THIRTY SEVEN

12.6K 1.7K 9
                                    

Besok keberangkatan menuju Ruthenia akan dimulai. Perjalanan untuk Xavia kembali. Sungguh sekarang Xavia sendiri bingung, ketika kembali orang-orang mengatakan kalau surat pemutusan kekeluargaan itu palsu dan sudah dimusnahkan, jadi Xavia masih keluarga Kekaisaran Faith, tetapi bagaimana dengan Ruthenia? Dia juga sudah menjadi seorang putri di sana. Selama ini Ruthenia memberikan segala hal terbaik untuk Xavia. Dalam kurun waktu sebulan semua berubah, membuat Xavia berpikir jika dia adalah orang yang tidak tahu terima kasih.

"Ayah?" panggil Xavia pada Julius yang katanya ada di ruang kerjanya.

"Maaf, Yang Mulia Putri. Baginda Kaisar saat ini ada di area latihan." Begitu kata seorang penjaga yang baru saja menghampiri pintu ruang kerja itu. Menyampaikan informasi yang seketika membuatnya merubah tujuan.

***

Di tempat latihan yang suasananya sangat suram. Ada pasukan serigala putih dan pasukan Kekaisaran. Xavia bisa menangkap air muka lelah dan ketakutan para ksatria dihadapkan empat orang di tengah lapangan latihan.

Empat orang itu, Julius, Alfred, Aaric, dan Aaron yang masih berdiri kokoh di tengah dengan tangan kanan memegang pedang masing-masing. Keempatnya menyorot tajam ke arah para ksatria.

"Apa ini? Segini saja?" teriak Aaric.

Mendengar suara Aaric yang menggelegar membuat Xavia agak kaget. Sebab, dibanding Alfred yang sudah banyak bicara dengannya, Aaric lebih ke jarang bicara tapi banyak bertindak. Aaric itu adalah orang termanis setelah Julius.

"Melawan empat orang saja kalian tidak bisa!" bentak Alfred. Kali ini Xavia melihat sisi lain Alfred yang membuatnya agak terkejut tetapi kemudian senyuman gadis itu melebar.

"Latihan dengan baik mulai sekarang. Jangan bermalas-malasan! Ingatlah tujuan kalian ada di sini apa! Jangan asal mengayun pedang tanpa teknik! Semua hal itu dilakukan dengan aturan bukan sembarangan." Kalimat Aaron ini lebih tenang terdengar, tetapi sangat menohok.

Julius hanya diam dan memasukkan kembali pedang ke dalam sarung tanpa kata. Tatapan tajamnya itu justru lebih menyeramkan bagi para ksatria daripada kata-kata Alfred, Aaric dan Aaron sekalipun.

"Wah, sedang latihan, ya?" Suara Xavia itu seketika mengalihkan pandangan keempat laki-laki menyeramkan pagi pada ksatria.

Keempatnya kompak merubah ekspresi wajah begitu melihat Xavia. Alfred melepas pedangnya kemudian berlari ke arah Xavia. Sedangkan Julius dengan santai bejalan menuju Xavia dengan senyuman lebar. Aaric yang duluan tiba dibanding Alfred yang berlari, sebab jaraknya lebih dekat dengan Xavia.

Aaric tersenyum tipis sembari mengusap puncak kepala Xavia. Keempat orang menyeramkan itu seketika mengerumuni Xavia.

Ksatria yang sebelumnya tegang karena suasana mencekam berubah menjadi lega karena kehadiran Xavia.

"Gila, wajahnya langsung berubah," bisik seorang ksatria.

"Ya, Putri Xavia memang punya sihir tertentu," balas seorang ksatria lain.

"Beruntunglah dia datang tepat waktu di saat kita akan mati ketakutan di sini," sahut seorang lainnya.

"Ah, kau ke sini mau menghampiri kami? Ada apa?" tanya Alfred yang sudah berdiri di dekat Xavia. Kedua tangan Alfred berada di atas kepala gadis itu. Katanya, agar Xavia tidak terkena sinar matahari karena di lapangan latihan itu panas.

"Yap, aku ingin minum teh bersama kalian," ucap Xavia.

"Aku juga?" tanya Aaron semangat.

Aric menatap tajam Aaron yang memasang wajah tembok, dia bertingkah seolah pertanyaannya itu tidak salah.

"Tidak. Ini khusus kami," tegas Xavia.

"Oh, begitu. Jadi, kita kapan? Setelah bersama Baginda, dan Pangeran-Pangeran ini Anda akan minum teh dengan saya, 'kan, Yang Mulia?" tanya Aaron yang tak kenal jera sudah diketusin Xavia.

Kali ini Julius hampir kelepasan tertawa. Dia menepuk punggung Aaron. Seraya berbisik. "Sudahlah anak muda, menyerah saja," bisiknya.

"Hei, Pak Tua. Aku tidak akan menyerah. Karena sekarang ini, putrimu sudah mencintaiku, yakinlah."

Aric melirim tak senang. "Sejak kapan? Kau tahu dari mana dasar serigala beruban," sinis Aric.

"Sekarang saja adik Anda sedang tersenyum," ucap Aaron yang mendadak menatap Xavia.

Kalimat itu sukses membuat Xavia mematung sebab kedua kakaknya dan sang ayah menatap bersamaan. Menangkap basah dia yang memang tengah tersenyum.

"A-ada apa?" tanya Xavia terbata.

"Dia tidak akan menikah jika aku belum menikah," tegas Aric.

Kemudian dia menarik Xavia pergi.

Alfred tertawa melihat wajah kesal Aaron. "Cukup sulit berhadapan dengan Aric," katanya.

Julius juga melakukan hal sama. Mereka merangkul Aaron yang membuatnya semakin membara. Hanya satu restu saja, itu tidak akan sulit.

TBC

Semangat Bang Aaron kutahu kau bisa, haha! Kalau tak ada saingannya:v

Don't Fall In Love [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang