TWENTY FIVE

16.2K 2.1K 24
                                    

Pintu gerbang besar itu terbuka, tidak tahu apa yang terjadi, Xavia tidak pernah merasa begitu gugup. Bahkan dikehidupan sebelumnya, dia tidak pernah merasakan detakan jantung yang memacu cepat meskipun bom bunuh diri sudah mendekati angka nol ketika itu. Xavia menatap orang-orang yang menyambut di depan istana dari dalam kereta kuda terbelakang yang ia tumpangi. Bersama Cleve, dan dua anak buahnya yang lain mengiringi kereta kuda yang ditumpangi Xavia.

Semua orang turun, kini giliran Xavia.

"Putri berharga Kekaisaran Ruthenia, sang api Ruthenia!" Sambutan itu tetdengar dan Xavia keluar dari kereta kuda. Dengan wajah gugup dan masih dengan jantung tak karuan. Cleve mengulurkan tangannya ke arah Xavia.

Xavia yang sudah turun dari kereta berjalan bersamaan dengan Cleve menghadap sang kaisar yang langsung menyambut kedatangannya. Pasti Alfred sudah menyampaikan banyak hal melalui suratnya sebelum kembali ke Kekaisaran Faith. Xavia berjalan menatap lurus, tetapi saat matanya bertemu dengan Julius.

Tak hanya Julius yang Xavia lihat, ada Zelene yang memakai seragam kepala pelayan, Zee yang juga memakai pakaian yang mirip hanya lencana mereka agak berbeda, kemudian Jack (?) dengan pakaian rapi seperti seorang pengurus istana. Bagaimana Jack?

"Salam saya dari putri Ruthenia kepada sang kaisar Faith," sapa Xavia.

"Berdirilah." Julius berkata dengan suara gemetar. Dia menghampiri Xavia yang sudah berdiri tegak. Menatap Julius dengan tatapan tanpa ekspresi, berbeda dengan Julius yang sudah nanar menatapnya.

"Ah, Yang Mulia Putri pasti lelah, bagaimana jika kita istirahat?" ucap Alfred yang seketika menghentikan langkah Julius.

Dengan sorot putus asa, Julius menatap Alfred. Menuntut penjelasan tentang apa yang dilihatnya.

Zee langsung diberikan kode untuk memandu Xavia oleh Teresa sendiri. Alhasil, Xavia pergi dari sana bersama yang lainnya, meninggalkan Julius setelah memberikan salam formalnya.

***

"Dia Xavia, benar 'kan, Alfred?" tanya Julius dengan suara lantang. Dia sekarang berada di ruang kerja, bersama putranya.

"Iya, Ayah."

"Lantas kau tidak mengatakan apapun. Dia selama ini di Ruthenia! Kita sudah ke sana! Kau melakukan penyelidikan itu bersama Grand Duke Aaron dulu, kenapa kalian tidak memberi laporan jika sudah menemukannya?!" Julius berkobar oleh amarah. Dia kesal atas sebuah kesalahpahaman.

Alfred menggeleng, dia meraih bahu sang ayah. "Tidak, tidak seperti itu, Ayah."

Alfred menggerakkan tubuh lemas Julius ke arah tempat duduk.

"Kami tidak menemukan apapun tentang Xavia saat itu, kami bahkan juga sama terkejutnya saat tahu ternyata Xavia adalah sang api Ruthenia dan selama ini dia ada di sana. Padahal, tidak sekalipun dia ditemukan sebelum ini. Bahkan kabarnya saja tidak ada, Ayah."

Julius terdiam mendengar penjelasan putranya. Pria tua itu kemudian berdiri dan menatap Alfred lagi.

"Lalu, bagaimana dia? Bagaimana responnya saat melihatmu dan Aaric?"

Alfred ikut duduk di kursi sebelah Julius. Dengan wajah muram dia mengatakan kepada ayahnya. "Seperti seorang yang baik-baik saja. Dia tampak sangat marah dan membenci kita. Bagaimana tidak? Kita sudah sangat jahat kepadanya. Dia, selama belasan tahun bahkan sejak bayi tidak pernah mendapatkan keadilan. Bagaimana bisa dia memaafkan kita yang begini?" tutur Alfred dengan suara lirih.

Pria tua dengan rambut emas yang mulai memutih, tertawa sumbang. Pria yang merupakan ayah kandung dari Xavia, seorang ayah kandung yang sudah menelantarkan anak sahnya sendiri demi seorang anak haram, hanya untuk menjaga nama baik. Memang, meskipun dikata itu adalah karena pengaruh sihir, tetap saja jahat. Jahat sekali. Tapi, itu diluar kendalinya!

Julius berdiri dari duduknya dengan penuh tekad dia ingin mendatangi Xavia. Putri tercintanya.

***

"Apa kabar Anda Yang Mulia?" Zee bersuara. Dia yang sedang membuka jendela kamar Xavia. Berdiri di depan jendela besar yang menjadi jalan masuk cahaya sang surya.

"Baik. Kau? Zelene? Bagaimana?"

"Seperti yang Anda lihat, syukur kepada Dewa karena Kekaisaran tidak lagi memasang sistem kasta karena pendeta agung itu sudah dimusnahkan."

Xavia tersenyum kecil. Dia yang duduk di tepi ranjang, menatap Zee yang sedang membuka tirai jendela. Rasanya, dulu Zee adalah gadis pendek yang cerewet dan cengeng, sekarang dia berubah drastis. Ada banyak hal yang terjadi beberapa tahun ini. Xavia, sangat merindukan mereka. Sungguh, meskipun Xavia sangat sulit jatuh cinta, dan termasuk takut terlalu jatuh pada cinta. Dia tidak bisa memungkiri jika Zee dan Zelene adalah orang yang berharga dalam hidupnya.

Xavia yang di kehidupan dahulu lahir sebagai anak yatim yang tinggal di jalanan, mengubah nasib dengan susah payah, meskipun dia bisa bergelimang harta dan sorakan kebanggaan, dia tetap tidak bisa hidup bahagia sebab tidak ada orang yang benar-benar mengapresiasi semua itu. Keluarga? Bahkan dulu Xavia tidak pernah memikirkan akan merasakan kasih sayang keluarga. Dia terlalu mati rasa, seperti robot yang didesain hanya untuk menghancurkan dan melaksanakan tugas khusus.

"Zee, bisa tunjukkan kepadaku di mana kamar permaisuri? Aku ... ingin menemuinya," lirih Xavia.

TBC

Thank you yang udah baca, suprot terus tes. Jangan lupa suprotnya untuk saya biar semangat! Dengan cara vote komen. Tengkyu❤

Don't Fall In Love [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang