22

326 35 5
                                    

⚠️konten dewasa yaaah, minor minggir dulu🫵

"Hei, bangun."

Renjun bergerak dan mendapati Jeno sedang mengendus telinganya.

Renjun membuka matanya dan mengerjap. Semuanya gelap gulita. "Di mana sih kita?"

"Di garasiku."

"Apa tidak ada lampu?"

"Lampu otomatis, tapi sudah mati. Kita sudah di sini agak lama."

Jeno keluar dari mobil. Sesaat kemudian lampu menyala dan Jeno berjalan untuk membuka pintu di sisi Renjun.

Jeno memegang tangan Renjun tapi tidak menatapnya. Membawa Renjun naik ke anak tangga yang terjal dan membuka pintu yang membawa mereka ke dalam rumah.

Ketika mereka berjalan di lorong, mata Renjun naik ke langit-langit yang dilukis dan dia bergidik.

"Lapar?" Tanya Jeno, masih berpaling dari Renjun. Tak satu pun dari mereka makan sejak sarapan, namun Renjun merasa mual.

"Aku akan memesan makanan siap saji nanti, jika kau suka," kata Jeno.

Renjun tahu Jeno merasa bersalah karena menyakitinya, dan memang seharusnya, tapi Jeno harus menemukan jalan melalui ini semua sendiri. Renjun sudah cukup mengasuhnya.

"Apa kau ingin pulang?" Bisik Jeno.

Renjun mengangkat buku-buku jari Jeno yang tergores ke bibirnya dan menciuminya. "Tidak, aku ingin kau menunjukkan rumahmu." Renjun memastikan agar suaranya terdengar ceria.

Mereka diam saat berjalan berkeliling dan Jeno menempel ke tangan Renjun seperti anak kecil.

Ruang utamanya indah, tidak ada yang kuno atau jorok. Karpet eksotis dalam nuansa biru dan coklat terhampar di atas lantai kayu pucat. Sebuah TV LCD besar mendominasi salah satu sisi dinding dan dinding lainnya memajang berbagai lukisan yang mungkin akan Renjun pilih sendiri.

Tiga sofa kulit besar berwarna cokelat muda penuh dengan bantal biru berbulu kasar diatur mengelilingi sebuah meja kaca yang berlapis-lapis. Buku dan majalah terletak di tumpukan rapi.

Tidak ada yang janggal.

"Ooh, furnitur," kata Renjun. "Apa kau yang memilihnya sendiri?"

Jeno mengangkat bahu, wajahnya terukir dengan penderitaan, bayangan gelap kembali di bawah matanya.

"Ini seperti berada di bioskop." Renjun berdiri di samping TV besar. "Bagaimana kau menyalakannya?"

Jeno mengambil sebuah remote, menekan dan TV menyala kemudian mati. Tombol lain berfungsi menyalakan musik, ada juga untuk menutup tirai.

"Tombol yang mana untuk gua kelelawar?" Tanya Renjun.

Bahkan tidak ada sedikitpun senyum diwajah Jeno. Renjun bertanya-tanya jika dirinya akan menangis dan terisak, apa itu akan membuat perbedaan? Apakah kemampuan Renjun untuk melewatinya akan menghentikan Jeno melakukan hal yang sama?

Dapurnya, dengan permukaan granitnya yang mengkilap dan peralatan dari baja, tampak seolah-olah itu datang langsung dari sebuah showroom. Renjun menelusuri jari-jarinya di atas tempat memotong daging.

"Ini dapur yang luar biasa," kata Renjun dan bersungguh-sungguh.

Ruang musiknya didominasi oleh sebuah grand piano, lantainya ditutupi lautan kertas. Jeno tersentak dari kelesuan dan meraup lembaran naskah sedemikian terburu-buru, Renjun tahu Jeno sedang menyembunyikan sesuatu.

"Apa kau punya kebun?" Tanya Renjun. "Sebuah kebun kecil."

Jeno menyalakan lampu dan membuka pintu Prancis. Renjun melihat keluar ke halaman yang semuanya hanya tampak tanaman dan pohon. Sebuah teras bata bermotif herringbone melengkung menuju rumput kecil, dan terselip di sudut adalah meja mosaik berlapis biru dan putih dan empat kursi logam.

tramontane [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang