WWW. Me | t i g a p u l u h e m p a t

18 1 2
                                    

Buang saja masalahmu,
Janganlah ragu–ragu
Ikut bersamaku,

Bukalah mata, lihat dunia
Dan sadarilah...

Tiada guna hidup selalu berduka cita.

Mari bergembira,
Gembira bersama,
Mari  bergembira, bersama...

“Asiikk...tarikkk sis...” sahut Faira di tengah–tengah musik dangdut yang bergema, di ruang karaoke pribadi milik Mama Nuga.

Sambutan hangat nan perlakuan Dina dan Bramantio, berhasil membuat Faira nyaman berada di tengah–tengah mereka. Kasih sayang tanpa pamrih, membuat Faira terharu.

Ini adalah gambaran keluarga bahagia yang diidam–idamkan olehnya, saat kali pertama kabar adopsi itu terdengar rungunya.

Setelah agenda makan siang bersama dan pemeriksaan kesehatan yang dilalui dengan pembahasan ringan, Faira menemukan banyak kesamaan pada sosok Mama Nuga.

Keduanya sama–sama menipu dari segi penampilan. Tampil anggun namun kelakuan bobrok adalah istilah baru yang Dina sematkan pada dirinya dan Faira.

Mereka juga gemar memasak menu makanan rumahan. Dan jika sedang dilanda ke-mageran akut, mereka akan menghabiskan waktu seharian untuk tiduran.

Dan yang paling membuat mereka seketika klop adalah cara mengatasi stres. Keduanya sama–sama menjadikan nyanyian suka–suka sebagai media pelampiasan emosi.

Itu sebabnya, setelah Faira menyelesaikan pemeriksaannya, keduanya melipir ke ruang karaoke yang disediakan Bramantio untuk mengusir jenuh sang istri.

Keduanya menggila dalam euforia ciptaannya. Menghiraukan Nuga dan Bramantio yang sudah geleng–geleng kepala di ruang tengah.

“Mamamu sepertinya ketemu partner sejati,” ujar Bramantio membolak–balik lembaran koran tanpa minat. Suara nyaring Istri dan teman anaknya, terlalu bising untuk bisa fokus pada bahan bacaan.

“Hehehhh...mereka udah kayak anak kembar beda generasi,” tawa Nuga menyembur dengan fokus pandangan terarah pada ruang karaoke yang tak jauh dari ruang tengah.

Karena dinding ruangan yang terbuat dari kaca bening, Nuga dan Bramantio berakhir menonton kelakuan Dina dan Faira di dalam sana. Bukan hanya suaranya saja yang kacau, kondisi fisik keduanya jauh lebih kacau. Koreografi abstrak yang keduanya lakoni, membuat Nuga dan Bramantio ngos–ngosan tanpa sadar.

“Itu mereka nggak kesurupan, kan?” tanya Bram melirik Nuga yang cekikikan.

“Enggak, Pa. Aku malah pernah liat Faira lebih gila dari ini,” tanggap Nuga menyakinkan Papanya dengan anggukan serta tawa pelan dari mulutnya.

Entah berapa lagu yang Faira dan Dina bawakan dengan nada terhambur, kini keduanya berjalan gontai menuju ruang tengah, bergabung dengan Nuga dan Bram yang menatap geli keduanya.

“Udah puas?” tanya Nuga terkekeh sembari menyodorkan tisu pada Faira yang bermandikan keringat.

“Pa, Mama juga dong,” rengek Dina menunjuk Faira dan Nuga bergantian. Bram yang mengerti pun lantas tertawa melihat sikap tak mau kalah istrinya dengan pasangan muda di depan mereka.

“Makanya, ingat umur. Mama kalo salah gerak dikit aja, bisa encok. Beda sama Faira yang tulangnya masih kuat semua.” Bram menasehati istrinya dengan tangan bergerak lincah mengelap keringat di wajah Dina.

“Mama ketularan semangatnya Faira, Pa,” ujar Dina melirik Faira dengan kedipan.

Bram hanya menggeleng mendengar alasan istrinya. Dia tidak bermaksud untuk marah, disaat istri dan anaknya tertawa bahagia dengan kehadiran Faira di tengah–tengah mereka. Bram ikut bahagia dengan perubahan positif di rumahnya. Nuga yang tampak ceria dan istrinya yang menemukan teman selaras.

Whats Wrong With Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang