EIGHTEEN

18.1K 2.4K 18
                                    


Xavia diam di meja makan yang penuh dengan hidangan. Dia menatap sang kaisar perempuan di sebelahnya yang sibuk menawarkan makanan. Kemudian melirik Marten yang tersenyum senang melihat wajah masam anak perempuan itu.

"Ayo makan ini, makanan ini tidak ada di manapun selain di Ruthenia."

Xavia membuka mulut menerima makanan manis yang terbuat dari buah segar yang dicampur madu dan yogurt. Sudah kesekian kali anak itu menerima makanan tanpa protes.

Gaun merah muda yang dikenakannya sekarang juga merupakan pilihan kaisar yang merupakan ibu kandung Marten. Serta pita yang bertengger manis di kepalanya.

"Ayo, makan lagi!"

"Maafkan saya, Baginda." Xavia akhirnya bersuara. Gadis itu melirik Marten marah. Tatapan itu seketika menyadarkan Marten tentang sesuatu. Xavia sedang benar-benar marah.

"Saya datang ke sini tidak untuk menikmati semua ini." Gadis itu berdiri dari kursinya. Kemudian menunduk di hadapan Gabriella Ruthenillia.

"Saya, datang untuk hidup nyaman. Untuk lari dari masalah yang menyiksa."

Gabriella tersenyum. "Kalau begitu jadi putriku saja," ucapnya enteng.

"Menjadi putri adalah hal yang berat, saya tidak menginginkan status tersebut sebab resikonya terlalu besar. Kebaikan Anda memang luar biasa Baginda. Tapi, maafkan saya yang merupakan orang rendahan ini yang berani menolak Anda. Karena saya hanya ingin menjadi orang biasa."

Senyum Gabriella mengembang kian lebar.

"Hah, anak ini. Masih kecil sudah berbicara seperti itu. Sebenarnya masalah besar apa yang membuat anak kecil ini ingin hidup bebas, hm?"

Xavia mengembangkan senyumannya. Tak ada minat menjawab tanya Gabriella.

"Kau ingin jadi orang biasa, lantas bagaimana dengan hidupmu? Dimana kau tinggal? Dasar anak kecil berpikiran pendek," cibir Marten.

Gadis kecil di sebelahnya hanya merotasi mata karena kesal.

"Ya, seharusnya Anda tahu apa yang terjadi pada saya, Yang Mulia," tekan Xavia.

Marten diam. Dia menatap Xavia yang masih setia memasang tampang dingin. "Kau akan di sini. Di istana tapi tidak gratis."

Merasa pengucapan Marten menarik. Xavia menatap pemuda itu dengan serius. Melihat respons Xavia pemuda yang tingginya lebih tinggi 60 centi meter darinya itu tersenyum.

"Kau harus menjadi pengawal pribadiku," ujar Marten.

***

"Putri Xavia tidak ditemukan di setiap sudut. Bahkan pasukan beruang putih milik Duke Alves juga tidak menemukan, Yang Mulia putri," lapor seorang ajudan Julius——Yard Selias.

Julius menggerakkan tangannya. Melihat itu Yard memberi hormat perpisahan sebelum kemudian pergi meninggalkan ruang kerja Julius. Pria setengah baya tersebut tampak frustasi. Putrinya hilang, putri yang sebenarnya. Tatapan dingin mata biru terang Xavia teringat. Anaknya tidak seperti anak biasanya, Xavia berbeda, tatapan anak itu kuat penuh kebencian. Apakah perasaan benci itu bisa hilang dengan perhatian keluarganya yang ada hanya sementara dan sebentar saja?

Julius merasa bersalah. Sungguh. Sebuah ramalan yang tak jelas kebenarannya, membuat Julius jauh dari sang putri. Setiap saat diliputi rasa rindu mau meskipun tak pernah sekalipun ia melihat sosok Xavia sejak masih bayi.

"Bagaimana kira-kira ukuran tangannya saat dulu," gumam Julius.

Suara ketukan pintu ruang kerja Julius terdengar. Seorang perempuan anggun memasuki ruangan. Tetapi, matanya penuh amarah dan tampilannya sedikit kacau. Pucat dan kantung mata menghitam. Celyn menatap Julius putus asa.

"Ini salah Anda, Baginda! Ini salah Anda. Jika Anda tidak menukar anakku setidaknya aku bisa memeluknya. Aku bisa menyayanginya, dia membenciku, dia membenciku, Julius!" Celyn jatuh dalam pelukan Julius, dengan sura tangis yang cukup menggelegar, sembari memukul dada Julius putus asa.

"Kau, kau mendengar ucapan si palsu! Kau berjanji akan menemukan yang asli. Tapi kau tak juga menemukannya dan sekarang putriku hilang! Dia hilang sebelum aku sempat memeluknya! Dia sakit Julius, dia sakit di hatinya!" teriak Celyn lagi.

Perempuan itu terus menangis dan berteriak, sampai kemudian pingsan di pelukan suaminya. Sudah tiga hari Celyn makan buah dan minum sedikit air dengan tidak berselera.

Alfred dan Aaric juga terus menyibukkan diri sehingga memiliki alasan untuk tidak makan bersama. Hanya Teresa saja yang selalu datang di ruang makan seperti sekarang.

Gadis dengan rambut pirang yang indah itu menatap ruang makan yang sunyi. Hatinya sesak. Padahal sebelumnya keberadaan Xavia tidak pernah seberpengaruh ini. Keluarganya tidak pernah mengabaikannya sedikitpun.

"Ya, aku sebaiknya sadar diri siapa aku sebenarnya. Jika tidak memiliki kriteria keluarga Kekaisaran, mungkin aku sudah melarat."

Teresa bergumam sembari memotong daging yang ada di atas piringnya. Kemudian gadis itu tersenyum miris.

"Tapi jika posisiku dan Xavia tertukar bagaimana? Mungkin tidak akan ada seseorang Teresa yang dikenal banyak orang."

TBC

Untung Teresa tahu diri ya, wee:)

Don't Fall In Love [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang