Be My Forever || Aku Setuju!

135 13 0
                                    

Meira meremas ujung jas putihnya dengan keras, ia bahkan mengabaikan getar ponselnya yang berada di saku jas. Hatinya sakit dengan semua kenyataan ini, dan Karel bisa-bisanya pria itu langsung menikam jantungnya dengan pengakuannya.

"Kau sudah gila," desisnya.

Karel tersenyum getir, "Semua akan gila jika menyangkut cinta, Meira .... "

Meira merasa pedih di kedua matanya, Karel benar-benar meikam jantungnya berkali-kali, tanpa jeda. "Kau bahkan sampai meminta Rajendra melepaskan Rossaline di hadapan keluargamu. Kau benar-benar tidak punya hati!"

Karel menatap Meira. "Hey, kenapa kau tampak sangat emosi? Kau lupa, jika kita bukanlah dua orang yang cukup akrab,"

Lagi-lagi, Karel mempertegas bahwa persahabatan mereka selama ini sudah benar-benar hancur, dan tak lagi berarti. Ia dan Karel bukan lagi sahabat yang selalu menghabiskan waktu bersama seperti dulu, kini mereka adalah orang asing.

Meira menghapus air mata yang mulai mengalir di wajahnya. Ia lantas berdiri di hadapan Karel, dan menundukkan sedikit tubuhnya, "Tuan muda Alister saya mohon maaf, karena saya telah lancang--"

"Mei, apa yang kau lakukan?" sela Karel, saat tiba-tiba Meira menunduk hormat kepadanya.

Meira menegakkan tubuhnya kembali, menatap Karel dengan datar. "Saya permisi, maaf karena sudah mengganggu waktu anda," imbunya, lantas ia berjalan meninggalkan Karel dengan perasaannya yang sangat sesak.

Karel ini benar-benar mempermainkan perasaannya, pria itu berkali-kali menegaskan jika mereka hanya orang asing, tapi ia yang memulai mendekati, dan kemudian menyakitinya. Selalu saja begitu.

Meira sampai di ruangannya, ia merogoh ponsel, dan menemukan banyak panggilan tidak terjawab dari ayahnya. Ia segera menghubungi ayahnya.

"Pa," ucapnya setelah panggilannya terhubung, ia tidak sadar jika kini ia mulai menangis, dan terisak.

"Nak? Ada apa? Kau baik-baik saja? Mengapa menangis?"

Semua pertanyaan sang Ayah tidak ia jawab, ia justru malah menangis begitu suara sang Ayah terdengar.

"Nak? Meira? Meira sayang?" Arkana kembali memanggil namanya. Arkana menjadi sangat panik saat tiba-tiba putrinya menangis.

"Meira .... " Arkana kembali memanggil namanya.

"Pa--a-ku ingin pulang," ucapnya terbata karena menahan isak tangisnya.

"Ya sayang. Papa akan menjemputmu besok,"

Meira menggelengkan kepalanya, meski tahu Arkana tidak akan melihatnya. "Sekarang Pa. Aku ingin pulang sekarang,"

"Iya sayang. Papa akan menjemputmu sekarang, apa kau di apartemen?"

"Aku di rumah sakit,"

Terdengar helaan napas sang Ayah. "Papa akan segera datang," Arkana tidak keberatan pergi dari Bandung, ke Jakarta untuk menjemput putri semata wayangnya yang tampak sedang tidak baik-baik saja, meski suara tangisnya sudah mereda.

"Pa," panggilnya.

"Hm?"

Meira menghapus air mata di wajahnya. "Papa bisa menjemputku besok. Apa Papa bisa membantuku mengurus pemberhantianku?"

"Sayang, apa kau baik-baik saja?" tanya Arkana. Ia jelas terkejut dengan ucapan putrinya yang mengatakan akan berhenti bekerja di Trisakti Hospital. Padahal, dulu ia sangat bersikeras untuk pindah dari Bandung, ke Jakarta. Ia bahkan menolak bekerja di rumah sakit milik keluarganya, tapi kenapa tiba-tiba Meira ingin berhenti?

Ia merasa ada hal yang telah terjadi dengan putrinya dalam sehari ini.

"Pa, aku setuju," ucapnya tiba-tiba.

"Setuju untuk apa?" tanya Arkana, ia semakin bingung dengan ucapan putrinya.

"Aku akan bertunangan dengan Raja,"

Ia memutuskan untuk benar-benar membuang perasaannya terhadap Karel, dan memulai semuanya dengan Raja. Lagi pula, Raja adalah pria yang sangat baik, dan sangat mencintainya dengan tulus. Ia yakin, jika terus bersama dengan Raja, perasaannya untuk pria itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu.

*****

"Woah! Ada apa ini?" tanya Raja saat Meira tiba-tiba berlari ke arahnya, dan melompat ke pelukannya. Beberapa menit lalu, Meira memang memintanya untuk menjemputnya ke rumah sakit.

Meira mempererat pelukannya, Raja balas memeluk, dan terkekeh dengan Meira yang juga terkekeh di dalam pelukannya. Keduanya kemudian saling melepaskan pelukannya, Raja menyelipkan rambut panjang Meira ke belakang telinganya.

"Sekarang, katakan kepadaku, kenapa tiba-tiba kau menjadi agresif?" godanya.

Meira melotot, dan memukul pelan dada Raja. Seolah tidak terima dengan Raja yang mengatainya 'Agresif'. Sedangkan Raja pura-pura meringis, padahal pukulan Meira sama sekali tidak terasa di tubuhnya.

"Jangan lebay! Aku bahkan tidak memukulmu dengan keras!" seru Meira kesal.

Melihat Meira yang kesal, Raja lantas tertawa dan menarik pelan hidung mancung Meira yang lantas membuat wanita itu protes, tapi kemudian keduanya tertawa.

"Raja," panggilnya.

Raja menghentikan tawanya, menarik pinggang Meira mendekat kepadanya tidak peduli dengan orang-orang di lobi rumah sakit yang mungkin sedang melihat mereka bermesraan.

"Hm, ada apa? Apa kau lapar? Kita bisa mampir membeli makan--"

"Ayo bertunangan," sela Meira.

Tidak ada jawaban dari Raja, pria itu menatap Meira dengan kedua bola mata yang melebar. Ia shock dengan apa yang baru saja Meira ucapkan.

"Ayo bertunangan," ulangnya, yang masih belum juga mendapatkan respons dari Raja, sampai membuat Meira menghentakkan kakinya dengan kesal.

Barulah saat itu Raja memgerti, dan mendekap Meira ke dalam pelukannya. Ia senang saat akhirnya Meira menerima tawaran pertunangannya yang sebelumnya sudah ia katakan tiga hari lalu. Ia pikir Meira akan menolaknya, karena wanita itu tidak kunjung menjawab, siapa sangka ternyata Meira menerima pertunangannya.

Ia sangat senang, sampai ia mengangkat tubuh Meira dan berputar-putar layaknya anak kecil yang baru saja mendapatkan ice cream dari orang tuanya.

Meira memekik, dan tertawa saat Raja mengangkat tubuhnya. "Raja! Mereka semua melihat kita!" serunya.

Raja tidak bisa menghilangkan senyum di wajahnya. Bagaimana pun, ini benar-benar kejutan yang sangat berartu untuknya. Raja memang berniat serius dengan Meira, ia ingin bertunangan dulu, setidaknga hubungan mereka memiliki status, dan untuk pernikahan ia harus berbicara dulu dengan Meira, ia tidak akan memaksa Meira untuk menikah dalam waktu cepat.

Selain karena pernikahan itu adalah hal yang sakral, pernikahan juga sangat penting, dan harus memiliki kesiapan yang matang untuk melangkah ke tahap itu.

"Biarkan saja. Biarkan semua orang tahu, jika aku sedang sangat bahagia,"

Meira tertawa, lalu Raja menurunkan tubuhnya, dan kembali memeluknya. "Terima kasih, Mei,"

Meira membalas pelukan Raja, "Aku yang berterima kasih kepadamu,"

Semua pemandangan itu di saksikan oleh banyak orang, mereka semua melihat betapa bahagianya pasangan itu, termasuk Karel Alister yang ternyata juga melihat semua adegan kemesraan itu dari awal.

Be My Forever [Alister Series II] COMPLETED ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang