THIRTY THREE

13.3K 1.7K 16
                                    

Hay hello anyeong!
Yang nungguin cerita ini masih ada? Bisa vote komen yang banyak? Bisa dibilang saya lagi down sekarang. Tapi, saya berusaha untuk nggak mengabaikan ini.
Oh iya, sekedar info untuk kalian. Mulai sekarang, nama ajudan Xavia Cleve. Saya ubah jadi Calvin. Terima kasih

_______________

Xavia tidak pernah menyangka jika hukuman mati akan menimpa Teresa. Sekarang ini, adalah akhir Teresa. Gadis itu tampak berdiri lemas dengan gaun terakhirnya yang acak-acakan, ada juga beberapa luka gores dan wajah Teresa yang begitu kusam dan pucat. Sungguh, meskipun dia memang sudah sangat membuat Xavia menderita. Entah kenapa, Xavia merasakan sesuatu yang menyakitkan saat melihat keadaan Teresa sekarang. Sungguh Teresa tampak berbanding terbalik dengan dia yang selama ini Xavia kenal.

"Xavi," panggil Celyn lembut. Wajahnya tampak cemas, kemudian Xavia memejamkan matanya saat merasakan usapan lembut Celyn pada pipinya. "Jangan menangis," ucap Celyn lagi.

Xavia merengut. Menangis? Xavia segera meraba pipinya yang memang basah, jadi Xavia menangis? Untuk Teresa?

Sebelum ini, Xavia mengira Teresa melakukan itu hanya karena merasa kehadiran Xavia adalah gangguan untuknya yang selama ini biasa menerima cinta keluarga. Xavia mengira jika Teresa tak benar-benar berniat untuk membunuhnya, tetapi hasil penyelidikan Aaron dan Calvin tidak membenarkan persepsi Xavia tentang Teresa.

Sebab, ternyata ibu Teresa yang merupakan pelayan itu adalah putri dari pendeta agung palsu itu, secara otomatis Teresa adalah cucu dari orang itu dan beberapa bukti mengatakan jika Teresa adalah orang yang ada dibalik semua ini.

Jadi, Xavia yang sempat merasa kasian dan ingin membela pun menjadi kesal karena hal ini. Bukti sudah jelas dan Teresa masih belum mengaku. Dia masih terus memohon dengan air matanya dan wajah memelasnya, mengungkit segala hal selama ini yang terjadi dalam hidupnya kepada keluarga Kekaisaran.

"Kalian tidak akan pernah bahagia, tidak akan pernah! Karena anak pembawa sial itu kembali ke tengah-tengah kalian. Suatu hari nanti kalian akan menyesal sudah membuatku mati hari ini," kata Teresa ketika dia menghadap ke keluarga Kekaisaran termasuk Xavia.

Mata Teresa penuh dendam dan kekecewaan. Ini bukan salah Xavia, ini juga bukan salah Aaron atau keluarga Kekaisaran, ini adalah salah Teresa yang sudah memilih jalan yang salah. Padahal jika saja dia tidak melakukan kejahatan dengan bergabung bersama kakeknya mungkin semua ini tidak akan menimpa Teresa dan dia masih bisa merasakan kasih sayang keluarga Kekaisaran hingga sekarang.

"Kau! Bajingan tua! Kau sudah membunuh ibuku! Kau, mengakui sebagai anak hanya karena sihir kakekku, jika tidak kau pasti dengan kejam membunuhku!" teriak Teresa seraya menunjuk Julius penuh amarah.

Julius hanya diam menatap dingin sedangkan beberapa ksatria sudah mengamankan Teresa dan membawanya ke tempat hukuman. Celyn menatap ke arah Julius yang diam sejak tadi.

"Tidak apa-apa," kata Celyn

Julius menggenggam tangan istrinya dan tersenyum singkat. Tidak tahu kenapa, rasa gelisah menyelimuti Julius sekarang ini. Bukti yang dibawa Aaron, Calvin, dan Alfred membuktikan jika selama ini Teresa adalah pusat sihir yang membuat mereka semua tersiksa selama belasan tahun. Teresa adalah bom waktu utama yang disiapkan oleh pendeta agung palsu, tidak tahu apa yang terjadi nantinya. Apalagi saat mendengar ancaman Teresa yang lebih terdengar sangat membenci Xavia dan menargetkan putrinya itu.

Xavia baru saja pulih, dia pulih sedikit tetapi tidak dengan efek racun yang akan pulih setelah satu minggu ke depan.

Gadis berambut merah yang duduk di sebelah kakak iparnya tersentak saat merasakan hadir seseorang di belakangnya. Orang itu adalah Aaron. Pemuda bertubuh tegap itu berdiri tegak di belakang Xavia, bukan lagi duduk di tempatnya yang sudah didedikasikan.

"Ada apa?" bisik Xavia kepada Aaron.

Pemuda itu hanya menggeleng dan tersenyum membuat Xavia kian waspada. Dia menatap Teresa yang sudah siap dihukum mati. Teresa tersenyum ke arah Xavia yang kini menatap resah padanya. Netra Xavia juga bisa menangkap sosok Calvin yang berjaga di depan Xavia. Agak jauh. Calvin dan lainnya berjaga di bawah podium. Merasa ada hal aneh, gadis itu lantas memegang pedangnya untuk berjaga-jaga.

Kras!
Suara itu nyaring. Suara potongan alat yang sudah memotong leher Teresa. Semua orang diam menatap sosok Teresa yang sudah terpisah antara kepala dan tubuhnya. Agak lama sampai kemudian sesuatu yang aneh dan mengerikan terjadi. Tubuh dan kepala Teresa meledak. Menjadi abu yang berserakan.

"Tutup hidung kalian semua! Jangan sampai menghirup abunya!" teriak Aaron.

Sang kaisar——Julius langsung memegang pedang, begitu juga Alfred dan Aaron. Semua ksatria langsung siap dengan senjata masing-masing. Sedangkan Zee langsung membawa Celyn pergi, bersama Zelene dan Alfan anak Alfred dan Eillaria. Semua perempuan pergi kecuali Xavia.

"Anda harus berlindung, Yang Mulia," kata Aaron. Tetapi, diabaikan oleh Xavia yang justru mengambil ancang-ancang dengan pedangnya.

Aaron yang melihat itu langsung kesal. Dia mencengkeram bahu Xavia. "Anda belum pulih! Racun itu masih berefek, jika sesuatu terjadi pada Anda——jangan egois Yang Mulia. Saya tahu Anda memiliki kekuatan itu, tetapi sekarang tidak memungkinkan untuk Anda ikut mengatasi hal ini," tutur Aaron. Nadanya sempat meninggi tetapi kemudian kembali melembut.

Xavia akhirnya mendengarkan. Dia menatap Julius dan Alfred bergantian. Keduanya kemudian memeluk Xavia erat. "Aaric dan pasukannya akan tiba, kau tidak perlu khawatir tentang kami. Lagi pula apapun itu, ayahmu ini adalah orang yang kuat," kata Julius bangga.

Tetapi, hati Xavia tidak tenang dengan hanya kalimat itu. Entah kenapa, hal tadi membuatnya gelisah. Entah apa yang akan terjadi setelah ledakan itu. Dan yang membuatnya sedih adalah, Xavia tidak bisa ikut melindungi orang-orangnya. Dia jadi orang lemah sekarang. Dan itu sangat membebani Xavia.

Gadis itu berjalan menjauh, hendak memasuki tempat persembunyian di area eksekusi. Sebelum benar-benar masuk Xavia tersentak karena kalimat Aaron.

"Yang Mulia, bagaimanapun juga Anda adalah sosok yang berhak untuk dilindungi. Anda bukan sosok yang harus sempurna, Anda tidak perlu merasa bersalah atau sedih, karena semua manusia punya batasannya," ujar Aaron dengan senyuman termanis yang pernah Xavia lihat.

Ketika itu, hal yang tak pernah Xavia rasakan sebelumnya. Detak jantung dan gejolak aneh yang menggelitik, membuat Xavia refleks tersenyum ke arah Aaron.

"Terima kasih," ucap Xavia sebelum benar-benar hilang dibalik pintu persembunyian.

TBC

Don't Fall In Love [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang