34

284 30 1
                                    

Renjun membuka pintu apartemennya dan bau busuk dari makanan basi menghantamnya seperti gelombang pasang berbahaya.

Renjun membuka semua jendela dan mengosongkan lemari es. Ketika ia membawa sampah ke ruang tempat sampah, ia menemukan Jaemin di sana sedang memotong kardus.

"Hei, sudah lama sekali aku tidak melihatmu. Kau baik-baik saja?" tanya Jaemin.

"Baik," Renjun berbohong dan sekelebat sentakan rasa sakit datang melalui dirinya.

"Apa yang terjadi pada wajahmu?"

Tasnya yang dilempar telah meninggalkan goresan merah panjang dari mata ke dagu. Renjun tahu Jeno tidak bermaksud menyakitinya, tapi kenyataannya adalah Jeno sudah menyakitinya, lebih buruk dari lemparan tas itu.

"Sebuah ranting mengenaiku."

"Kelihatannya parah. Omong-omong, Jungwoo sudah berusaha untuk menghubungimu."

Renjun hampir lupa dia punya pekerjaan. "Aku akan meneleponnya."

"Aku sudah selesai menggambar Jeno dan saudaranya," kata Jaemin. "Apakah kau ingin lihat dan mengambilnya?" Jaemin menahan tempat sampah terbuka untuk kantong sampah Renjun.

Renjun bertanya-tanya apakah Jaemin sudah melihat artikel di koran.

"Jadi, kemana saja kau?" Tanya Jaemin, saat mereka berjalan kembali ke atas.

"Menjauh selama beberapa hari."

"Dengan Jeno?"

"Tidak. Sudah berakhir." hati Renjun seakan sedang diremas begitu keras hingga dia kira dia bisa meringkuk dan mati.

Bagaimana bisa Renjun berpikir dia bisa mempunyai kesempatan dengan orang seperti Jeno? Jika Jeno bertemu Renjun di bar atau di jalan, Jeno bahkan tidak akan meliriknya dua kali.

"Ah, sesuatu di koran."

"Jadi kau membacanya? Dia pikir aku adalah sumbernya. Bukan aku." Suara Renjun pecah.

"Kemarilah." Jaemin membuka tangannya.

Renjun membiarkan Jaemin memeluknya tapi ketika Renjun merasa semakin remuk, Renjun menarik diri.

"Semua akan baik-baik saja, lihat saja nanti," kata Jaemin.

Renjun mengangguk.

"Apakah kau masih menginginkan lukisannya?"

Renjun mengangguk lagi, tidak dapat bicara.

Ketika Jaemin masuk ke ruangannya mengangkat potret Jeno dan Jaehyuk, Renjun mendesah. Itu luar biasa.

Jaemin telah menangkap senyum Jeno. Sebuah senyum lebar yang lepas dan polos. Rambut kusutnya mencuat ke satu sisi. Matanya bersinar seperti bayi anjing laut, besar dan mempercayai.

Mata itu tak akan pernah melihat Renjun dengan sinarnya lagi.

"Kau tidak menyukainya?" Suara Jaemin tersendat.

Renjun membasahi bibirnya yang kering dengan lidahnya. "Maaf. Hanya terpesona. Ini brilian. Aku kagum." Renjun kagum bisa berbicara tanpa menjerit. "Kau harus membiarkanku membayarmu, Jaemin."

"Tidak, aku sudah bilang padamu. Ini hadiah." Jaemin menempatkannya di lengan Renjun.

Renjun kembali ke dalam apartemennya, menutup pintu dan roboh, meluncur ke bawah saat kakinya menyerah. Dia menyandarkan lukisan di dinding dan menatapnya, matanya dipenuhi air mata.

Gambar dari Jeno dan Jaehyuk kehilangan semua fokus dan bentuknya. Warna-warnanya terurai sampai tak berbentuk, tak ada Jeno. Jeno bukan miliknya.

Hati Renjun terasa seperti di robek di dalam dadanya, tercabik-cabik. Renjun berpikir tentang terakhir kali dia duduk di sini menangis, yaitu ketika dia kembali dari kantor catatan sipil. Setelah itu dia terluka, tapi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan saat ini.

tramontane [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang