Karel, dan Meira setuju membagi tugas. Meira bertugas untuk memotong sayuran, ayam, dan mengiris beberapa bumbu. Sedangkan Karel bertugas untuk memasak, dan membuat bumbu. Meski suasana sangat canggung untuk keduanya, tapi mereka mencoba untuk bekerja sama menghasilkan masakan yang enak untuk di makan oleh mereka berempat.
Raja masih setia menemani Emma mengobrol di ruang tamu selagi Karel, dan Meira memasak. Karel, dan Meira tidak tahu jika Emma sengaja terus membuka topik pembicaraan, membiarkan Karel dan Meira menghabiskan waktu berduaan. Katakanlah, jika ia sangat egois dengan masih mengharapkan kedua orang itu untuk bersama.
Raja tiba-tiba saja pergi ke dapur dengan wajah yang penuh rasa bersalah.
"Sayang, aku minta maaf karena tidak bisa ikut makan malam bersama," katanya.
Meira yang tengah memotong wortel itu mengangkat wajah, dan menatap Raja. "Kenapa tiba-tiba tidak bisa? Aku sudah--"
"Sayang maaf sekali. Aku harus menggantikan meeting yang sebelumnya di hadiri oleh Angga, karena Angga tiba-tiba sakit dan di larikan ke rumah sakit,"
Karel berdeham, mencoba menahan tawa. Ayolah, Angga memiliki kekebalan tubuh yang bagus seperti Rajendra, Angga tidak mudah sakit, bahkan di usianya yang hampir kepala tiga itu Angga nyaris tidak pernah sakit bahkan sampai harus ke rumah sakit.
Meira sedikit kecewa, tapi mau bagaimana lagi. Ia tidak bisa egois dengan meminta Raja tetap tinggal dan ikut makan malam bersama.
Dengan sangat berat hati, Meira menganggukkan kepalanya. "Baiklah. Hati-hati saat mengemudi ya,"
Raja mengangguk, masih terlihat jelas gurat penyesalan di wajahnya. Bagaimanapun, ia dan Meira sudah merencanakan semua ini, namun akhirnya ia yang membatalkan semuanya. "Sekali lagi, aku minta maaf .... "
Karel merotasi kedua bola matanya, pasangan di depannya ini benar-benar membuatnya muak. Jika memang ingin pergi, ya pergi saja. Kenapa harus lebay seperti itu?
"Tidak apa-apa Raja. Pergilah,"
Akhirnya dengan sangat berat hati, Raja meninggalkan apartemen Meira setelah mengecup pucuk kepala sang calon tunangannya itu.
Lagi-lagi hanya ada Karel, dan Meira di dapur.
"Kalian memang selalu seperti itu?" tanyanya, lebih ke berupa sindiran karena perlakuan Raja, dan Meira yang terlihat lebay di pandangannya.
Meira membalikkan tubuhnya, bersedekap dada dan menatap Karel dengan kesal. Sejak kapan Karel berubah menjadi sangat menyebalkan, dan pandai menyindir seperti ibu-ibu rempong.
"Apa?" Karel balas menatap Meira dengan sama tajamnya. "Kenapa menatapku seperti itu?"
Meira mendengkus kasar. "Mulutmu itu tidak bisa diam ya? Kenapa? Kau mau protes? Aku butuh ketenangan saat memasak, tapi mulutmu itu tidak berhenti mengoceh mengganggu--"
Kedua mata Meira melotot, saat tiba-tiba Karel mendekat, memarik tengkuknya dan menempelkan bibir mereka. Bukan hanya menempel, kini Karel melumat bibirnya dengan tergesa, Meira yang masih terkejut tampak mematung, tanpa sadar ia meleguh saat merasakan sesak karena ciuman Karel yang sangat menggebu.
Karel terpaksa melepaskan ciumannya, keduanya tampak mengatur napasnya yang tersengal. Karel sekali lagi mengecup bibir Meira, sebelum ia menumpukan kepalanya pada bahu Meira, menyembunyikan wajahnya yang memerah.
Sial! Kenapa ia sampai kehilangan kendali seperti ini?
"Apa yang kau lakukan?" lirih Meira dengan napas yang masih tampak tersengal.
Karel tidak menjawab, ia masih mencoba menyembunyikan wajahnya yang terasa sangat memanas.
Tanpa mereka sadari, adegan itu ternyata di lihat oleh Raja, yang memang beberapa saat lalu kembali ke apartemen Meira karena melupakan kinci mobilnya yang ia letakkan di atas meja makan yang berdekatan dengan dapur.
Ia diam-diam mengepalkan tangannya. Merasa ada yang janggal dengan hubungan Karel, dan Meira. Apakah keduanya pernah dekat? Pernah menjalin asmara? Atau sama-sama saling mencintai?
Emma juga melihatnya, tapi wajah ibu dua anak itu tampak sumringah. Merasa tidak sia-sia ia meminta Rajendra bekerja sama agar Raja pergi meninggalkan Karel, dan Meira berduaan.
Emma yang merasa senang, kembali ke ruang tamu, wajahnya tidak berhenti tersenyum. Sedangkan Raja masih bergeming di tempatnya, ia hendak pergi namun telinganya mendengar perkataan yang memaksanya ingin tetap di sana.
"Kau akan benar-benar bertunangan dengan Raja?" tanyanya. Karel masih menumpukan kepalanya pada bahu Meira.
Meira juga tidak berniat untuk menjauh dari Karel. Tidak dapat ia pungkiri jika ia merasa sangat senang, jantungnya juga tidak bisa berhenti berdebar, sampai ia khawatir Karel akan mendengarnya dengan sangat jelas.
"Ya," singkat Meira. Ia tidak tahu kenapa rasanya begitu berat mengucapkan kata itu.
Terdengar helaan napas dari Karel, "Sekali pun kau tidak mencintainya?" Kali ini Karel mengangkat wajahnya, menatap intens wajah Meira yang memerah, dan sialnya itu sangat cantik dimatanya!
Karel memejamkan matanya sejekap, mencoba mengendalikan dirinya untuk tidak menyerang bibir Meira lagi, meski rasanya begitu sangat sulit.
Raja masih menunggu jawaban Meira atas pertanyaan Karel. Benarkah Meira masih belum bisa mencintainya? Ia tersenyum miris, setelah menjalin hubungan begitu lama, bahkan hendak bertunangan Meira masih belum mencintainya?
"Cinta bisa tumbuh jika sering bersama Karel,"
Raja jelas tidak puas dengan jawaban Meira.
Karel mengusap wajahnya dengan kasar. "Kalian akan bertunangan, kau bulang jika kau akan berusaha mencintai Raja? Apa kau gila? Pertunangan itu adalah proses menuju jenjang pernikahan, sudah waktunya kalian serius," paparnya. Entah kenapa ia menjadi emosi mendengar jawaban Meira, yang seolah tidak ingin lepas dari Raja.
Sialan!
Meira mencoba menguatkan hatinya. "Kenapa kau begitu peduli hah? Aku akan terus bersama dengan Raja, tidak peduli--"
"Tapi kau tidak mencintainya sialan!" sela Karel dengan geram.
Meira tertawa miris. "Karel--"
Raja mengerang dalam hati, saat ponselnya kembali bergetar. Ia yakin itu adalah telepon dari Rajendra, ia masih ingin mendengar semua percakapan itu, namun ia harus segera pergi. Ia akan mencari tahu tentang Karel, dan Meira nanti.
Raja bergegas pergi meninggalkan apartemen Meira.
"Karel. Kenapa kau sangat ingin ikut campur? Urusan aku mencintai Raja atau tidak, bukanlah urusanmu. Kau urus saja dirimu sendiri,"
Karel berdecak. Hatinya berkata "Tidak Mau" dengan lantang, tapi ia tidak bisa mengatakannya. Sialan! Kenapa ia bisa seperti ini?
"Sekarang, aku tanya kepadamu. Apa kau cemburu, aku akan bertunangan dengan Raja, menikah dengannya dan memiliki keluarga kecil sampai kakek-nenek?"
Sialan!
Karel gusar, ia tidak bisa membayangkan Meira akan menikah dan bahagia sampai nenek-kakek bersama dengan Raja.
Ia tidak mau Meira bersama dengan pria lain!
Kenapa lagi dengan dirinya? Kenapa ia selalu seperti ini saat menyangkut tentang Meira?
"Tidak sama sekali," lagi-lagi ucapan, dan isi hatinya berbeda.
"Apa kau mencintaiku?" tanya Meira, dengan sengaja mengalungkan tangannya pada leher Karel. Mencoba mendalami bola mata berwarna coklat di hadapannya ini.
Karel terbuai, tapi tetap saja ia mencoba untuk tetap waras, meski hatinya harus merasakan nyeri seperti di tikam oleh belati. "Tidak Meira. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah mencintaimu,"
Meira meruntuki dirinya yang lagi-lagi dengan bodohnya masiu mencoba mengharapkan Karel memiliki perasaan terhadapnya. Ia terbuai dengan ciuman yang di berikan pria itu sampai lupa jika ia sudah tidak ingun jatuh cinta lagi kepada Karel, dan memilih Raja untuk masa depannya.
Karel selalu saja seperti ini. Selalu mempermainkan perasaannya.
Karel melepaskan tangan Meira dari lehernya, dan mulai memasak kembali. Meira sendiri tersenyum miris, ciuman panas yang mereka lakukan, ternyata tidak berarti apa-apa bagi Karel.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Forever [Alister Series II] COMPLETED ✓
Romansa# 9Karel (20/11/2022) # 5 Meira (20/11/2022) # 29 Conflict (21/11/2022) Merebut calon pengantin orang lain, tidak pernah ada dalam daftar hidup Karel Alister. Putra sulung keluarga Alister yang sejak kecil tidak terlalu peduli dengan keadaan se...