32

274 34 3
                                    

Hampir tengah malam ketika mereka kembali ke rumah Jeno.

"Dua kejutan lagi," kata Jeno saat mereka berjalan dari garasi.

"Apakah itu kejutan besar?" Renjun menyeringai, lengannya penuh hadiah.

"Salah satu harus menunggu di luar, tapi kami sedikit lebih terlambat daripada yang kukira. Pergi dan lihatlah."

Renjun pikir Jeno kelihatan terlalu senang dengan dirinya sendiri dan bertanya-tanya apa yang akan ia temukan, mudah-mudahan bukan anak anjing. Renjun meletakkan hadiah di aula dan membuka pintu. Hatinya mencelos.

"Oh Jeno, apa yang telah kau lakukan?" Bisik Renjun.

"Halo, Renjun." Ayahnya berdiri di ambang pintu memegang buket bunga.

Jeno muncul di belakang Renjun. "Yangyang memberiku nomor teleponnya. Aku menelepon dia sore ini. Kau perlu bicara dengannya, Renjun. Dengarkan apa yang dia katakan. Aku merasa lebih baik sekarang setelah aku sudah bicara dengan Ibu kandungku. Kau perlu menyelesaikan masalah ini juga."

Jeno meraih tangan Renjun tapi Renjun menarik diri. "Kau tak punya hak untuk melakukan hal ini," kata Renjun.

Semuanya tampak kabur. Titik-titik menari-nari di depan mata Renjun seolah-olah dunia telah berubah menjadi sebuah lukisan abstrak.

Sebelum Renjun menyadarinya, mereka bertiga sudah berdiri di ruang tamu. Jeno memegang lengan Renjun, menariknya duduk di atas sofa. Pikiran Renjun berpacu melewati labirin, dilempar ke jalan buntu, berbalik, mencari jalan lain untuk keluar, sepanjang waktu menyadari tak akan ada jalan keluar.

Ayahnya duduk di seberang sofa. "Jeno cukup baik memberiku kesempatan untuk bertemu denganmu malam ini, Renjun. Yang aku minta adalah kau mendengarkanku."

Renjun bagaikan mundur ke dalam cangkangnya, seperti kepiting pertapa ketakutan yang bergerak mundur ke dalam lengkungan paling rapat, mengetahui dia menjebak dirinya sendiri tapi tidak ada tempat lain untuk pergi.

Renjun berhasil merenggut tangannya bebas dari cengkeraman Jeno dan memeluk tubuhnya sendiri. Ketika Jeno mencoba untuk menempatkan lengannya di sekeliling Renjun, Renjun menolaknya. Dia tahu Jeno akan terluka, tapi Renjun tak peduli. Jeno membalik hari terbaik dalam hidup Renjun menjadi terburuk kedua.

"Apa yang kau lihat malam itu, itu bukan seperti apa yang kau pikirkan," kata ayah Renjun.

"Ibumu sakit jiwa, sayang. Dia mendengar suara-suara yang menyuruhnya untuk melakukan sesuatu. Semua baik-baik saja ketika suara itu adalah sesuatu yang baik, seperti memanggang kue tapi ada juga sesuatu yang tidak begitu baik, seperti menggali rumput di tengah malam." Dia membungkuk ke depan. "Apakah kau ingat?"

Ada sebuah lubang muncul suatu malam di halaman belakang rumah. Ibunya bilang ia menginginkan kebun bunga.

"Dia sangat menyayangimu, aku tak ingin membawanya pergi darimu. Karena aku bekerja di rumah, kupikir aku bisa menjaganya. Jika aku tahu dia bisa melakukan tindakan kekerasan, aku tak akan pernah membiarkan dia tinggal di rumah."

Renjun ingin menempatkan jari-jarinya di telinga, berceloteh omong kosong sehingga dia tidak bisa mendengar semua ini.

"Malam itu, aku berada di dapur minum kopi, membaca koran. Wendy masuk, mengambil pisau dari laci dan menikamku. Tidak ada peringatan, tidak ada perdebatan, tidak ada apa-apa. Aku mencoba untuk mengambil pisau darinya. Ketika kau turun, itulah apa yang sedang aku coba lakukan, aku tidak mencoba membunuhnya. Tapi kau menyerbu dan semuanya kacau. Entah bagaimana kita semua terluka."

Renjun terguncang, menatap lantai pada suatu titik di antara kaki ayahnya, berharap setan-setan bermata liar akan melonjak keluar melalui celah di antara papan-papan dan menyeretnya kembali ke neraka.

tramontane [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang