Keduanya sama-sama tahu, setelah hari itu, semuanya tidak akan lagi sama. Mereka menjalani hidup masing-masing, menjadi dua orang asing yang tidak pernah saling menyapa. Apartemen Meira yang selalu kedatangan sosok ceria Karel, kini mulai sepi.
Ia tidak lagi menatap punggung pria yang memasak di dapur apartemennya. Tidak ada canda, tawa, dan juga suara pria itu di sini. Semuanya seolah senyap, hilang, dan meninggalkan Meira sendirian di apartemen ini, hanya dua potong pakaian Karel yang tersisa di sini.
Ini sudah satu minggu lamanya, ia dan Karel benar-benar tidak saling mengunjungi, dan menelepon seperti dulu.
Meira memejamkan mata, mengunyah apel yang tiba-tiba terasa sangat hambar di mulutnya. Ia tidak berhenti menyalahkan dirinya, seandainya saja ia bisa mengendalikan diri, serta perasaannya lagi seperti yang ia lakukan bertahun-tahun, ia dan Karel mungkin masih bisa bersama, dan tidak kesepian seperti ini.
Meira mengusap air mata di wajahnya, bagaimana bisa ia melupakan Karel, sedangkan seluruh hal di apartemennya penuh dengan kenangan Karel.
Sudah seminggu pula, ia makan, dan tidur tidak teratur. Ia hanya mengurung diri di dalam kamar, dan menangis sepanjang hari mengingat percakapan terakhir mereka di depan pintu kamarnya.
"Eh, kenapa menangis? Apa kau masih demam?"
Meira membuka mata, dan menatap sosok wanita paruh baya, dengan rambut yang di cat pirang di hadapannya itu. "Ma," ucapnya.
Wanita paruh baya itu menghampiri Meira, dan menariknya ke dalam pelukannya. "Ada apa? Apakah apelnya tidak enak?" tanyanya dengan penuh khawatir.
Meira mengangguk di dalam pelukannya, "Iya, apelnya tidak enak," rengeknya, lalu ia mulai menangis.
Ilana Littera Hadikusuma, memeluk tubuh putrinya dengan erat. "Iya, Mama akan membelikan buah lain nanti," katanya, tanpa perlu bertanya apa yang menyebabkan putrinya menangis seperti ini, ia sudah mengerti.
Ilana tahu, jika putrinya mencintai sang putra pertama Alister, bahkan sejak mereka duduk di bangku SLTA. Hampir setiap hari putri sulungnya membicarakan Karel dengan wajah yang bersemu merah, kepadanya. Ilana tidak perlu bertanya, apa yang membuat putrinya seperti ini. Satu hal yang ia yakini, putrinya sudah kehilangan Karel Alister.
Semalam, ia dan Arkana Hadikusuma yang merupakan suaminga itu, sengaja datang untuk mengunjungi Meira. Siapa sangka, jika mereka menemukan Meira terkapar tidak sadarkan diri di sofa apartemen, dengan demam yang sangat tinggi. Arkana yang berprofesi sebagai dokter itu, segera melakukan penanganan untuk putrinya yang terlihat sangat menyedihkan.
"Kenapa Meira tiba-tiba menangis?" sosok Arkana Hadikusuma menghampiri dua wanita tercintanya tersebut, duduk di atas stool bar, dan memakan potongan buah apel yang masih banyak di atas piring.
Ilana berdecak, "Astaga, Kana! Meira menangis, karena apel pembelianmu, rasanya tidak enak!"
Arkana mengerutkan dahi, mengunyah pelan-pelan potongan apel di dalam mulutnya. "Rasanya manis kok," sahutnya.
Ilana merotasi bola matanya, "Arkana!" tegurnya.
Arkana mendengkus, ia tahu jika Ilana sedang mencoba menenangkan hati putrinya. "Huh, kau benar. Ini tidak enak, biar aku yang menghabiskannya,"
Ilana menghela napas, masih memeluk putrinya. "Sudah, jangan menangis. Papa yang akan memakan apel tidak enak itu,"
Meira mengangguk di dalam pelukan Ilana.
Mungkin, semua itu terdengar kekanakan, tapi Ilana dan Arkana memang memperlakukan, dan menganggap Meira seperti gadis kecil bagi mereka.
"Huh, kenapa kau tidak pulang ke rumah saja sih, Mei? Kenapa harus sewa apartemen, dan bekerja di rumah sakit lain, sedangkan Papamu adalah direktur rumah sakit,"
Ilana melotot kesal kepada sang suami yang tengah berceloteh dengan santai, sembari menyuapkan apel ke dalam mulutnya.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanyanya kepada Ilana, kemudian ia beralih menatap Meira, "Mau sampai kapan, kau mengejar putra Alister itu?"
Meira yang berada di dalam pelukan sang ibu, langsung melepaskannya, dan menatap Arkana dengan bingung, "Bagaimana Papa tahu?"
Arkana mendengkus, "Memangnya kau itu putri orang lain? Sampai Papa tidak tahu apa pun tentangmu?"
Meira berdeham, mencoba menatap mata tajam sang ayah.
"Dan, kau pikir Papa tidak tahu apa yang menyebabkanmu seperti ini?" tambahnya.
Ilana menghela napas, menggenggam tangan sang putri. "Kana, sudah cukup," tegurnya halus.
"Apa ia menolak cintamu?" Arkana tidak menghiraukan ucapan Ilana.
Meira mengangguk, dan Arkana mendengkus. "Bisa-bisanya ia menolak putri Papa yang paling cantik di dunia ini,"
Meira menahan senyum, dan menyandarkan kepalanya pada bahu sang ibu. Meira beruntung tumbuh dan lahir di keluarga Hadikusuma, dengan penuh limpahan kasih sayang dari Arkana, dan Ilana sebagai kedua orang tuanya.
Arkana mendekat, mengusap kepala putri tunggalnya dengan sayang. "Papa, tidak akan memaksamu pulang. Lakukan apa pun yang kau inginkan," lalu ia memberikan kecupan singkat pada kening Meira. "Jika lelah, dan duniamu sedang tidak baik-baik saja, kau boleh pulang. Papa, dan Mama akan memelukmu,"
Meira mengangguk, dan memberikan pelukan kepada sang ayah. "Terima kasih Papa,"
Satu hal lagi, Arkana selalu membebaskannya melakukan apa pun, selagi itu baik untuknya. Ya, sekali lagi ia merasa sangat beruntung atas itu.
Sama halnya dengan Meira, selama satu minggu ini pun, Karel juga tidak baik-baik saja. Selama satu minggu ini ia menjadi sosok yang pemalas, tidak pernah lagi memasak, dan membuat camilan untuk dirinya juga Rajendra.
Rajendra berdecak, menatap sang kakak yang tengah berbaring malas di atas sofa. "Kak!" serunya.
Karel hanya menatap sang adik dengan malas.
"Sungguh? Mau berapa lama memangnya kau mau bermalas-malasan seperti itu?" decaknya.
"Berisik Rajendra," sahutnya.
"Ck! Aku akan ke mini market, kau ingin menitip sesuatu?" Rajendra tidak ingin mengganggu Karel yang satu minggu ini terlihat sangat aneh. Mau ia bertanya pun, kakaknya itu pasti tidak akan menjawab.
"Hm, belikan aku es krim strawberry," balasnya singkat.
Rajendra mendengkus pelan, "Itu saja?"
Karel hanya membalas pertanyaan Rajendra dengan gumaman saja.
"Ck! Kau seharusnya bercermin, dan melihat wajahmu yang sudah seperti mayat hidup!" seru Rajendra.
Karel tahu, perkataan Rajendra merujuk kepada dirinya yang terlihat kacau. Bahkan, ia yang merupakan seorang pria yang sangat rapi, selama satu minggu ini benar-benar berantakan. "Kenapa kau cerewet sekali? Pergi sana!"
Rajendra sekali lagi mendengkus, sebelum akhirnya ia benar-benar pergi meninggalkan rumah.
Sepeninggal Rajendra, Karel menghela napas dan masih berbaring di atas sofa. Rajendra benar, satu minggu ini dirinya memang sangat berbeda, ia bahkan menjadi sangat pemalas sekarang. Ia tidak bisa memasak lagi di dapur, karena hanya akan mengingatkannya kepada Meira.
Ya, ia selalu memasak makanan, dan ia akan membawanya ke apartemen Meira, atau terkadang ia yang memasak di apartemen Meira.
Sial!
Kenapa nama Meira selalu memenuhi kepalanya.
Karel mengerang, sedikit berteriak karena kesal dengan dirinya sendiri. Sampau kemudian ponselnya berbunyi, dengan sebuah pesan dari Rajendra.
Rajendra
Aku bertemu Tante Ilana di depan mini market. Tante Ilana bilang, Meira sedang sakit, kau tidak ingin menjenguk?
Kedua mata Karel terbuka lebar, saat membaca pesan tersebut. "Meira sakit?" gumamnya. Ia lantas duduk di atas sofa, hendak menekan ikon panggilan kepada Rajendra, tapi ia mengurungkan niatnya.
"Huh, Meira juga manusia. Tentu saja ia bisa sakit," Karel lantas kembali berbaring, dan mengetikkan sebuah balasan kepada sang adik.
To: Rajendra
Wajar, Meira juga manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Forever [Alister Series II] COMPLETED ✓
Roman d'amour# 9Karel (20/11/2022) # 5 Meira (20/11/2022) # 29 Conflict (21/11/2022) Merebut calon pengantin orang lain, tidak pernah ada dalam daftar hidup Karel Alister. Putra sulung keluarga Alister yang sejak kecil tidak terlalu peduli dengan keadaan se...