NINETEEN

17.9K 2.4K 15
                                    

Seorang perempuan bertubuh semampai. Melompat dari satu dahan pohon ke dahan lain. Kemudian satu tangannya yang terbebas melempar sebuah belati ke arah seorang berbaju hitam yang tengah berlari kelabakan. Serangan yang tepat sasaran. Gadis dengan mata biru yang cantik itu tersenyum di balik penutup wajahnya.

Melihat musuhnya terkapar, barulah dia turun dari dahan pohon dan menghampiri orang tersebut. Menarik rambut pria itu dengan sadis kemudian melepas penutup wajah orang itu. Beberapa ksatria dengan seragam merah berlari mendatangi gadis itu.

"Komandan, maaf atas keterlambatan kami."

Perempuan itu melepas penutup wajahnya yang juga terhubung pada ikatan rambutnya. Seketika rambut merah ikal tergerai sepanjang pinggang, mata biru yang bersinar indah seperti lautan dalam yang tenang. Perempuan berusia dua puluh dua tahun itu menatap anggotanya sebal.

"Urus dia." Dengan kasar, dia melempar musuh yang sudah ia tikam tadi kepada para ksatria.

"Setelahnya datang ke lapangan latihan. Selain kekuatan kalian juga harus cepat."

Para ksatria saling tatap kemudian menghela napas kasar. Komandan mereka memang cantik, tetapi sangat tegas dan ketat. Tidak ada ampun bagi orang yang melakukan salah. Baginya, ksatria harus kuat, lincah, cerdas, dan terampil. Tidak ada pasukan lemah diluar kriteria itu di pasukan Naga Merah mereka.

***

Xavia menyandarkan diri ke bahu kursinya. Seorang pemuda yang sepantaran dengannya datang dengan senyuman canggung.

"Komandan, tidak kah latihan enam bulan belakangan cukup?" tanya pemuda itu.

Xavia segera menatap tajam pemuda di seberang mejanya. Kemudian gadis cantik dua puluh dua tahun itu menghela napas. "Kalau cukup, mereka tidak akan melakukan kesalahan."

Cleve Jarl——asisten komandan, yang merupakan asisten Xavia memasang wajah memelas. Pemuda bertubuh atletis dan tinggi itu duduk di hadapan Xavia yang tampak lelah.

"Nah, kau sendiri saja lelah."

"Aku lelah, tapi 'kan ada kau sebagai asisten untuk melatih mereka. Intinya satu bulan kemudian kesalahan seperti tadi tidak terjadi. Mereka tidak cekatan. Bagaimana jika kaisar terbunuh tadi?"

"Hah, kau ini sungguh susah diajak bicara, Xavia."

Gadis cantik di hadapan Cleve sekarang hanya mendesah keras, kemudian bangkit dari mejanya. Cleve adalah teman kecil yang ia kenal di Ruthenia. Seorang anak duke Jarl di Ruthenia, sengaja dikenalkan dengan Xavia oleh Kaisar terdahulu.

"Xavia-ku!" teriakan itu menghentikan langkah Xavia yang hendak keluar dari tenda tempat mereka bermukim sementara untuk menumpas para pembuat onar di perbatasan. Xavia menatap ke arah pintu masuk tenda. Seorang perempuan lanjut usia dengan gaun sederhana berlari memeluk Xavia erat.

"Kenapa Anda di sini Ibu Suri?" Jabatannya sudah berubah, sifatnya yang berwibawa di hadapan para bangsawan masih ada, begitu juga dengan sifat kekanak-kanakan yang membuat Xavia kadang kerepotan. Meskipun begitu, Gabriella adalah sosok orang tua yang baik. Meskipun Xavia hendak menjadi orang biasa, dia memberikan posisi orang biasa yang nyaman. Xavia merasa tak enak karena ia mendapatkan posisi itu karena Gabriella dan Marten.

Akan tetapi, justru itu juga Xavia membuktikan jika bukan hanya karena hubungan mereka ia bisa mencapai puncak. Dari ksatria biasa menjadi komandan adalah perjalanan menyenangkan yang Xavia nikmati.

"Aku merindukan Via kecilku," rengek Gabriella sembari mengusap-usapkan wajahnya di bahu Xavia yang terhapus seragam.

"Ibu Suri, Anda harus istirahat."

"Setelah kita makan bersama dengan anak durhaka yang mengurung ku itu."

Xavia tertawa kecil. "Baiklah. Ayo kita makan malam bersama anak durhaka Anda."

***

"Salam kepada cahaya terang Kekaisaran," sapa Xavia dan Gabriella.

"Ibu?!" teriak Marten begitu melihat sang ibu bersama dengan Xavia. Wajahnya panik.

"Bagaimana bisa Ibu di sini?"

Gabriella tidak menjawab atau mempedulikan anaknya, dia justru menarik Xavia untuk duduk di dekatnya.

"Xavia," panggil Marten menuntut penjelasan.

Xavia menghela napas kasar. "Beliau datang sendiri, aku juga tidak tahu, Baginda."

"Hah," hela napas Marten sembari menepuk dahinya.

Tanpa peduli dengan keresahan putranya, Gabriella justru menyantap makanannya dengan tenang.

"Baginda!" Seorang pria beruban datang dengan wajah panik. "Kekaisaran Faith mengirimkan surat peperangan!"

Xavia terdiam karena kaget sedang Marten sudah berdiri menerima surat itu.

"Apa? Bagaimana bisa?" tanya Marten dengan suara lirih saat ia membaca surat tersebut.

TBC

Don't Fall In Love [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang