"Mereka mengumumkan perang karena ksatria naga merah menculik sang putri," jelas Jeav Charles——asisten Marten. Seorang yang mengantarkan surat peperangan dari Kekaisaran Faith beberapa waktu lalu.Wajah Marten berubah, begitu juga Xavia. Dia menatap manik Magenta Marten dengan bingung.
"Sama sekali tidak ada satu ksatria-ku yang pergi ke sana. Anda tahu jika kami terus berlatih selama beberapa bulan belakangan, kemudian menangani serangan dari Kekaisaran Faith sendiri. Jika ada orang yang harus marah untuk semua ini tentu pihak kita," ujar Xavia menggebu-gebu.
"Aku tahu." Marten berjalan menuju mejanya. Mereka ada di perbatasan sekarang. Di kediaman sementara kaisar. Pria dua puluh sembilan tahun itu menulis sebuah surat dengan segel Ruthenia.
"Kita diskusikan masalah ini dengan mereka. Jika bisa jangan ada peperangan," ujar Marten seraya menyerahkan kertas kepada Jeav yang kemudian dilipat pria itu dan dimasukkan ke dalam amplop.
"Tapi jika mereka masih ingin berperang—"
***
"—kita mulai perang itu sesuai keinginan mereka," ujar Xavia begitu ia membaca gulungan surat balasan dari Kekaisaran Faith.
Netra birunya menatap Cleve yang langsung mengerti. "Bawa masuk para pembuat onar itu!" perintah Cleve.
Beberapa ksatria menggiring para tahanan yang sudah sangat pucat dan penuh luka di hadapan Xavia. Tangan mereka diikat sejajar.
Xavia yang semula menatap ke arah barat sekarang berbalik. Manik birunya menatap satu-persatu tahanan dan kemudian tatapan selidik berubah menjadi getaran netra karena terkejut melihat sosok tak disangka di antara para tahanan.
"Teressa?" gumamnya begitu didapatinya seorang perempuan dengan rambut pirang dan mata biru yang pucat. Perempuan itu memakai gaun kumuh berwarna cokelat muda, wajahnya lebam dan dia sendiri gemetar ketakutan.
Seketika Xavia mengerti sesuatu yang terjadi saat ini.
"Teressa," panggil Xavia kali ini dengan suara keras. Untuk mengonfirmasi apakah tidak salah mengenali seseorang yang hanya ia temui satu-dua kali dalam hidupnya.
"Ah?" Perempuan itu menoleh karena kaget. Begitu mata biru mereka bertubrukan. Teressa begitu kaget dan langsung menangis. "Xavia! Xavia!" teriaknya histeris.
Mendengar namanya dipanggil oleh Teressa. Ada getaran aneh di hatinya. Xavia menoleh ke arah Cleve. "Lepaskan dia."
"Komandan——"
"Kau membantahku?" sinis Xavia.
Cleve membuka ikatan tapi tambang di tangan Teressa. Seketika ketika terlepas Teressa berlari ke arah Xavia. Tetapi dua bawahan Xavia yang ada di sebelahnya seketika mengacungkan pedang ke arah Teressa.
Perempuan berambut pirang itu terdiam di tempat. Tangannya yang gemetar menghapus air matanya. Kemudian perlahan mencoba menangkup wajah Xavia. Begitu tangan dingin Teressa menyentuh wajah hangat Xavia, hela napas lega menguar dari Teressa.
Xavia memerintahkan para bawahannya untuk menurunkan pedang dengan kode tangan. Setelah pedang turun, Teressa langsung menghambur memeluk Xavia.
"Xavia! Xavia! Kami merindukanmu, kami mencarimu ke mana-mana, ayah begitu khawatir, dan ibu terus sakit karena beliau sangat menyayangimu. Kembalilah, kembalilah."
Kalimat yang diucapkan Teressa menggelitik perut Xavia. Aneh. Mereka merindukan anak yang tak pernah diinginkan. Mereka begitu ingin menyingkirkannya tetapi saat Xavia pergi semua merindukannya? Ini lelucon aneh sepanjang masa.
Xavia melerai pelukan itu.
"Bersihkan dirimu dahulu, Yang Mulia Putri. Barulah kita bicarakan apa yang terjadi padamu," ujar Xavia dengan suara tenang dan senyuman seadanya.
***
"Mereka menculikku, mereka bukan ksatria Kekaisaran Faith. Mereka bukan orang kami, karena mereka menculikku dan membawaku ke perbatasan," jelas Teressa.
Xavia sedikit memahami. Tetapi, penjelasan Teressa begitu tergesa-gesa. "Jelaskan perlahan."
"Saat itu aku tengah berasa di taman, menikmati waktu sore dengan secangkir teh, kemudian beberapa orang menyerangku dan membawaku dengan wajah ditutup kain hitam. Tapi sekilas aku melihat, mereka dengan sengaja meninggal lencana Ksatria Naga Merah di taman."
"Kemudian saat diperbatasan, mereka membuka penutup wajahku. Ketika itu mereka melakukan tindakan brutal dengan membunuh dan membakar rumah orang-orang di perbatasan, di wilayah Ruthenia. Saat ksatria Ruthenia datang mereka melepaskan ikatan ku. Mereka sengaja memakaikan lencana Kekaisaran Faith kepadaku."
"Beginilah akhirnya. Aku yakin ini tindakan si tua bangka karena tidak puas dengan kekalahannya," jelas Teressa.
"Orang ketiga, dia pasti orang ketiga," tebak Marten.
"Tua bangka? Siapa dia?" tanya Teressa.
"Kau tahu, pendeta Agung itu? Dia adalah palsu, dia membuat kami menjauhimu, sang anugerah Tuhan. Dia ingin menghancurkan Kekaisaran dengan membuatmu hilang dari Kekaisaran. Dia mengucap ramalan yang salah. Dia bilang jika; seorang putri berambut merah akan menjadi seperti putri terdahulu yang menjadi penyebab krisis Kekaisaran. Padahal, yang sebenarnya adalah kau itu anugerah Kekaisaran, Xavia."
Xavia menghela napas. Entahlah penjelasan itu tidak lagi penting untuk dirinya yang tak mau berharap lebih. "Jadi, Pendeta Agung yang asli?"
"Kami sudah menemukannya."
Xavia berdiri berjalan menuju jendela kediaman sementara. "Tetapi, pasukan Kekaisaran Faith sudah akan sampai besok di perbatasan Ruthenia."
Marten berdiri tepat di sebelah Xavia. "Meskipun begitu, aku yakin kau mengerti apa yang harus dilakukan. Jangan ada peperangan jika perlu."
Tawa kecil Xavia muncul, tangan kecil dan kasarnya menepuk punggung tangan Marten yang ada di bahunya. "Anda bisa mengandalkan api merah Ruthenia ini, Baginda."
TBC
Aaa! Sebenarnya ini ngga sesempurna imajinasi alur saya dari pagi tadi. Tapi sama aja intinya.
Keep vote and koment. Jangan abaikan saya, jangan silent kalau kalian menghargai saya. Makasih!
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Fall In Love [SELESAI]
Фэнтези[BUKAN NOVEL TERJEMAHAN] [YANG PLAGIAT TIATI MUKA PENUH JERAWAT] [KARYA ORISINIL, DARI HALU SAYA SEBELUM TIDUR] [JANGAN JADI SILENT READERS, YA! NANTI BISULAN] C hanyalah seorang agen rahasia tanpa nama, biasa dipanggil dengan sebutan agen C. Peremp...