang jangan buat masalah tapi kamu malah membuat Ayah mendatangi sekolahmu?” tanya Surya menahan marah. “Memukul kakak kelasmu sampai cedera, kamu mau jadi preman di sekolah?!”
“Dia menganggu temanku, Yah,” ucap Faira pelan.
Saat ini mereka tengah berada di koridor depan ruang kepala sekolah. Faira juga tidak tahu kapan pihak sekolah menghubungi Ayahnya dan mengabarkan perihal keributan yang sempat ia ciptakan di kantin beberapa saat lalu. Nuga masih membantunya mengompres bekas tamparan yang Arnol tinggalkan di pipinya, kala namanya bergema melalui pengeras suara.
“Sudah Ayah bilang, jangan berteman dengan siapa pun. Kalo kamu dengar apa kata Ayah, kamu tidak harus terlibat—”
“Tapi dari mereka aku tahu gimana rasanya bahagia,” potong Faira cepat menyanggah perkataan sang Ayah. “Tolong jangan larang aku berteman, karena hanya dengan itu aku bisa bertahan sampai sekarang.”
“Hentikan omong kosong ini. Jihan membutuhkan Ayah di rumah sakit. Jangan membuat masalah lagi, Ayah tidak punya waktu mengurusmu.” kalimat lantang Surya berdegung di rungu Faira.
Ya, karena Jihan anak kandung maka dia harus selalu jadi prioritas, tapi bukan berarti dia yang anak angkat harus terabaikan presensinya, bukan?
“Kalo begitu, kenapa aku diadopsi? Nyawa cadangan?” tanya Faira sendu. Untuk pertama kalinya, pertanyaan yang Faira sudah tahu jawabannya itu keluar dari mulutnya. Dia ingin mendengar secara langsung, mungkin dengan cara seperti itu hatinya akan goyah dan bisa berhenti untuk peduli.
“Iya. Seperti katamu, nyawa cadangan. Jadi jangan meminta lebih dari apa yang seharusnya cadangan dapatkan.”
Surya berlalu begitu saja setelah menyelesaikan kalimatnya. Anak kandungnya tengah kritis dan dia tidak punya banyak waktu untuk mengurusi masalah tidak penting anak angkatnya.
“Puas?” Shasa mendekati Faira yang masih mematung di tempatnya meski Surya sudah tak lagi terlihat. “Ayah lo udah memperjelas semuanya. Puas lo nyakitin diri lo sendiri?”
Tangan Faira tergerak meraba dadanya yang mendadak ngilu. Rasanya aneh di dalam sana, terasa sesak dan terganjal sesuatu yang keras. Kepalan tangannya perlahan menepuk kuat dadanya, mencoba membuat celah agar oksigen bisa menginvasi rongga dadanya.
“Berhenti, Ra,” lirih Shasa. Tangan beralih menahan tangan Faira yang masih memukuli dadanya.
“Dada gue sesak, Sha. Gue...” Faira tidak tahu bagaimana harus mendeskripsikan sakit yang menderanya.
“Nangis. Nangis bisa meringankan sakit, Faira. Hati lo capek bersikap sok kuat!" Uci memekik ke arah Faira dengan lelehan air mata. Mengajak Faira untuk menangis bersamanya guna menyalurkan sakit yang tertumpuk.
Namun Faira tidak bisa meneteskan air mata. Hatinya terlampau lelah untuk sekedar mengirim sinyal pada netra untuk segera mengeluarkan cairan bening. Faira memilih memukul dadanya, lagi, lagi dan lagi. Berharap rasa sesak itu segera berhenti menyerangnya.
.
.
.
Nuga menatap lurus ke arah Faira yang tengah terdiam dengan menumpukan kepalanya di tepian jendela. Mood gadis itu hancur, setelah hatinya dipatahkan tanpa belas kasih pada ia yang dianggap sosok Ayah, lalu diperparah dengan amukan menyebalkan seorang pacar.
“Masih kretek–kretek?" Nuga menoel pelan bahu Faira agar gadis itu mau menoleh ke arahnya atau sekedar menjawab tanya.
Dan berhasil. Faira yang mendengar kosa kata aneh pun lantas menoleh dengan alis terangkat. “Apa yang kretek–kretek?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Whats Wrong With Me?
Ficção AdolescenteFaira, terjebak dalam hutang budi dan empati tak manusiawi. Gadis muda yang perlahan mati rasa perihal takdir yang tak pernah memihak. Dia sekarat, namun malaikat maut tak kunjung menghampiri. Apa yang salah dengannya? Tak cukup terlahir sebagai an...