"Aku mencintaimu, Meira!"
"Arrggh!!" Meira menumpukan kepalanya di atas meja, seraya mengacak rambutnya dengan kesal. Sialan! Kata-kata Karel terus berputar-putar di kepalanya seperti kaset yang rusak.
Meira terus mengumpat di dalam hati, tiga kata itu berhasil memorakporandakan seluruh pertahanan yang telah ia bangun selama ini. Ia pikir setelah sejauh ini, perasaannya tidak akan pernah lagi terpengaruh oleh Karel. Namun ternyata salah, jantungnya masih berdegup untuk Karel. Ia bahkan tidak merasakan apa pun saat bersama dengan Raja.
"Ah, sial!" Meira mengangkat kepalanya, dan menopangnya dan bertopang dagu.
Jika begini, seluruh usahanya telah sia-sia. Meira mengerang kesal, seraya mengacak rambutnya. Ia bersyukur saat Karel selesai mengatakan ketiga kata itu, ia mendapatkan telepon dari UGD jika ada pasien darurat yang harus di operasi, dan tanpa membuang waktu Meira segera melesat meninggalkan Karel.
Setelah operasinya selesai, ia segera bergegas masuk ke ruangannya. Mencoba menenangkan diri dari serangan Karel yang tiba-tiba. Bahkan kecupan Karel di keningnya masih sangat terasa. Ya Tuhan, Karel benar-benar sudah menggancurkan segalanya.
Cklek!
Ia mendongkak saat pintu ruangannya tiba-tiba terbuka. Meira kembali mengerang kesal saat sosok yang muncul di hadapannya itu adalah Karel Alister, yang membawa sebuah paperbag polos entah berisi apa. Meira sudah uring-uringan dengan perubahan sikap pria itu hampir nyaris tidak fokus saat menjalani operasi, karena ulah pria itu.
Seolah belum cukup memorakporandakan hatinya, pria itu malah kembali muncul di hadapannya. "Aku tahu kau belum makan siang. Jadi, aku membawakan makan siang untukmu, dan juga denganku,"
Meira mencoba tidak terusik dengan kehadiran Karel yang sudah duduk di kursi yang berada di hadapannya, seraya mengeluarkan dua kotak makan dari dalam paperbag.
"Kenapa melihatku seperti itu?" tanya Karel setelah selesai meletakkan dua buah kotak makan di atas meja kerja Meira. Ia tahu jika Meira terus menatapnya, dan itu membuat dirinya sedikit terganggu.
Meira mendengkus, "Urusanmu memangnya belum selesai, ya?"
Karel tertawa, "Yang memiliki urusan disini adalah Papaku, dengan ayahmu. Jadi, aku memiliki banyak waktu luang sekarang!"
Meira berdecih. "Aku sudah makan. Bawa saja makanan itu keluar,"
Karel menunjukkan wajah sedikit kecewa, "Sayang sekali, padahal aku sudah bersusah payah menumpang memasak di dapur apartemen temanku," tangan Karel lantas bergerak memasukkan kembali kotak bekal tersebut, namun tiba-tiba Meira menahannya.
Ia berdeham, "Ayo makan," ucapnya, dan wajah Karel terlihat begitu senang.
Meira dengan cepat mengambil kotak makan dari tangan Karel dan membukanya. Wajahnya tampak berbinar melihat isi kotak makan tersebut, ada nasi dan ayam betutu di sana, yang merupakan makanan kesukaannya. Tentu saja aroma ayam betutu itu langsung membuat perutnya lapar saat menghirup aromanya. "Jangan salah paham ya. Aku mau memakannya, karena menghargai temanmu itu," ucapnya.
Karel mengangguk, seraya menahan tawanya. "Mau pakai sendok?" tawarnya setelah mengeluarkan dua buah sendok yang di bungkus rapi dengan tisu.
Karel tidak berbohong soal itu, ia memang mengunjungi apartemen temannya sejak Meira meninggalkannya karena ada pasien yang akan di operasi. Ia berbelanja sendiri, dan meminjam dapur
Meira menggeleng. "Kau saja yang pakai," ucapnya. Kemudian tanpa membuang waktu, ia bergegas mencuci tangan di wastafel yang berada di dalam ruangannya."Makan ayam betutu itu lebih enak menggunakan tangan, benarkan?"
Gerakan tangan Meira yang mencuci tangan itu terhenti saat ada tangan lain yang menyentuh tangannya. Tangan milik Karel bergerak membersihkan tangan mungil milik Meira, jangan lupakan irama jantung mereka yang saling bersahutan. Meira bahkan dapat merasakan dagu Karel yang berada di bahu kirinya, pria itu bersenandung pelan dengan kedua tangan yang sibuk membersihkan tangan Meira.
Demi Tuhan, Meira sangat bersyukur karena wastafel di ruangannya tidak memiliki cermin, jika saja ada cermin ia akan malu karena Karel akan melihat wajahnya yang sudah sangat memerah.
"Sudah, tangan kita sudah bersih sepertinya."
Meira berdeham, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Ia dapat mendengar tawa Karel yang tertahan, lalu pria itu sudah berjalan menuju meja lebih dulu. Meira meraup napas beberapa kali untuk menghilangkan kegugupannya. Sial! Kenapa ia bisa goyah hanya dengan perhatian Karel yang spele.
"Kapan kau akan pulang?" Meira sudah kembali ke mejanya, mencoba menelan makanan yang di kunyahnya.
Sial! Rasanya ingin menusuk mata Karel yang tak berhenti menatapnya. Pria itu benar-benar menyebalkan.
"Kenapa?" Karel bahkan terus menyuapkan makanan ke mulutnya, berbeda dengan Meira yang nyaris kehilangan selera makannya karena terus menerus di tatap olehnya.
Meira berdecak kasar. Hilang sudah selera makannya sekarang. "Ya memangnya kenapa? Aku tidak boleh bertanya?"
"Kau ini kenapa sih? Apa kau masih belum juga mengerti?"
Meira menghentikan kunyahan di mulutnya, sebelah alisnya terangkat ke atas mencoba menelaah semua sikap Karel hari ini, dan mencoba mengerti apa yang Karel Maksud.
Karel terlihat membuang napas dengan kasar, ia juga berhenti memakanan makanannya, menatap Meira dengan tegas. "Aku serius saat mengatakan akan berjuang mendapatkanmu,"
Meira langsung merotasi bola matanya. "Kau sudah gila ya? Berjuang untuk mendapatkan calon istri orang lain? Kau benar-benar sudah tidak waras,"
Meira tidak lagi menyentuh makanannya yang baru beberapa suap ia makan itu. Ia mencoba menyembunyikan seribu pertanyaan di kepalanya agar tidak keluar dari ucapannya. Ia bertanya-tanya apakah Karel sungguh serius dari ucapannya? Meski pun serius, itu rasanya sangat mustahil. Pernikahannya dan Raja sudah di depan mata, dan yang lebih parahnya lagi, Karel dan Raja bersahabat.
"Itu mustahil Karel," ucapnya dengan sedikit miris.
Kenapa baru sekarang? Dulu, Karel bahkan menolak mentah-mentah perasaannya, menyakitinya ratusan kali, bahkan memutuskan persahabatan mereka yang terjalin sejak lama.
Karel menegakkan tubuhnya, dengan kedua mata yang masih menatap Meira dengan lekat, menyampaikan dengan sorot matanya bahwa tidak ada kebohongan, serta keraguan dari semua ucapannya hari ini.
"Tidak ada yang mustahil Mei. Kau masih calon istri Raja, belum sah menjadi miliknya. Itu artinya, sebelum ijab kabul terucap, aku masih berhak untuk berjuang!" serunya.
Meira tidak membalas ucapannya. Jujur ia merasa bimbang, sudah pasti karena ia masih sangat mencintai Karel, namun ia dan Raja akan segera menikah. Pantaskah ia menerima Karel untuk memperjuangkannya?
"Kau hanya perlu membiarkanku menunjukkan seberapa besar cinta yang ku miliki untukmu. Kau hanya harus mengikuti apa kata hatimu, jika pada akhirnya aku memang kalah, setidaknya aku sudah pernah berjuang,"
Meira tenggelam dalam netra tegas milik Karel, ia tidak dapat memungkiri bahwa perasaannya kepada Karel belumlah mati, malah bertambah semakin besar hingga rasanya nyaris meledak.
"Izinkan aku untuk memperjuangkanmu, kali ini saja."
Wajah tampan yang belakangan ini terlihat sangat arogan itu, kini menatapnya dengan penuh permohonan. Hati nurani Meira tergerak, dan akhirnya ia menganggukkan kepalanya.
Ia mengizinkan putra Alister itu berjuang, tanpa tahu ke depannya akan seperti apa nanti, apakah ia akan kalah, atau menang. Karena setiap orang berhak memiliki kesempatan kedua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Forever [Alister Series II] COMPLETED ✓
Romance# 9Karel (20/11/2022) # 5 Meira (20/11/2022) # 29 Conflict (21/11/2022) Merebut calon pengantin orang lain, tidak pernah ada dalam daftar hidup Karel Alister. Putra sulung keluarga Alister yang sejak kecil tidak terlalu peduli dengan keadaan se...