Kisah ini dimulai di sebuah bangunan bernuansa cokelat di kawasan perkantoran kota Jakarta. Sama seperti bangunan kantor lainnya, segala aktifitas yang berkaitan dengan agenda dan pekerjaan dimulai pada hari senin, dan baru benar-benar berhenti pada hari minggu. Tapi setelahnya nggak pake kuturut ayah ke kota, terus naik delman dan duduk di muka, ya, karena itu nggak sopan, hehe. Eh tapi nggak ding, Miazka Organizer ini beda sendiri rupanya. Karena perusahaan ini bergerak di bidang wedding and entertainment, maka jadilah pada hari minggu yang cerah ceria ini, mereka semua tetap harus berkumpul di habitat yang semestinya, guna menjemput rezeki yang telah ditetapkan hari dan tanggalnya persis di hari ini. Lihat saja, di antara wajah-wajah serius yang sedang benar-benar serius merapikan peralatan, masih terselip wajah-wajah yang terkantuk-kantuk karena belum kena asupan kopi dan suntikan semangat dari ayang, bagi yang memilikinya. "MUA udah di lokasi kah?" tanya seseorang seraya ikut mondar-mandir, membantu persiapan kelengkapan acara. "Sudah sejak pagi-pagi sekali, mas, kan akad dulu disana..." jawab salah seorang crew yang sedang kesusahan mengangkat speaker. "Ini biar saya yang pindahin ke mobil, kamu biar urus yang lain..." katanya seraya mengangkat speaker besar itu dari bopongan si pria. "Eh, jangan mas, mas kan boss-nya. Gimana ceritanya malah mau ngangkat ini?" "Udah, gak papa, tinggal satu ini aja kan?" "Iya sih, tapi..." "It's ok, nggak ada istilah atasan dan bawahan disini. Aku juga manusia kok sama kayak kalian, dan akupun tercipta dari unsur yang sama sama kalian, dan masih sama-sama makan nasi juga. Jadi, nggak usah sungkan..." "I... Iya deh, mas..." kata crew itu pasrah, meskipun ia masih terheran-heran. Tapi pria ganteng yang berdiri di sampingnya itu tetap tidak peduli.*** Azka Dirgantara adalah seorang wedding organizer professional. Semua orang melihatnya seperti itu, tanpa mereka tahu perjuangan di balik layarnya. Sebagai seorang anak laki-laki, tentunya Azka memiliki standar sendiri dalam keluarganya ; termasuk tentang harus jadi apa dirinya setelah dewasa. Cita-cita dan harapannya memiliki wedding organizer ini sempat ditentang oleh ayahnya yang menginginkan Azka menjadi pengusaha di bidang lain – kalau bisa sih properti, meneruskan jejaknya. Tapi darah seni terlanjur mengalir dalam diri cowok dua puluh empat tahun itu, karena selain memiliki wedding organizer, Azka juga merupakan seorang penyanyi. Azka dan seni, seni dan Azka. Kedua hal itu sudah paten sepasang dan seperti tak akan bisa terpisahkan, seperti Romeo dan Juliet, Qais dan Laila, atau Tuyul dan Mbak Yul (kenapa yang terakhir ini bisa gak matching gitu? Kok gak sekalian Jin dan Jun aja ya?). Terlahir di keluarga yang super tajir justru tidak membuat cowok berzodiak skorpio itu bangga. Emangnya apa juga yang harus dibanggain? Punya berderet kartu gold dan platinum di dompet? Bisa gonta-ganti mobil sesukanya tiap hari? Atau fasilitas bak hotel bintang 5 yang semuanya merupakan milik pribadi dan tersedia exclusive di dalam rumah? Ternyata gak gitu konsepnya, Esmeralda. Soalnya kan yang tajir tetep orang tuanya, bukan si anak itu sendiri. Jadi semua tetap berada di bawah kendali mereka. Dan yang lebih parahnya, persoalan kendali dan mengendalikan ini ternyata bisa sampai ke hal paling krusial yang dimiliki oleh semua orang yang terlahir di bumi ; mimpi. Ya, perkara mimpi aja, ternyata seorang Davidio Azka Dirgantara masih harus dikontrol sama orang tua dan keluarganya, persis robot. "Jangan beda sendiri dong Ka, ikutilah jejak opa sama papa, semuanya main di properti. Kamu sendirian nyemplung, terjun bebas ke seni, emang mau jadi apa kamu? Apakah profesi seniman, musisi, atau apalah itu namanya bisa menjamin kelayakan hidup kamu?" setidaknya, seperti itulah stigma dan doktrin yang ditanamkan oleh keluarganya ; setiap orang bisa menjadi apa saja disana ; dokter, arsitek, pengusaha, polisi, tentara, kecuali seniman dan guru. Gak tau kenapa dan gak tau ada masalah apa, kenapa mereka bisa mem-blacklist kedua profesi itu dari daftar mimpi dan cita-cita anggota rumah. Sejak kecil, Azka dipaksa ikut program bimbel dan les ini-itu. Alasannya sudah pasti klise bin klasik ; biar pinter, biar gampang kalau mau masuk universitas dengan jurusan yang memiliki prospek kerja tinggi, dll dst. Tapi nyatanya, otak Azka tidak dimampukan untuk itu. Sejak masa sekolah, ia tak pernah berada di peringkat pertama, mentok-mentok paling masuk top 5, itupun dia biasanya hanya berada di urutan ke-5 atau ke-4. Tapi dia tidak peduli, baginya ucapan ayah dan ibunya hanyalah angin lalu, ia bisa seperti itu ; memilih tak peduli, sama seperti ayah-ibunya yang juga tidak peduli ; mereka yang hanya ingin didengarkan tanpa ingin mendengarkan. Mereka yang hanya ingin dimengerti tanpa ingin balik mengerti. Oleh sebab itu, label "pembangkang" sudah diberikan pada dirinya sejak SMA – tidak, bahkan sejak SMP, sejak kecintaan dan ketertarikannya dengan dunia seni (khususnya musik), benar-benar dimulai. "Wooooiii!" "Eh mati... Dasar lo, bisa kali gak usah pake ngagetin?" omel Azka kepada sosok makhluk (tak) halus yang ada di belakangnya. "Lagian ngelamun aja. Pagi-pagi udah mikir jorok apa sih lo?" "Sembarangan!" Azka mendorong kening perempuan di sebelahnya dengan jari telunjuk. Dan itulah sahabatnya, Amira Lestari. Kalau menceritakan sosok ini, kalian perlu hati-hati dan teliti, jangan sampai terkecoh atau bahkan terjebak oleh deskripsi yang kutuliskan mengenai gadis manis berpenampilan sangat santuy ini. Amira Lestari adalah gadis berkepribadian sederhana – sesederhana namanya. Wajahnya bulat, tidak cantik, tapi cenderung manis dengan sepasang lesung pipi yang mengapit kedua pipi chubby-nya. Rambutnya panjang nyaris sepinggang. Matanya bulat bundar, dinaungi bulu mata lentik dan alis yang tebal, anaknya juga ramah dan murah senyum. Sebuah potret yang sempurna, kan? Tapi ada satu hal yang membuat Ami (begitu ia akrab disapa), berbeda dengan gadis-gadis kebanyakan, ya itu tadi, bar-bar, kalau ngomong gak pake disaring dulu. Lihat aja, se-sembarangan apa saat dia ngomong sama Azka tadi kan? Padahal Azka boss-nya lho. Mm, nggak sepenuhnya begitu sih, toh mereka menjalankan Miazka Organizer ini juga bersama-sama ; merintis semuanya dari awal sejak mereka masih sama-sama kuliah. "Gila, selesai sudah akhirnya persiapan kita," ucapnya pelan seraya memindai seluruh area yang berantakan dengan matanya. "Ya udah, panggil anak-anak biar pada sarapan dulu aja, terus buat driver yang mau nge-drop alat, dikasihkan aja bungkusannya. Tuh, di meja sebelah sana, kantong item gede," kata Azka seraya menunjuk bungkusan besar yang ada di atas meja kaca berkaki rendah yang diapit dua buah sofa berwarna putih. "Siap, boss. Lo mau makan sama mereka apa gimana?" tanya Amira seraya mengayun ringan langkahnya menuju bungkusan tersebut. "Kali ini, gue nunggu elo di ruangan, deh, soalnya ada yang mau gue bahas bentar..." "Cieee mau serius cieeee... Ya udah bentar, gue ngebagiin ini dulu, sebelum semua crew kita jadi para zombie yang kelaparan dan saling memakan satu sama lain..." kata Amira ngasal seraya buru-buru cabut ke BaseCamp tempat all crew Miazka berkumpul ; meninggalkan Azka yang cuma bisa ngelus dadanya sendiri (ya iyalah, mau ngelus dadanya siapa lagi dia?).*** "Ya ampun, Ka, ternyata... Ternyata!" seruan seseorang tak percaya – menatap Azka dari atas, ke bawah, ke atas, lalu ke bawah lagi, sampai yang ditatap jengah sendiri. "Santai, Jar, ketemu gue kayak ketemu setan aja lho..." jawab Azka tenang, seraya memasukkan tangannya ke balik saku celananya. "Jadi, we-we-wedding organizer ini... Punya lo?" tanyanya. "Iya, kenapa sih? Kok heran? Biasa aja dong!" sahut Azka. Sebenarnya ia hanya berusaha kuat dan mengalihkan rasa sakitnya saja, karena ada peristiwa yang tidak bisa ia lupakan antara dirinya dan Fajar, sepupunya yang sedang menikah dan menjadi client-nya saat ini. "Pak Azka, ada yang mau bertemu bapak!" kata Amira menginterupsi – menjeda proses saling intimidasi di antara dua pria sebaya ini. "Oh, iya, mau ditemui dimana? Saya akan segera kesana." sahut Azka berwibawa. "Di depan aja katanya pak, penting, kalau bisa sih sekarang." jawab Amira lagi. Azka mengangguk. Maka seraya tetap membiarkan si mempelai pria tetap melongo keheranan, Azka pergi mengikuti Amira ke depan gedung. "Itu beneran sepupu lo? Fajar yang tukang bully itu gak sih?" tanya Amira to the point, sesampainya mereka di tempat yang sepi dari hiruk-pikuk manusia. "Iya, Fajar yang itu, emang yang mana lagi?" sahut Azka tak peduli. "Gila, keluarga lo bisa geger nanti kalau tau lo yang mereka buang bisa se-sukses dan setajir saat ini. Gimana kalau berita ini sampe ke bonyok lo? Bukannya mereka hadir juga sebagai tamu undangan, ya?" cerocos Amira. Anak ini emang begitu, kalau udah sekali bicara, gak bakal bisa direm kecuali baterainya habis. "Makanya gue ngumpet tadi, soalnya gue ngeliat mereka, Mas Rangga sama istrinya, pasti Riani nggak diajak lagi... Sampe kapan sih orang tua gue mau nyembunyiin adik gue kayak gitu? Toh terlahir dengan kondisi kayak dia sekarang bukan maunya dia kan?" keluh Azka. "Santai, Ka, kita kan gak tau kabar adik lo kayak apa sekarang. Lagian lo kapan coba terakhir telepon atau chat dia? Bukannya sebulan yang lalu, atau bahkan dua, atau malah tiga bulan yang lalu? Lo ini workaholic woi, lebih mentingin kerjaan daripada diri sendiri, daripada hal-hal penting lain di sekitar lo. Yaa wajar sih, namanya juga jomblo..." kata Amira pelan, tapi nusuk. Nyelekit, mak hakkk ke hati. "BTW, kayaknya lo salah profesi deh Mi..." kata Azka serius. "Salah profesi gimana?" Amira gak ngerti. "Daripada jadi penyanyi dan pengelola WO, lebih baik lo jadi petani cabe aja. Omongan lo tuh, pedes banget." sungutnya. Amira cuma ketawa. "Jangan baper Kaa, entar nangis terus malah mau bunuh diri, repot gue..." ledeknya. "Lho heh, enak aja. Bukannya kebalik ya?" Azka ikut tertawa. "Gak usah saling menghina, kita tuh sama aja aslinya. Yuk, ah, pulang, laper gue!" seru Amira seraya mendahului langkah menuju mobil Azka yang terparkir di seberang. Azka kemudian berlari menyusul. Tekadnya sudah sangat kuat ingin balik mengerjai gadis itu. Lihat saja nanti.(TBC).
Halooo, akhirnya aku kembali ke sini. Ini cerita terbaruku, seperti biasa (as my special genre), romance lagi... Maafkan untuk MUM yang gak kulanjutin karena rumahnya yang dulu udah bener lagi, malah sekarang yang season 1 udah ada bukunya lho, kalau udah terlanjur penasaran dan pengen pesen bisa check IG aku aja ya.
Mari kita saling follow dan saling support ❤
Akhir kata, enjoy the story and see you next part 🐿🐿
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDDING DREAM
Lãng mạnApakah seseorang yang terbiasa merancangkan pernikahan untuk orang lain harus sudah menikah lebih dulu? Nyatanya tidak, tuh. Azka Dirgantara, 24 tahun. Terjun dan menggeluti dunia seni adalah cita-citanya sejak kecil. Meski keluarganya bolak-balik...