07

602 48 18
                                    

Renjun meninggalkan ruangan dan kembali membawa sebuah kotak.

"Sebuah puzzle?" Jeno menganga padanya.

"Dua ribu lima ratus keping."

"Apa itu jadul?"

Renjun pura-pura membaca kotak. "Ayunan di pinggiran kota."

Jeno membuka lebar matanya.

"Tidak juga. Ini adalah pemandangan hutan." kata Renjun

Renjun duduk di lantai, membuka kotak dan mencari bagian tepi dan sudut. Setelah beberapa menit dihabiskan dengan bergumam kesal pada dirinya sendiri, Jeno ikut turun ke sisi Renjun. Tangannya meraba-raba melalui potongan di sisi lain dari puzzle.

Mereka bekerja sama dalam keheningan, tapi saat mereka meraih sepotong kepingan lurus yang sama dan jari-jari mereka bersentuhan, Renjun merasakan sengatan gairah. Matanya naik ke arah Jeno dan dia melihat benjolan tulang di tenggorokan Jeno naik dan turun.

"Apa yang kau lakukan di malam hari jika kau tidak memiliki TV?" Tanya Jeno.

"Menjahit, membaca, main-main di komputer."

"Main puzzle?"

"Ya."

"Sudutnya," kata Jeno. "Hei, lihat ini sedikit cocok."

"Ya, jika kau memaksanya." Kata Renjun sambil memisahkannya lagi.

"Apa menjadi pelayan perlu kerja keras?" Tanya Jeno.

"Ya. Kalau akting?"

"Nona Congkak."

"Aku bukan hanya seorang pelayan," kata Renjun, merasa perlu membela diri.

"Apa lagi yang kau lakukan?"

"Menjawab panggilan pada saluran telepon seks seminggu dua kali."

Tangan Jeno membeku di dalam kotak dan ia mengangkat kepalanya untuk menatap lurus ke arah Renjun. "Kau bercanda, kan?"

Tidak, Renjun tidak bercanda. Renjun tidak yakin apa yang membuatnya menceritakan ini pada Jeno. Yah, tidak sepenuhnya benar. Dia ingin mengejutkan Jeno. Renjun mengambil beberapa potongan puzzle lagi.

"Jadi bukan kursus komputer?"

"Tidak. Aku juga membantu menulis katalog di galeri seni Yangyang."

Jeno terdiam sejenak.. "Jadi, telepon seks..." mulai Jeno dan Renjun tersenyum. "Kau bercanda, kan?" Ulangnya.

"Tidak."

"Apa kebetulan kau melakukan pekerjaan itu malam ini?"

"Hanya Minggu dan Rabu."

"Ini baru hari Jumat," rengek Jeno.

"Itu benar." Renjun menyebar keluar beberapa potongan warna yang sama.

"Aku tetap bisa meneleponmu. Berapa nomornya?"

"Dimana ponselmu?"

Jeno memaki pelan. "Kenapa kau melakukan itu?"

"Kenapa kau memutuskan untuk menjadi seorang aktor bukan penyanyi?"

"Aku belum selesai bicara tentang telepon seks. Kita tidak harus memiliki telepon. Aku bisa pergi ke ruangan lain dan kita bisa saling berteriak."

Renjun tertawa. "Mengapa kau ingin menjadi seorang aktor, Jeno?"

Jeno mendesah. "Aku tidak ingin menjadi diriku lagi. Aku ingin menjadi orang lain."

"Peran macam apa yang telah kau mainkan?"

"Apakah kau tidak pernah melihat salah satu film dimana aku ada di dalamnya?"

tramontane [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang