04

586 59 5
                                    

Jeno menjerit ketika jari-jari kakinya menggesek sesuatu dan rasa takutnya membuat Renjun panik. Renjun ikut menjerit dan menendang-nendang.

"Oh Tuhan, apa itu hiu?" Teriak Renjun.

Pasir bergeser di bawah kakinya dan Jeno mendesah. "Turunkan kakimu ke bawah."

Renjun tersentak lega. "Oh Tuhan."

Jeno memperhatikan perjuangan Renjun melalui ombak dan akhirnya terjatuh ke pasir pantai.

"Kita berhasil," teriak Renjun dan berbalik untuk mencari Jeno. "Apa yang kau lakukan?"

"Aku harus mengambil pakaianku. Lagipula di sini lebih hangat daripada di luar sana." Mungkin saja benar. Meskipun bukan itu alasan Jeno tetap berada di air laut.

Jeno meninggalkan pakaiannya di pantai, termasuk celana boxernya, meskipun ia berharap ia terus memakainya.

Beberapa kali Jeno merasa ada sesuatu yang menyapu kemaluannya dan sebenarnya ia tidak keberatan jika di makan ketika ia sudah mati, tapi ia menolak pada apapun yang akan memakannya jika dia masih hidup, terutama jika diawali pada bagian tubuhnya yang mencuat. Bukan berarti miliknya mencuat sejak ia memasuki air. Memikirkan hiu saja sudah membuat kejantanannya ketakutan dan menyusut dengan cara yang tidak terlihat secara fisik.

Renjun berdiri dengan tangan memeluk tubuhnya. Jeno bisa melihat kakinya gemetar.

Angin berhembus melintasi pasir, mendera pergelangan kakinya. Yang Renjun kenakan sekarang hanya kemeja putih, menempel di kulitnya.

"Di sana," teriak Jeno di atas suara ombak dan menunjuk ke kiri.

Jeno berenang paralel ke pantai, dan ia tahu Renjun mengawasinya. Jika ia berbalik dan kembali ke laut, Renjun mungkin akan mengikuti.

Jeno mengenali tempat di mana ia meninggalkan pakaiannya, di sebuah semak berduri yang luas di belakang pantai. Air laut menyeret pakaiannya tidak jauh dari tempat ia menyimpannya.

"Bisakah kau menolongku? Barang-barangku di atas sana," teriak Jeno. "Teruslah jalan."

"Kenapa? Apa kau tidak mengenakan apapun?"

Jeno menyeringai malu. "Semuanya menyusut dalam air dingin. Aku tak ingin kau mendapat kesan yang salah terhadap kejantananku yang luar biasa."

Jeno juga memiliki ketakutan yang tak masuk akal jika tiba-tiba fotografer dengan lensa kamera yang kuat mungkin bersembunyi di bukit-bukit pasir, siap untuk membidik pada saat kemaluannya tidak dalam keadaan terlalu mengesankan.

Renjun menemukan pakaian Jeno dan berjalan kembali ke dalam air membawa celana pendek sutra hitam.

"Itu basah." kata Jeno jijik.

"Sekarang hujan."

Renjun kembali mengarungi ombak dan merosot di atas pasir. Beberapa saat kemudian, Jeno menyusul dan terjatuh di sampingnya.

"Ya Tuhan, kita hampir tenggelam." kata Jeno, dengan suara yang serius.

Renjun mulai tertawa. Begitu pula Jeno dan dia tidak bisa berhenti. Mereka berbaring, menggigil, terpercik dengan pasir, kehujanan dan terus tertawa.

Jeno meraih tangan Renjun. Jari-jari mereka terjalin dan berpegangan erat-erat dan mereka berbaring bersama, dingin, basah dan masih hidup.

Jeno memutar kepalanya ke arah Renjun dan menunggu wanita itu untuk berpaling padanya juga. Ketika Renjun melakukannya, Jeno berbicara. "Jadi."

"Jadi apa?"

"Apa kau tidak bertanya padaku apa yang aku lakukan di luar sana?"

"Bukan urusanku."

tramontane [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang