20

471 35 1
                                    

Jeno mematikan mesin mobil, tapi tidak bergerak.

Renjun memandang keluar ke sebuah rumah berdinding batu koral, berpintu depan ganda yang elegan. Dua pilar yang menyangga kanopi datar di kedua sisi pintu depan berwarna biru tua mengkilap. Pohon bengkok lancip tumbuh di dalam pot terakota di setiap sisi pintu.

"Apa mereka menunggu kedatanganmu?" Tanya Renjun.

"Tidak."

Renjun keluar dari mobil ke jalan kecil berkerikil. Saat ia berjalan menuju pintu depan, dia mendengar langkah Jeno datang di belakangnya.

"Haruskah aku membunyikan bel atau apa kau punya kuncinya?"

Jeno menekan bel.

Renjun tidak yakin apa yang diharapkan. Dia tidak tahu mengapa Jeno membawanya ikut. Saat Jeno memegang sangat erat jari-jari Renjun di cengkeramannya, semua yang bisa Renjun lakukan adalah untuk tidak menarik diri.

Pintu terbuka dan Renjun menemukan dirinya menghadapi seorang wanita yang sepertinya adalah ibu Jeno.

Yoona Lim tinggi, kurus dan pucat. Dia mengenakan sweater krem tak berbentuk dan rok biru setinggi betis. Akar rambutnya mulai menunjukkan warna putih dan dia tampak menyusut, seolah-olah sesuatu telah mengisap kehidupannya.

Renjun melihat matanya saat wanita paruh baya itu menatap Jeno. Mata itu terlihat hidup sejenak sebelum cahayanya menghilang lagi.

"Halo, Ibu." Jeno melepas tangan Renjun dan melangkah maju.

Perlahan-lahan Jeno memindahkan tangannya ke atas dan ke sekitar tubuh ibunya, memeluknya ke dadanya. Pelukan itu berlangsung pendek. Ibunya mengakhirinya, menarik diri dan beralih ke Renjun.

"Dan siapa ini?"

"Ibu, ini adalah Huang Renjun. Renjun, ini adalah ibuku, Yoona," kata Jeno.

Renjun mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Rasanya tipis dan lemah seperti sayap burung.

"Sebaiknya kau masuk," kata ibunya.

Ayah Jeno berdiri di lorong, versi lebih tinggi dari ibu Jeno, kurus dan berwajah pucat dengan rambut berwarna antara putih dan hitam. Dia menatap Renjun begitu tajam, Renjun mendapati dirinya mengambil langkah mundur.

"Halo, Ayah."

"Jeno."

Renjun melihat mereka saling merangkul. Pelukan ayahnya melilit Jeno, memeluknya erat. Kali ini Jeno yang melepas lebih dulu.

"Ini Renjun. Dia temanku dan dia tahu tentang segalanya."

"Lebih dari yang kami tahu, Jeno." kata ibunya.

Sebuah keheningan canggung menghampiri mereka. Renjun bisa merasakan mereka bertiga berjuang untuk mengatakan sesuatu dengan benar.

"Apa yang kau inginkan?" Tanya Yoona.

"Bicara," gumam Jeno.

"Lebih baik kau ikut ke konservatori (rumah kaca)."

Rumah ini elegan, pikir Renjun, rumah yang dikontrol dengan ketat. Semuanya rapi dan bersih, tidak ada tanda-tanda debu, karpetnya divakum dengan teratur dan ibunya bahkan tak tahu mereka akan datang.

Renjun membayangkan ibunya selalu siap. Segalanya teratur dalam hidupnya, namun belum cukup untuk menyelamatkan putra bungsunya.

Jeno terus memegang tangan Renjun saat mereka berjalan ke sebuah konservatori beratap kaca yang penuh tanaman berdaun besar dan kaktus tajam.

Jeno menarik Renjun ke sofa anyaman cokelat untuk dua orang, sementara orang tuanya duduk menghadap mereka dalam kursi yang serasi. Tidak ada yang bicara.

tramontane [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang