BAB 5, CURHAT

4 3 0
                                    

"101.1 Sabrina FM. Saatnya kamu ngedengerin Riani siaran lagi nih Sab's Friends... Gak kerasa ya udah waktunya kamu pulang kerja, dan Riani akan nemenin kamu dari perjalanan sampai kamu tiba kembali dengan selamat di rumah ya..." suara riang seorang gadis yang tengah menyapa ruang dengar seluruh pengguna radio juga turut meriangkan hati Amira, yang saat itu sedang berkutat dengan banyak list data client yang mau memakai jasa Miazka Organizer di bulan ini.

"Ya ampuuun, ini data orang nikah apa data sensus mengenai kepadatan penduduk di Indonesia sih? Kok ya bejibun..." keluh Amira. Gadis itu bangkit dari posisi duduknya sebentar guna merenggangkan otot-ototnya yang kaku karena duduk menghadapi meja komputer seharian.

"Break dulu, Mi, itu masih bisa di-input besok kok," kata Azka seraya membawakan segelas kopi untuk gadis itu.

"Yeeey, kopi... Gak sekalian gorengannya, pak? Yang niat napa kalau ngasih," seloroh Amira.

"Itu sayang, ada burger di meja, makanya di perhatiin dong sekitarnya," kata Azka seraya memencet gemas hidung gadis itu.

"Lho, iya juga, sejak kapan di meja gue ada beginian?" tanya Amira kaget.

"Tuh, kan, dasar gak peka," Azka mengerucutkan bibirnya.

"Idih, lu mah... Maap yaa, ini datanya bejibun Ka, makanya gue gak ngeh tadi." kata Amira.

"Yah, elah, ini bos dan PA-mya sama-sama bucin, kenapa gak pada nikah aja sih?" tanya Hera yang baru saja datang dari pantry.

"Ngaco... Keracunan kafein nih anak, sembarangan aja kalau ngomong," omel Amira.

"Serius, kalian tuh cocok tau. Saya aja suka gemes sendiri lihatnya, kalian tuh... Mmm, apa ya istilahnya anak sekarang itu?"

"Kiyowo..." celetuk Yesy, salah satu karyawan bagian keuangan.

"Nah itu, Ki joko, eh..." Aduh! Sekadar informasi ya semuanya. Hera ini adalah karyawan andalan Miazka yang serba bisa, dia kalau sabtu sama minggu biasanya jadi MUA (Make-up Artis), dan hasil garapannya itu selalu memuaskan, gak ada yang kecewa pokoknya kalau tangan dingin gadis itu udah bekerja dan menari lincah memainkan segala peralatan make-up untuk merias wajah. Nah kalau senin sampai jumat, dia bertugas di bagian reception. Hera itu cantik, supel, dan ramah sama semua orang. Cuma polosnya itu lho, bikin orang auto tepuk jidat pokoknya.

"Udah deh Ra, mending lo jangan ngomong, yang ada nanti data di komputer ini makin banyak gara-gara kepicu sama suara lo." omel Amira.

"Emang bisa ya mbak?" tanya Hera rada ngeri.

"Eh Mi, udah, anak polos gitu malah lo gangguin. Udah, coffee break dulu aja semuanya, nanti lanjut lagi," kata Azka.

"Oke pak," jawab semuanya kompak. Sambil tersenyum lebar, Azka meninggalkan para karyawannya, kembali ke ruang pribadinya di lantai atas.

***
"Ini mas kopinya," kata Hera seraya meletakkan kopi tersebut di meja berkaki rendah di depan Azka.

"Makasih, Ra." kata Azka pelan, tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.

"Kalau gitu saya permisi ya mas," ucap gadis itu sopan seraya bersiap-siap pergi keluar ruangan.

"Sebentar!"

"Kenapa? Ada yang kurang ya, mas?" tanya Hera khawatir.

"Enggak, saya cuma mau nanya..." kata Azka pelan.

"Nanya apa ya?"

"Apa benar saya cocok dengan Amira?"

"Nggg... Anu, mas... Kok mas tanyanya sama saya, mas ngerasanya gimana?" tanya Hera balik.

"Nggak tau, kami sahabatan tuh udah lama, dan bodohnya saya, sampai sekarang saya nggak bisa nebak perasaannya Ami tuh kayak apa ke saya, hubungan kita ini jenisnya apa saya juga bingung," keluh Azka.

"Yeee, terus saya harus gimana mas?" Hera garuk-garuk kepala.

"Ya nggak gimana-gimana, saya cuma pengen curhat aja sama kamu. Gak papa kan?" tanya Azka.

"Ya nggak papa, tapi kalau nanti Mbak Ami cemburu terus ngamuk gimana? Saya nggak mau disalahin lho yaa..." kata Hera.

"Aduh, saya ini cuma mau curhat, kenapa dialog kita malah kayak semacam bakal ada adegan perselingkuhan gini sih? Author gak ada akhlak emang!" protes Azka. Lah, kan, sekarang malah author-nya yang disalahin. Padahal kan dimana-mana yang salah itu harusnya cowok. Iya, kan? *Eh.

***
Kediaman Azka, malam hari. Lelaki itu mengunyah nasi goreng buatannya sendiri tanpa minat. Entah kenapa, pikirannya masih saja berkelana di Kantor Miazka, dan detail suara yang dia ingat hanya suara percakapannya dengan Hera di meja operator komputer, lalu berlanjut di ruangan pribadinya ketika Hera membuatkan segelas kopi untuknya.

"Apa benar saya cocok dengan Amira?"

"Nggak tau, kami sahabatan tuh udah lama, dan bodohnya saya, sampai sekarang saya nggak bisa nebak perasaannya Ami tuh kayak apa ke saya, hubungan kita ini jenisnya apa saya juga bingung,"

"Gila! Makin didiemin malah makin kepikiran dong. Terus aku kudu piyeeee?" Azka meremas-remas rambutnya dengan gemas. Setelah membereskan bekas makanannya, ia segera beranjak ke kamarnya, memainkan alat musik keyboard-nya, dan menyanyikan sebuah lagu. Barangkali hatinya lega setelahnya.

"Tahukah kau selama ini

Sesungguhnya aku menyimpan perasaan

Kau katakan aku sahabat terbaik

Dan bukan itu yang kumau sebenarnya

Kau sedih aku yang temani

Menggenggam tanganmu mungkin denganHarapan yang berbeda dengan benakmu

Namun aku setia

Dan sabar menunggu kau mengerti

Di balik semua ini aku melakukannya dengan cinta" (Kahitna – Kulakukan Dengan Cinta). Suara Azka yang merdu mengisi keheningan rumah besar itu. Permainan keyboard-nya juga asyik. Dan sambil melakukan itu, ia juga merekam aksinya tadi buat diposting iseng-iseng di Instagramnya.

[Udah lama gak nyapa-nyapa, edisi berbunyi dikit ya gengs, maaf kalau terdapat banyak kesalahan] tulisnya pada unggahan video tersebut. Kurang dari sepuluh menit, yang nonton video itu ternyata udah banyak, Dan banyak yang komentar juga. Tapi teteup, yang jadi perhatian hanya Amira seorang dong.

[Lo korban friendzone ya Ka? Siapa yang tega melakukan itu?] Azka auto tepuk jidat. Hadeh, dasar gak peka mah emang susah ya!

(TBC).


APAA? Terlalu sedikit? Maafkan hayati... Besok janji lebih panjang deh 🥺

Oke enjoy the story and see you next part 🐿🐿🐿🐿

WEDDING DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang