03

576 53 3
                                    

—Kisah Jeno—

"Kupikir punyamu lebih baik dari Eric Son," bisik gadis itu di telinga Jeno.

Jeno menggertakkan gigi. Dia memang jauh lebih baik dari Eric Son.

"Benarkah?" Jeno menatap ke arahnya. Ya Tuhan, ia bahkan tidak bisa mengingat nama gadis ini. "Lalu apa kau pernah bercinta dengan Eric?"

Gadis itu terkikik. "Tidak, maksudku saat bernyanyi."

Jeno melempar selimut dan berdiri, telanjang bulat. "Aku tidak menyanyi lagi." Dia mencari celana pendeknya.

"Kau bisa menyanyi untukku. Kembalilah ke tempat tidur."

Jeno melirik padanya. Mengapa Jeno selalu berpikir dia akan bertemu wanita dengan watak berbeda, ketika ia sendiri terus pergi ke tempat yang sama? Dia melemparkan dirinya pada wanita dan mengatakan ya.

Jeno terpaksa menjadi pria yang menarik dan seksi, pria yang diinginkan wanita di tempat tidur dan banyak laki-laki, juga. Tapi Jeno lelah selalu bangun tidur dan kemudian bertanya-tanya siapa yang berbaring di sampingnya.

Yang satu ini sama seperti yang lain. Tubuh seksi, tapi tak punya otak. Jeno bahkan tidak bisa tidur dan tetap tak bisa mengingat namanya.

Jeno berfokus pada dada gadis itu saat tangannya bergerak di sekitar payudaranya yang bulat sempurna, menunjukkan puting cokelat kecil ke arahnya, senjata pemusnah miliknya. Kemaluan Jeno mengejang dan ia menjilat bibirnya.

"Tidakkah kau menginginkan aku, Jeno?"

Ya dan tidak. Jeno beralih melihat ke bawah tempat tidur, mencari kembali celana pendeknya. Tak ada pakaian dalam tapi banyak bekas bungkus kondom. Dia meringis.

Jeno menyerah, meraih celana jins dan akan segera pergi, menarik risletingnya dengan hati-hati. Si jalang itu mungkin menyembunyikan celana pendeknya sehingga bisa menjualnya nanti di situs online. Well, ini bukan yang pertama kalinya terjadi.

"Jeno?"

"Maaf, aku punya pekerjaan besok pagi," katanya berbohong.

"Punya kokain lagi?" Gadis itu berbaring, mencubit putingnya yang sekeras berlian dengan jari gelisah.

Jeno bertanya-tanya apakah payudaranya itu palsu? Karena.. itu terlihat begitu sempurna. Tidak terlihat bekas luka, meskipun Jeno pernah mendengar ahli bedah bisa melakukannya dari bawah ketiak.

Jeno memiliki minat yang samar-samar untuk memastikannya, tapi tak ingin gadis itu berprasangka buruk, lagipula dia tampak terlalu muda untuk menjalani operasi semacam itu.

Gadis itu tampak sangat muda. Sial.

"Berapa umurmu, lagi?"

"Enam belas. Apa kau pikir aku cukup besar?" Dia meremas payudaranya.

"Ya, kau hebat." kata Jeno. Ya Tuhan, enam belas!

Jeno merogoh ke dalam kemejanya dan menarik bungkus foil dari sakunya. Dia melemparkannya ke perut rata gadis itu, mencari sepatunya, dan teringat kalau ia meninggalkannya di lantai bawah.

"Seks yang hebat, terima kasih banyak." katanya dan meninggalkan gadis itu tanpa menengok ke belakang.

Pesta di lantai bawah masih berlangsung meriah, diiringi oleh kata-kata yang dipakai oleh dua pria setengah telanjang dan satu wanita telanjang berpelukan di sofa, tapi Jeno sudah cukup. Dia mencari sepatunya dan pergi.


Tidak sampai hari berikutnya, ketika Jeno mendengar pembaca berita di TV mengatakan—ia ingat namanya—Herin. Umur enam belas tahun. Dalam keadaan koma setelah pesta di rumah Felix Lee, vokalis dari "Blast".

tramontane [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang