TWENTY SEVEN

15.4K 1.9K 20
                                    

[Hari ini aku mendengar kabar mengejutkan yang membuatku hampir mati muda.

Seorang gadis yang katanya tidak akan memberikan cinta pada siapapun, seorang gadis yang membenci keluarganya beberapa tahun lalu, sekarang menjadi begitu akrab. Apakah serangan di hutan oleh orang-orang kakek tua itu berhasil menyadarkanmu?

Xavia, sekarang pasti dalam hatimu sudah memaki-ku karena kesal sudah mengolok-olok keputusanmu. Tidak seperti itu maksudku, aku hanya ingin mengatakan kalau aku turut senang, jadi ternyata keputusanku mengirim kau ke sana adalah hal yang terbaik untukmu berdamai dengan keadaan. Xavia, berbahagialah, ibu akan senang jika kau datang dengan senyuman saat pernikahanku nanti. Ah, iya, kau tidak lupa dengan pernikahanku di musim semi nanti, 'kan? Jangan lupa kembali, jangan sampai kau melupakan kami karena keluargamu itu.

Kakak tersayangmu
Mart]

Xavia menghela napas usai membaca surat itu, sudah satu minggu Xavia di sini dan sudah memaafkan kesalahan mereka. Tidak sepenuhnya Xavia lupa dengan apa yang terjadi di masa lalu, sebab apapun yang terjadi masa lalu tetap bagian dari cerita hidupnya. Apapun yang terjadi, apapun itu Xavia hanya bisa melaluinya dan menerimanya, seperti perjalanan. Tak selamanya jalanan itu akan semulus aspal jalan tol.

"Xavi, apa kau sudah tidur?" Suara lembut seseorang dari balik pintu kamarnya. Xavia tahu siapa orang itu.

Dibukalah pintu itu, terlihat sosok perempuan dengan rambut emas yang sedikit memutih, seorang perempuan cantik yang mentalnya sudah terganggu. Dia senang anaknya kembali, tidak lagi mencoba melukai diri sendiri karena Xavia terus ada di sisinya seperti seorang kakak yang menjaga adiknya.

"Ibu? Anda belum tidur?" tanya Xavia dengan suara lembut sembari dia memapah ibunya itu.

"Aku ingin tidur denganmu," lirih Celyn.

"Yang Mulia putri," panggil Zee.

Xavia menoleh dan memberikan kode 'jika dia tidak apa-apa kalau ibunya di sini'. Zee kemudian mengangguk dan pergi, sembari perlahan menutup pintu kamar Xavia.

"Xavi, apa kau akan pergi dari sini seperti dulu? Apa kau akan meninggalkan ibumu ini, Nak?" tanya Celyn yang sekarang ada di pangkuan Xavia.

Gadis cantik berambut merah tersebut menggeleng lembut sembari terus mengusap rambut beruban ibunya.

"Saya akan di sini, bersama ibu, kakak, dan ayah."

"Terima kasih," ucap Celyn lirih sebelum dia tertidur.

***

"Hei, Xavia, psst!"

Gadis yang sedang duduk di kursi dekat jendela merasa terganggu dengan suara itu, dia menoleh menuju ke luar jendela. Matanya langsung membola melihat Alfred yang duduk di atas pohon. Xavia tergopoh-gopoh keluar, dia membuka jendela pintu ke balkon dan mendekati Alfred yang duduk di pohon besar dekat balkonnya.

"Apa Anda sudah gila?! Kenapa Anda di sini?! Luka Anda belum sembuh dan Anda sudah memanjat pohon?!"

Alfred tertawa, kemudian dia melompat menuju balkon Xavia.

"Aku tidak apa-apa," ujarnya santai.

"Tidak apa-apa apanya? Kau ingin dan membiarkan kakak ipar menjadi janda?!"

"Hei, hei, hei, apa maksudmu menyumpahiku mati?"

Xavia menghela napas sembari memijat pelipisnya. Dia menatap heran pria anak satu di depannya. Sifatnya masih seperti anak kecil, padahal sebelumnya Xavia mengira dia adalah orang terdingin dan tercuek yang pernah ada.

"Ayo kita duel," tantang Alfred.

"Gila! Luka Anda saja belum sembuh, aku tidak mau!" tegas Xavia sembari dia masuk ke dalam kamarnya lagi.

"Kalau begitu aku akan tetap di sini sampai kau mau," balas Alfred tidak mau kalah.

"Haih! Gila!"

***

Wajah datar Xavia begitu jelas menampakkan jika dia kesal sekali. Kakaknya bilang jika dia menantang duel, tetapi kenapa sekarang jadi begini?!

Xavia terjebak di arena bersama Aaron. Berdua! Di tengah lapangan. Seharusnya lawan Xavia adalah Alfred bukan Aaron, tetapi begitu tiba di arena latihan Alfred yang tadi bisa memanjat pohon tiba-tiba mengeluh kesakitan dan meninggalkan Xavia di lapangan bersama Aaron dan ksatria Elang merah dan Serigala putih.

"Kekanakan," ucap Xavia kesal.

Dia sudah siap mengayunkan pedang. Berhadapan dengan Aaron. Mendengar keluhan Xavia Aaron terkekeh.

"Ya, Anda benar, Yang Mulia putri."

Xavia memicing. Kemudian menghela napas. "Kita tidak harus berduel 'kan? Hari ini aku sangat ingin beristirahat, karena dia sudah pergi kita sudahi saja. Toh, ini bukan hal wajib."

Aaron kembali menyimpan pedangnya. "Anda benar," balas Aaron.

Xavia juga memasukkan pedangnya ke dalam sarung, kemudian beranjak meninggalkan lapangan latihan. Dengan mengabaikan Aaron yang menatap kepergiannya.

TBC

Dua hari absen, nggak up sana dan sini. Sorry, soalnya ada acara. Hehe.

Doakan hari ini bisa double update, muehehe

Don't Fall In Love [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang