🍄29. Kacau🍄

764 88 6
                                    

Haris duduk di meja kerjanya dengan cemas. Apalagi ia tak bisa menghubungi Reres karena Reres tak memiliki ponsel. Sesekali terdengar ia menghela napas seraya menata laporan yang akan dijadikan pembahasan untuk rapat kali ini.

Setelah semua selesai disusun, Haris segera bangkit menuju ruangan Saga. Ia ingin memberikan laporan yang sudah ia buat dan susun semalaman.  Haris mengetuk pintu ruangan Saga, Ia segera berjalan masuk ke dalam ruangan ketika jawaban terdengar dari dalam ruangan.

Haris membuka pintu mendapati Saga yang tengah menatap pada laptop miliknya seraya mengigit ujung kuku ibu jari kirinya.

"Pak?" sapa Haris ia berjalan mendekat pada Saga dan memberikan kliping materi rapat.

Saga menoleh dan dengan canggung menghentikan kegiatannya. "Ini pembahasan rapat hari ini?"

"Iya Pak, sesuai keinginan direksi yang minta dibahas mengenai laba dari sistem kerja yang baru. Juga tentang acara yang akan bapak ajukan untuk ulang tahun perusahaan." Haris menjelaskan.

Saga segera membuka dan membaca materi yang diberikan oleh sang sekretaris. "Ris kamu bisa minta tolong orang pantry buat kopi, tapi saya mau yang seperti Reres buat. Enggak terlalu manis dan dibuat dengan air mendidih saya enggak mau pakai air dispenser."

"Baik Pak, saya minta orang pantry buat."

Saga mengangguk masih sambil membaca bahan rapat. Terlihat tak seperti biasanya. Tentu saja ia cemas dengan rapat kali ini. Sejujurnya tadi lupa ada rapat ketika ia meminta Reres untuk tetap di rumah. Kini meminta Reres untuk datang ke kantor jelas tak mungkin, banyak pertimbangan. Hal utama adalah menghindarkan Reres dari Haris. Bisa makin gila dia karena keduanya makin dekat.

"Gue pasti bisa," gumam Saga.

Dirinya bahkan sudah membayangkan bagaimana tatapan orang-orang di ruangan, mengintimidasi. Belum dimulai ia sudah takut sendiri. Saga coba mengatur napas membuat situasi menjadi lebih baik. Bisa hancur reputasinya kalau ia mengacaukan rapat kali ini. Lagi pula salahnya sendiri memerintahkan Reres untuk tetap di rumah.

"Permisi Pak," suara Haris terdengar.

"Masuk Ris."

Haris berjalan masuk lalu menyajikan kopi yang diminta oleh atasannya itu. "Ini Pak, yang buat anak pantry yang biasa lihat Reres buat."

Saga mengangguk,kemudian segera mengambil cangkir kopi untuk  segera menikmati kopi miliknya. Pria itu menyeruput kopi, terlihat kecewa. "Minta ulang, rasanya beda banget, terlalu encer,  masih kemanisan."

Haris menatap pada Saga, ingin sekali meminta untuk membuat Reres datang ke kantor. "Baik Pak," ucap Haris kemudian berjalan keluar untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh Saga.

Waktu terasa begitu cepat bagi Saga.Yang memperburuk situasi adalah kopi yang berbeda sekali dengan buatan Reres. Sampai Saga meminta diulang sebanyak tiga kali. Haris tadi sempat meminta agar Saga menghubungi Reres untuk datang ke kantor. Dan jelas jawabannya adalah tidak. Apalagi Haris yang meminta, saingannya sendiri. Mana mau Saga melakukannya, harga dirinya tinggi sekali.

Kini ia tengah berjalan menuju ruang Rapat. Sesekali menunduk memerhatikan pakaian dan sepatunya, bukan Saga yang biasanya. Biasanya ia jarang sekali hela nafas dan juga menatap ke bawah. Biasanya ia selalu angkuh berjalan dengan kepala yang tegak tanpa menoleh ke bawah. Menunjukkan bahwa ia adalah penguasanya.

Haris memerhatikan itu dengan jelas. Tidak ada ritual seperti yang biasa dilakukan dengan Reres. Agaknya itu yang membuat Saga terlihat sedikit kehilangan percaya diri. Itu yang ada di dalam pikiran haris saat ini.

"Pak Saga pasti bisa," kata Haris menyemangati.

Saga menoleh dan mengangguk. ia masuk ke dalam ruangan. Akan ada delapan orang yang hadir. Saga anggukan kepala, kemudian duduk di kursinya. Saga berpaling menatap ke luar ruangan di mana terlihat gedung-gedung tinggi lain yang berada di sekitar perusahaan. Lagi Saga mengigit ujung kukunya, hela napas, berbeda sekali dengan Saga yang biasanya.

haris jelas menangkap semua dengan baik. Biasanya Saga akan duduk dengan posisi tegak, meletakan kedua tangan di atas meja sambil menatap para direksi seolah ingin menghancurkan dala satu pukulan. Agaknya ritual itu memang perlu dilakukan. Haris jadi cemas dengan keadaan Saga saat ini.

"Pak," panggil Haris yang kini duduk di sebelahnya. Mengingatkan kalau rapat harus segera dimulai.

Saga anggukkan kepalanya, ia kemudian menatap pada  para anggota rapat hari ini. Ia berniat berdiri, hanya saja kakinya terasa lemas. Biasanya ia menyapa para anggota dengan berdiri tegak, mengangkat wajahnya tak ingin terlihat lemah dan kalah. Sial sekali, ia merutuki kebodohannya meminta Reres untuk tetap berada di rumah. Bagaimana ia bisa lupa kalau hari ini ada rapat?

"Ah, maaf saya kurang enak badan. Jadi, kali ini saya minta ijin untuk tetap stay duduk di sini." Saga beralasan.

"Silahkan Pak," ucap salah seorang direksi.

Saga melirik pada Haris yang segera menyalakan layar LCD dimana ada bagan serupa dengan kliping yang dipegang oleh para direksi.

Saga menoleh, melihat lembar pertama. "Selamat pagi saya ucapkan terima kasih untuk para direksi yang sudah mau menyempatkan hadir di sini." Saga terhenti.

Tatapan mata para direksi seolah mengintimidasi. Tak mungkin ia berpaling dan menatap dengan tak fokus. Saga coba mengingat semua kata-kata yang diucapkan oleh Reres. Ia memilih menunduk mencoba mengatur emosinya.

'Mereka bukan ancaman, dan lo harus bisa menunjukkan kemampuan lo'

'Mereka akan jadi kerdil kalau lo?'

"Kuat dan besar hati," gumam Saga kemudian.

'Tarik napas, hembuskan. Lo hebat Saga, lo kuat dan lo CEO Candramawa. Jangan sampai ada yang jatuhin lo. Lo kuat.'

Haris melirik Saga tak baik, ia kemudian mendekat. "Bapak baik-baik saja Pak?" tanya Haris.

Saga mengatur napasnya, coba mengatur emosinya agar lebih stabil. Lalu pria itu coba untuk kembali menatap  para direksi. Mereka pasti akan tertawa dengan lebar dan mencemoohnya jika tau apa yang ia alami. Jika mereka tau si keras kepala dan si sombong Saga ternyata pengecut yang tak bisa menghadapi orang banyak. Saga sadar harga dirinya dipertaruhkan.  Pikirannya coba menguatkan agar ia bisa melakukan ini. Hanya saja tubuhnya merespon lain, lemas, sulit sekali membuka mulut dan berbicara. Tangannya terus meremasi tangannya yang lain.

"Pak, bapak baik-baik saja?" tanya Haris lagi coba bertanya.

Saga mengangguk. "Rapat ditunda sebentar, saya ijin ke kamar kecil."

Saga berjalan keluar dengan tergesa. Tatapannya menjadi tak fokus seolah ruangan itu berputar. Ia bahkan menabrak salah seorang karyawan karena tubuhnya yang limbung. Saga harus ke ruangannya, ada obat penenang yang bisa ia minum. Selama ini tak pernah ia konsumsi karena Reres ada di sampingnya. Pun obat itu ia beli di luar resep dokter. Hanya berdasarkan saran apoteker. Saga takut jika semua tau apa yang terjadi pada dirinya.

Pria itu masuk ke dalam ruangan dengan berjalan gontai. Lalu duduk di kursinya, mencari obat yang ia ingat disimpan di dalam laci meja kerja. Tak ada, obat itu menghilang. Napasnya semakin tersengal seolah ia baru saja berlari kencang. Ruangan berputar dalam pandangannya, ia merebahkan kepala di atas meja. Saga butuh Reres, ingin dipeluk Reres dan dengar Reres katakan kalau ia akan baik-baik saja dan bisa menghadapi semua.

"Saga, Pak Saga." sapaan terdengar dari luar buat Saga antusias menatap ke arah datangnya suara.

Oh My CEO (END)💜Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang