Obatku

22 2 10
                                    

Kau terbangun untuk yang kedua kalinya di ruangan yang sama tapi kau tidak tahu apa namanya. Rasanya kau masih mengantuk dan lemas sekali, tapi tiba-tiba seorang dokter menghampirimu.

"Halo, Nona."

Kau hanya tersenyum tipis sebagai reaksi atas sapaan ramah tersebut. Terlalu lemah untuk sekedar bersuara.

"Anda ingat tanggal lahir Anda?"

Apa-apaan ini? Apa pentingnya tanggal lahir saat tubuhmu terasa remuk semuanya seperti ini? Tapi untuk menjaga sikap sopan, kau hanya menjawab dengan menunjukkan jarimu. Dokter itu lantas mengangguk dengan wajah lega.

"Baiklah, Tuan dan Nyonya. Putri Anda untuk sementara waktu tidak dianjurkan mengkonsumsi apapun selain air putih. Dan saran kami, air putihnya jangan terlalu banyak sebagai antisipasi. Tuan dan Nyonya bisa pergunakan tutup botol air mineral yang paling besar sebagai ukuran."

Demi Tuhan. Kau benar-benar tidak suka dengan situasi ini. Situasi yang terasa terus, menyiksamu sehingga kau dibuat tak berdaya. Setelah empat hari kau menjalani opname di rumah sakit dan tidak ada perkembangan pada kondisi tubuhmu, akhirnya kau dipindahkan ke rumah sakit pusat.

Di sinilah kau menjalani prosedur laparatomi, sebagai penanganan untuk appendix atau usus buntu yang kau alami. Kau menduga mungkin rasa lemas dan mengantuk masih berkaitan dengan efek injeksi sebelum melakukan operasi.

"Jika Tuan dan Nyonya membutuhkan bantuan, silakan panggil kami. Saya permisi."

Dokter tadi meninggalkan ruangan. Ibumu tersenyum melihatmu, sebuah ekspresi yang nyaris tidak pernah kau saksikan dalam beberapa hari terakhir.

"Kita sedang berada di ICU, sayang. Kau sudah berhasil menjalani operasinya dengan baik. Sekarang tinggal pemulihanmu."

Meski memang kau harus melewati masa-masa yang berat dan langkah-langkah yang rumit, tetap saja tak ada alasan bagimu untuk tidak bersyukur. Sebab dari ujian yang Tuhan berikan ini, kau mengerti betapa pentingnya kesehatan, betapa besarnya kasih sayang keluargamu terhadapmu dan betapa berharganya dirimu.

Kau tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan kedua yang Tuhan berikan.

"Kau ingin sesuatu?"

Ganti ayahmu yang bertanya. Dibalik sikap tegasnya, ayahmu adalah sosok yang perhatian.

"Bolehkah aku menonton televisi?"

.

Sudah tiga hari kau dirawat, selama itu kau berusaha keras bagaimana untuk memulihkan tubuhmu dimulai dari hal-hal kecil seperti berjalan dan lain sebagainya. Kali ini kau ditemani ibumu memilih berjalan-jalan di sekitar taman rumah sakit.

Tanpa sengaja kau melihat anak laki-laki seusiamu sedang duduk seorang diri di sebuah bangku panjang dengan tangan kanannya yang dipasangi gips. Ibumu sepertinya juga merasa iba sehingga dia mendorong kursi rodamu menuju sang anak laki-laki.

"Halo?"

Anak laki-laki itu menoleh padamu dan ibumu dengan tatapan bingung namun balas mengucapkan halo meski lumayan canggung.

"Kau sendirian?"

Sapa ibumu sembari melihat ke sekeliling.

"Ibu masih menemui dokter."

Jawab anak laki-laki itu apa adanya.

"Oh begitu rupanya."

Ada jarak sekitar lima menit dan sang ibu dari anak laki-laki belum juga kembali. Kau hanya sibuk memperhatikan anak laki-laki tersebut. Wajahnya berbeda, dalam arti tidak seperti kebanyakan orang di sekelilingmu. Mungkin dia berdarah campuran.

Imagine with Bias (ongoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang