“Lo ngapain di sini?”
Faira mengernyit kala memasuki unit apartemennya dan menemukan sosok Jihan sudah duduk manis di ruang tengah sambil menonton serial kartun.
Jihan yang mendengar suara sang kakak pun sontak berbalik dan berlari mendekat. Sejurus kemudian, cewek yang sama mungilnya dengan Faira, sudah bergelayut manja di lengannya.
“Aku mau nginap di sini sama kak Faira,” ujar Jihan mengulas senyum lebar.
Jujur, Faira merasa terbebani. Selain karena tubuh lelahnya sehabis kemah, dan tas gunung yang masih tersampir di bahunya. Keberadaan Jihan pasti akan sangat merepotkan.
Ayah dan Ibunya pasti akan lebih sering berkunjung untuk memastikan kondisi Jihan, sementara hubungan kedua orang tua itu dan Faira, jauh dari kata baik.
Kedamaian batin yang Faira butuhkan tentu saja akan berantakan selama Jihan berada di sekitarnya.
“Ayah sama Ibu, bolehin?” tanya Faira memastikan. Besar harapan Faira agar kedua orang tua angkatnya menentang keinginan Jihan.
“Boleh kok katanya,” jawab Jihan meruntuhkan harapan Faira.
“Dari mana saja kamu?”
Faira dan Jihan berbalik kala suara lain terdengar di dalam ruangan. Faira kembali terkejut mendapati Rosa— sang Ibu angkat, juga berada di apartemennya.
“Ibu...” gumam Faira.
“Ibu tanya, kamu dari mana sampai nggak bisa dihubungi?” tanya Rosa dengan raut tidak bersahabat.
“Aku...baru pulang dari kemah,” ucap Faira pelan dengan kepala tertunduk.
Faira tahu, Ibunya akan memakinya setelah ini dan kemungkinan Ayahnya akan datang untuk memberinya hukuman.
Jihan mungkin baik–baik saja dan sedang tidak membutuhkan apapun darinya, namun menghilang tanpa kabar adalah kesalahan besar bagi Ayah dan Ibunya.
“Kemah?” Rosa tampak geram dengan alasan yang Faira lontarkan. “Kamu pergi kemah tanpa izin orang tua? Bagaimana kalau saat kamu pergi, Jihan sedang butuh donor darah? Bisa kamu menjamin nyawa anak saya?!”
“Tapi Jihan baik–baik saja, Bu...” bela Faira sambil menunjuk Jihan yang tidak kenapa–napa.
Rosa berjalan cepat menghampiri Faira dengan wajah memerah.
Plak!
“Baik kamu bilang?” tanya Rosa dengan emosi meluap–luap. “Ya, sekarang dia baik setelah menangis seharian hanya untuk menemuimu. Tapi lihat, kamu bahkan pergi bersenang–senang tanpa beban!”
Mengabaikan perih akibat bekas tamparan Rosa, Faira melirik Jihan yang sudah menundukkan kepala sambil memainkan tangan.
Menemuinya? Yang benar saja!
Hubungan keduanya tidak lebih dari sekedar pendonor dan penerima darah, selama ini. Jadi untuk apa Jihan melakukan drama hanya untuk bertemu dengannya?
Tentu saja untuk melihatnya menjadi pihak bersalah di mata Ibu dan Ayahnya.
Jihan mungkin tahu kalau Faira sedang tidak di rumah dan gadis licik itu sengaja meminta ke sini agar orang tuanya melihat langsung bagaimana kelakuan Faira.
“Sudah berapa kali Ibu bilang, jangan melakukan sesuatu yang tidak penting.”
“Tapi ini acara sekolah,” sela Faira menatap Ibunya dengan sendu. Faira hanya ingin dimengerti walau sedikit saja.
“Lalu kenapa? Sekolahmu akan hancur jika kamu tidak ikut, begitu?!” maki Rosa dengan suara tinggi.
Faira menghembuskan nafas. Alasan apapun tidak akan diterima dengan baik oleh Ibunya. Selama itu memiliki resiko bagi keselamatan anak kandungnya, Faira harus siap menjadi samsak untuk melampiaskan segala amarah yang mereka rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whats Wrong With Me?
JugendliteraturFaira, terjebak dalam hutang budi dan empati tak manusiawi. Gadis muda yang perlahan mati rasa perihal takdir yang tak pernah memihak. Dia sekarat, namun malaikat maut tak kunjung menghampiri. Apa yang salah dengannya? Tak cukup terlahir sebagai an...