31

277 34 6
                                    

Jeno meraih tangan Renjun dan menuntunnya keluar dari apartemen. Jari-jari Renjun melengkung longgar di pegangan tangga agar dirinya tidak tersandung saat Jeno menariknya menuruni tangga dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Jeno tidak mengatakan apa pun sampai mereka duduk di dalam mobil.

"Aku ingin tahu, dan sekarang aku tahu," kata Jeno, suaranya datar.

"Kau telah melakukan hal yang baik, Jeno, kau mengatakan tidak apa-apa padanya tentang bagaimana dia meninggalkanmu." Renjun memegang tangan Jeno dan membelai jari-jarinya.

Jeno tidak mengatakan apa pun.

"Yah, memang lebih baik berkata seperti itu, bahkan jika kau tidak bersungguh-sungguh."

"Kau tahu, aku meneliti ini. Aku membaca bahwa sebagian besar ibu tidak pernah berhenti memikirkan anak-anak yang telah mereka tinggalkan. Mereka merasa seolah-olah bagian dari diri mereka telah hilang. Dia tidak berpikir dua kali tentangku, hanya saja aku pikir dia akan memikirkannya sekarang."

Renjun melihat rasa sakit di mata Jeno.

"Ya Tuhan, aku berharap banyak. Dia bahkan tak ingat hari apa dia melahirkanku. Sepertinya dia kehilangan gen keibuannya. Tapi ulang tahunku yang sebenarnya adalah 23 April. Aku mungkin terlalu melekat pada tanggal itu." Jeno berhenti. "Kapan ulang tahunmu?"

"Maret."

"Sekarang Maret. Kapan?"

"Aku tidak merayakan ulang tahun, Jeno."

"Kenapa tidak?"

Renjun memilih menunduk pada roknya. "Aku tidak menyukainya."

"Kenapa?"

Renjun mendesah. Jika ia mengatakannya pada Jeno, mungkin akan mengalihkan perhatiannya dari memikirkan tentang apa yang baru saja terjadi.

"Di rumah penitipan anak-anak tidak pernah mengadakan pesta yang sesungguhnya tapi jika hari itu ada yang sedang berulang tahun mereka akan memberikan kue setelah makan malam, dan mereka juga boleh memilih apa yang mereka ingin tonton di TV. Semua anak membenci fakta bahwa mereka terjebak di rumah penitipan dan bukannya bersama sebuah keluarga. Bukan dengan keluarga mereka."

"Apakah kau pernah mengadakan pesta?"

"Tidak setelah ibuku meninggal jadi aku tak pernah diundang ke pesta manapun. Gadis-gadis kecil bisa sangat kejam. Ketika aku berumur dua belas, aku memutuskan aku akan mengadakan pestaku sendiri sehingga suatu hari mungkin aku akan diundang ke pesta juga. Anak-anak tidak diperbolehkan untuk membawa lebih dari dua orang teman ke rumah penitipan jadi aku mengadakan pestanya di taman. Aku menulis waktu dan tempat pada balon. Aku menabung uang saku untuk membeli tas pesta dan mengisinya dengan permen, membeli pensil yang atasnya berbentuk hewan dan yoyo plastik. Aku membeli keripik, roti sosis dan botol-botol soda dan limun. Aku bahkan menyetel musik. Dan kue cokelat besar. Aku mencuri sebuah keranjang supermarket untuk mengangkut semuanya."

Renjun mengambil napas dalam-dalam. Dia masih ingat semua makanan diletakkan di atas meja piknik. Hal itu tampak hebat.

"Tidak ada yang datang. Pada awalnya, aku berpikir mungkin aku menulis waktu atau tempat yang salah dan di suatu tempat yang berbeda ada anak-anak yang berdiri memegang hadiah dan kartu, menunggu kehadiranku."

Renjun mengangkat matanya menatap Jeno. Jari-jari Jeno mengusap jari Renjun.

"Aku berpesta sendirian. Mendapat teguran karena memberi makan keripik pada bebek-bebek dan kemudian mendapat masalah lagi karena aku melewatkan jam malam dan aku meminjam pemutar musik tanpa minta ijin. Mereka makan kue yang mereka beli dan menyisakan sepotong untukku dan aku tidak diizinkan untuk pergi ke tempat tidur sampai aku memakannya. Hanya saja saat itu aku sangat kenyang, jadi aku memuntahkannya di dapur. Aku tak pernah menghiraukan ulang tahunku lagi setelah itu."

tramontane [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang