"Anda terluka," lirih Xavia kepada Alfred yang mendekapnya erat.Alfred tersenyum dengan wajah pucatnya seperti orang bodoh, dan itu membuat Xavia jengkel. Gadis itu mendorong orang tubuh tegap Alfred. Kemudian Xavia mengeluarkan pedangnya. Beruntung tadi dia meminta dipakaikan gaun yang bisa dikenakan untuk bertarung.
Xavia membunuh tiga orang penyerang, dibantu Aaron dan Cleve.
Ksatria lain melakukan pengejaran untuk menangkap penyerang yang kabur.
"Lindungi Putri Teresa!" teriak Aaron pada pasukannya.
"Biar aku saja!" teriak Xavia yang kemudian berlari ke arah Teresa. Gerakan Xavia yang cepat juga berhasil menarik Teresa mendekat ke Alfred.
"Cabut anak panah itu!" perintah Xavia pada Teresa yang kini ada di sisi Alfred. Xavia sibuk melawan tiga orang penyerang.
"Tapi-"
"Apa kau mau kakak berhargamu mati? Cabut anak panah dengan cepat, dan bungkus lukanya."
Xavia mengalahkan orang terakhir. Kemudian dengan mudah ia merobek gaun suteranya yang lembut dan ringan. Kemudian diberikan kepada Teresa untuk menekan pendarahan di bagian bahu Alfred yang terkena anak panah.
Para penyerang habis. Ada yang terbunuh, ada juga yang hanya terluka untuk dijadikan sandera dan petunjuk.
Para Ksatria yang dipercaya mengamankan para penyerang. Sedangkan Aaron dan Teresa langsung membawa Alfred untuk diobati.
Xavia dan Cleve memilih untuk tetap di tempat sembari duduk di bawah pohon.
"Kau tampak khawatir tadi," ejek Cleve yang notabene sudah tahu siapa Xavia sebenarnya.
"Aku hanya tidak suka berhutang nyawa. Lagipula kenapa dia langsung memelukku begitu? Tidak sayang nyawa sendiri," sinis Xavia.
"Hei, hei, hei, nona berhati es abadi. Berhenti bersikap dingin begitu, mereka itu saudaramu. Mereka keluargamu, kami yang orang Ruthenia saja kau sayangi tidak mungkin mereka yang memiliki ikatan tidak menggoyahkanmu."
"Berhenti mengucapkan omong kosong, Bajingan."
Xavia menatap tajam asistennya. Kemudian menatap lurus ke arah para Ksatria elang merah yang sibuk mengamankan mayat dan tahanan.
'Aku memiliki ikatan dengan mereka? Cih,' batin Xavia sinis.
***
Malam hari yang gelap. Usai huru-hara sore tadi. Xavia tertidur usai makan malam bersama pasukannya.
Awalnya Xavia tenang memasuki alam mimpinya sampai kemudian pergerakan yang mencurigakan mencapai radarnya, dengan cepat Xavia bangun dan menarik tangan orang yang hendak mendekatinya.
"Ah! Xavia ini aku," ucap Alfred.
Xavia melepaskan tangan itu kasar. Dia melirik sejenak pemuda yang hanya memakai kemeja putih tipis, otot tubuhnya tercetak jelas, dan bahu kiri yang terluka itu sudah diobati.
Xavia duduk bersila di tempat tidurnya.
"Apakah Anda tahu Yang Mulia?" tanya Xavia dengan nada sinis.
"Hm?" Alfred memasang wajah penasaran. Dia masih setia berdiri menatap Xavia.
"Anda datang ke kamar saya dengan pakaian itu, persis seperti seorang mesum."
Alfred yang awal-awal tersenyum langsung merubah wajahnya kesal.
"Apa yang kau katakan?!"
"Itu kenyataan. Lihat diri Anda sendiri," balas Xavia.
"Hah," hela Alfred. Dia kemudian duduk di atas kayu potong yang ada di tenda Xavia. Memang berfungsi sebagai tempat duduk. "Aku terluka karenamu, tapi sejak tadi kau tidak menjengukku."
"Saya tidak pernah meminta Anda menyelamatkan saya seperti tadi," balas Xavia tajam.
Alfred tersenyum hambar. Dia kemudian bangkit, tatapannya berubah sendu ke arah Xavia.
"Kau bisa bersikap dingin denganku, Aaric, ayah, atau bahkan Teresa. Tapi, saat tiba di Faith nanti, bisakah kau sedikit memberikan kehangatan untuk ibu?" tanya Alfred dengan suara putus asa. Suaranya serak menahan tangis.
Xavia tersenyum sinis. "Maksud Anda Baginda permaisuri? Untuk apa? Dia bukan siapa-siapa. Saya hanyalah anak haram dari seorang pelayan," balas Xavia tajam.
Alfred mendelik tak senang. "Dia adalah perempuan yang melahirkanmu, dia! Permaisuri adalah ibumu?! Bukan pelayan sialan itu!" teriak Alfred yang lepas kendali.
Xavia tahu, dia sangat tahu jika sebenarnya dirinya ini anak kandung Kaisar dan permaisuri. Tetapi, di mata orang, dan juga klaim yang ada mengatakan jika Xavia adalah anak haram Kaisar. Dia hanya aib dan seorang putri terkutuk.
"Begitukah?" tanya Xavia dengan wajah sepolos mungkin.
"Bukankah kata mereka aku anak haram?" imbuh Xavia memanas-manasi lagi.
"Kalian juga membenciku karena aku adalah anak haram, iya 'kan?"
Tangan Alfred mengepal keras. Matanya memerah karena emosi dan sakit hati. Adiknya, menjadi seperti ini, membenci keluarganya sendiri. Sebenarnya salah siapa? Salah mereka sebagai keluarga yang percaya akan ramalan dan terlambat sadar itu tipuan atau salah Xavia yang tidak bisa menerima kenyataan meskipun sudah dikatakan?
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Fall In Love [SELESAI]
Fantasía[BUKAN NOVEL TERJEMAHAN] [YANG PLAGIAT TIATI MUKA PENUH JERAWAT] [KARYA ORISINIL, DARI HALU SAYA SEBELUM TIDUR] [JANGAN JADI SILENT READERS, YA! NANTI BISULAN] C hanyalah seorang agen rahasia tanpa nama, biasa dipanggil dengan sebutan agen C. Peremp...