TWENTY TWO

16.9K 2.2K 2
                                    

Aroma bunga mawar terhirup setiap orang yang ada di halaman istana Kekaisaran Ruthenia. Aroma manis yang lembut, beriringan dengan suara langkah anggun seseorang. Seperti waktu melambat, sosok perempuan dengan rambut merah yang keluar dari pintu utama, membuat semua yang menunggu tertegun.

Dia cantik, dia sempurna, dan mereka semua mengenalnya dengan identitas berbeda.

"Xa-Xavia?" Aaron jelas terkejut, selama gadis itu pergi meninggalkan Kekaisaran mendiang ayahnya yang bertugas dalam pencarian rahasia, begitu juga dengan dirinya, mereka sudah mengirim mata-mata ke Ruthenia tapi tidak ada laporan tentang Xavia. Justru yang mereka dengan belakangan adalah tentang api Ruthenia yang hebat.

"Perkenalkan dia Xavia Ruthenia, api Ruthenia," ujar Marten yang tersenyum lebar seolah dia sudah menanti wajah terkejut orang-orang Faith.

"Ap-apa?" Alfred tampak tak terima mendengar ucapan Marten. "Dia——"

"Maafkan saya tetapi perjalanan ini harus segera di mulai, saya ingin cepat menyelesaikan segalanya," potong Xavia sembari menunduk hormat.

Gadis itu berbalik menatap Marten yang tersenyum penuh arti, sedangkan Xavia sudah jengah dan ingin menampar wajah itu jika saja Marten bukan kaisar.

"Selesaikan masalahmu dan mereka," bisik Marten.

Xavia melotot tak senang. "Saya hanya akan menyelesaikan masalah negara, tidak dengan masalah saya."

"Jika bisa sekali mendayung dua pulau terlampaui, kenapa tidak?" balas Marten dengan entengnya.

"Hah, sudahlah. Aku tidak tertarik dengan penyelesaian yang pasti hanya berujung kenyataan pahit," ucap Xavia mengakhiri pembicaraannya. Dia menaiki kereta kuda yang disediakan. Untung berbeda kereta dengan Teresa.

***

Sudah petang, rombongan berhenti di tengah hutan, lapangan di pusat hutan ini sering dijadikan tempat istirahat. Xavia turun dari keretanya dan langsung disambut oleh Aaron dan Alfred. Aaric tidak ada tetapi jika Aaric ikut pulang mungkin Aaric akan ada diantara mereka.

"Ada apa Yang Mulia Putra Mahkota dan Grand Duke Greisy ada di sini?" tanya Xavia sopan.

"Bagaimana kau bisa di Ruthenia bahkan menjadi putri Ruthenia? Komandan perang? Mereka menjadikan putri Faith sebagai komandan perang? Dengan tangan kecil itu?" Pertanyaan Alfred begitu runtut dan emosional. Pemuda itu seolah sudah menanti sejak tadi perbincangan ini.

"Apa kau sudah merencanakan ini sejak pemaksaan penandatanganan pemutusan kekeluargaan saat itu?"

"Saya sama sekali tidak merencanakan ini, saya hanya berniat untuk kabur dari keluarga yang membuat saya sesak. Apakah Anda akan percaya jika saya menjawab begini?"

Alfred terdiam. Dia bisa melihat ketegasan dan kejujuran di mata Xavia.

"Rasanya tidak pantas jika saya berbicara di sini. Jika ingin dilanjutkan setidaknya kita harus ke tempat lain," imbuh gadis itu, yang kemudian memimpin jalan menjauh dari kerumunan ksatria dan pelayan yang mempersiapkan tenda dan barang-barang.

***

Teresa ikut bergabung untuk mendengar penjelasan Xavia. Entah apa yang terjadi, padahal Xavia tidak ingin berbicara banyak dengan mereka, tetapi mulutnya sudah terlanjur berbicara seperti tadi. Ia harus menyelesaikan pembicaraan ini, setidaknya mereka tidak menganggap Ruthenia adalah penjahat yang merenggut putri mereka. Eh, ah, sejak kapan Xavia adalah putri? Dia hanyalah anak haram dari Kaisar di mata semua orang.

"Ketika itu saya ingin kabur, jauh dari semua orang, saya ingin sebuah ketenangan yang biar saya hidup susah asal saya terbebas. Saya pergi dengan Kaisar Ruthenia yang saat itu menjabat sebagai Ksatria penjaga saya, dia dikenal sebagai seorang budak berbakat yang kemudian dijadikan ksatria. Tetapi masih dianggap rendah."

Semua orang diam mendengar penjelasan Xavia. Tetapi wajah terenyuh Alfred dan Teresa tak bisa disembunyikan.

"Kami kabur bersama. Dia mengajak saya ke Ruthenia, katanya dia cukup mengenal negara itu, saya bersamanya pergi. Dan di sana saya baru tahu jika dia adalah penerus Ruthenia. Saya memulai semuanya dari nol. Jadi, keberadaan saya di sana adalah keinginan saya, saya yang menginginkan semua ketenangan di Ruthenia, bukan dengan paksaan. Saya sendiri juga yang senang memegang pedang, jadi berhenti menyalahkan Ruthenia karena saya mencintai mereka."

'Ah, aku mencintai Ruthenia. Hah, pada akhirnya aku jatuh cinta pada orang-orang di sana yang hangat padaku. Pada akhirnya aku mengerti apa itu cinta,' batin Xavia, tanpa sadar dia memegang dadanya yang berdesir bahagia. Xavia merasakan cinta setelah memasuki kehidupan kedua. Cinta keluarga, cinta dengan teman, cinta sesama manusia, Xavia merasakan itu pada akhirnya.

Spash!

"Yang Mulia!"

Crak!

"Ada serangan! Yang Mulia di serang!" Kegaduhan terjadi karena serangan anak panah dari arah timur. Aroma darah tercium begitu dekat. Bisa dirasa aroma menenangkan seseorang dan dekapan hangat.

"Tenanglah." Suara itu membuat Xavia tertegun, senyuman yang manis dan sorot mata yang begitu tulus.

TBC

Don't Fall In Love [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang