NINE

20.6K 2.9K 36
                                    


Xavia memasang wajah kesalnya yang datar. Aaron membawa gadis yang tengah menyamar itu ke tengah lapangan latihan ksatria Kekaisaran. Ramai sekali orang-orang yang memakai pakaian khusus latihan ksatria Kekaisaran.

Manik biru Xavia yang kini lebih gelap dari biasanya, menangkap keberadaan kakak tertuanya. Alfred Alston. Tetapi, keberadaan sang putra mahkota bukan hal yang terlalu aneh untuk Xavia. Yang aneh itu keberadaan seorang pendeta di tempat latihan ksatria. Untuk apa?

"Dia adalah putra Count Askai yang tertua. Anda bisa lihat bagaimana dia memegang pedang." Pendeta tersebut menjelaskan hal tentang putra Count Askai si pemuda bertubuh tinggi dengan rambut pirang yang bagus, tetapi pendeta itu berkata untuk melihat cara pemuda itu memegang pedang?

Xavia mendecih diam-diam. "Caranya memegang saja salah," desis Xavia.

"Pendeta Agung, dia benar putra count Askai. Kalau begitu, saya ingin menantangnya untuk melawan anak ini," tutur Aaron tiba-tiba.

Xavia yang ada di sebelah Aaron, merupakan orang yang ditunjuk untuk berduel dengan orang tersebut. Gadis itu terpaku menatap  Aaron bingung.

"Ayo," ujar Aaron singkat.

Xavia menghela napas. Segera dia mulai berjalan memasuki arena.

"Anak kecil? Apakah Anda bercanda?" tanya si putra Count Askai itu.

"Tidak. Aku serius."

"Baiklah saya menerima tawaran ini." Putra count—Agres Askai. Mulai memasang ancang-ancang.

Melihat gerakan kaku tersebut Xavia tertawa remeh. Hal itu semakin membuat Agres terpancing kesal. Sedangkan Alfred diam memperhatikan.

Agres menyerang Xavia terlebih dahulu. Tetapi serangan pedang tegap milik Agres tertahan oleh pedang kecil Xavia. Kecepatan gadis itu berlari dan melompat. Menggerakkan pedang kecilnya membuat semua orang terpanah. Semuanya diam memperhatikan tanpa suara sedikitpun. Hanya denting antar pedang yang bergema.

"Putra Count?" Xavia bertanya dengan suara merendahkan kala pria yang lebih tua sepuluh tahun darinya itu tergeletak di atas tanah arena dengan napas tersenggal-senggal. Semua orang diam dengan pemandangan yang tak terduga tersebut.

Sampai kemudian Aaron bertepuk tangan dahulu, disusul tepuk tangan dan sorak-sorai orang-orang.

"Kasta tidak menentukan kekuatan sebenarnya, Pendeta Agung. Buktinya dia yang seorang budak lebih berbakat daripada Tuan Muda Agres." Aaron berujar dengan suara tenang. Sedang Pendeta Agung sudah kesal bukan main.

"Jika Anda terus memilih dan menilai orang dari kekuatan kasta untuk masuk ke dalam himpunan ksatria Kekaisaran, jika saja ada perang mungkin Kekaisaran akan kalah jika pasukannya orang-orang seperti mereka."

"Kau! Kau mengutuk Kekaisaran?! Berani sekali?!" nada tinggi Pendeta Agung menarik perhatian Alfred yang sedari tadi diam saja.

"Tidak, aku hanya mengatakan perkiraan dari fakta yang ada. Anda adalah Pendeta Agung yang seharusnya ada di kuil, bukan arena bertarung seperti ini. Jika Anda Pendeta Agung, Anda lebih baik diam di kuil untuk menerima wahyu daripada ikut campur urusan dalam Kekaisaran."

"Dasar anak monster," desis Pendeta Agung.

Bukannya merasa terhina Aaron justru tersenyum dan membungkuk hormat.

"Terima kasih atas pujian Anda."

Pendeta Agung yang kepalang kesal langsung pergi dari arena.

Alfred mendekati Aaron dan menepuk pundak pemuda tersebut.

"Hei," tegur Alfred.

Xavia mendongak melihat pemandangan indah antara dua orang tampan. Tetapi, mereka yang sama-sama dingin membuat suasana menjadi agak kurang enak dipandang.

"Kau benar-benar melakukannya," sinis Alfred.

Aaron tertawa sumbang. "Jika tidak sekarang kapan lagi kita menegurnya? Dia sudah terlalu dalam ikut campur. Aku kesal. Bahkan sampai urusan militer pun juga dicampuri!" keluh Aaron.

"Sudahlah. Mau minum teh?" tawar Alfred.

"Baiklah, jika itu kehendak Anda, Yang Mulia." Aaron membungkuk hormat di hadapan Alfred. Melihat itu Alfred langsung mengetuk puncak kepala Aaron.

"Itu menggelikan," ujarnya datar.

***

"Apa kau tahu? Pendeta itu selalu membuatku kesal." Aaron mengeluhkan hal itu lagi kepada Xavia yang kini bersandar pada pohon besar di dekat bukit.

"Kenapa kau terus mengeluh tentang masalah ini sedangkan kita orang asing?" tanya Xavia pada Aaron yang duduk di atas dahan.

"Entahlah."

"Bodoh. Bisa saja aku orang jahat dan mengambil semua itu untuk keuntungan."

"Tidak ada orang jahat yang menyebut diri mereka jahat. Tidak ada juga orang baik yang menyebut diri mereka baik."

"Ah, sudahlah, aku minta bayaranku hari ini." Xavia berdiri dengan tangan mengadah ke arah Aaron.

"Ini!" Aaron melempar kantung sedang berisikan emas.

Melihat keping koin emas di tangannya Xavia berbinar senang. Seketika ia berlari meninggalkan tempat tersebut dengan wajah bahagia tak tertutupi.

***

"Zelene! Aku pulang! Kakek itu memberikan aku makanan lagi!" bohong Xavia begitu ia memasuki area istana.

"Ya ampun, Yang Mulia!" teriak Zelene panik dan langsung mengambil alih barang bawaan Xavia.

Dari tempat tersembunyi. Seseorang tersenyum diam-diam. Pemuda dengan rambut perak dan mata biru keabu-abuan yang indah. "Aku menceritakan semua itu karena itu adalah kau Putri Xavia," lirih Aaron sembari bersandar pada tembok istana Selatan milik Xavia.

TBC

Vote komen jangan lupa! Makasih udah baca dan maaf untuk typonya

Don't Fall In Love [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang