Be My Forever || Aku Menyukaimu, Karel!

219 19 2
                                    

"Mei!"

Sayup-sayup Meira, mendengar seseorang memanggil namanya. "Mei!" suara itu kembali terdengar, tapi kedua matanya enggan terbuka. Tubuhnya benar-benar terasa sangat lelah, karena aktivitas yang ia lakukan seharian ini.

Mulai sejak pagi, ia sengaja menyibukkan diri untuk membersihkan apartemen, lalu membuang bahan makanan yang sudah membusuk di dalam kulkas, dan ia pergi berbelanja banyak bahan makanan seharian.

"Mei!" suara lembut itu kembali kembali menyapa telinganya. Kali ini, di sertai dengan tepukan halus di pipinya.

"Meira!"

Ugh!

Meira memaksa membuka kedua kelopak matanya, dan menemukan sosok Karel yang sudah berganti pakaian dengan kaus hitam lengan pendek, celana pria itu juga tampak berubah menjadi training panjang. Kemudian suara mesin cuci yang menyala menyapa telinganya.

Lagi, entah untuk yang ke berapa kalinya, ia terpesona akan sosok Karel yang selalu tampan setiap saat. Kaus yang di kenakan nya tampak sangat pas, membentuk otot-otot tubuhnya yang sempurna, dan Meira sampai harus menelan salivanya, melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya.

"Mei," panggil pria itu.

Meira berdeham, memalingkan wajah ke arah jam dinding. Ah, sudah lama sekali ia tertidur, mengingat jam dinding itu sudah menunjukkan pukul dua siang.

"Mau makan sekarang?" tanya Karel.

Meira mengubah posisinya menjadi duduk, dan mengusap wajahnya. "Kenapa berganti pakaian?" tanyanya.

Karel duduk di samping Meira, membantu wanita itu menyelipkan anak rambutnya yang berantakan, ke belakang telinga.

Inilah yang membuat Meira menyukai Karel, pria itu sangat detail tentang apa pun yang menyangkut dirinya. "Aku tidak menemukan apron di pantry, jadi yaa bumbu masakannya mengotori kemeja milikku," paparnya.

Pria itu sudah menjauhkan dirinya dari Meira, namun lagi-lagi jantung Meira masih sangat berdebar. "Hm, aku lupa membeli apron," sahutnya. Memang setelah ia memutuskan pindah ke jakarta, dan tinggal di apartemen ini, ia nyaris tidak pernah memasak itulah mengapa bahan makanan di kulkasnya mulai membusuk.

Karel berdecak, "Apa harus aku yang membelikannya?"

Meira terkekeh pelan, "Hm, sepertinya ide bagus. Lagi pula, yang bertugas memasak di apartemenku, adalah kau!" ejeknya.

Karel mengacak rambut Meira dengan gemas. "Sembarangan! Kau pikir, aku pembantumu?" decaknya kesal, sesaat kemudian mereka berdua tertawa.

"Mau makan sekarang?" tanya Karel lagi.

Meira mengangkat tangan, menarik ikat rambutnya, membiarkan rambut hitam panjangnya itu tergerai, kemudian ia menyisirnya pelan-pelan, sebelum mencepol rambutnya dengan rapi.

"Pakaianmu sudah kering?"

Karel mendengkus pelan. Kesal, karena Meira lagi-lagi mengabaikan pertanyaannya. "Mei! Kau sadar tidak sih, jika kau mengabaikan pertanyaanku soal makan?" decaknya.

Meira menghela napas, di tatap sedemikian lekatnya oleh Karel membuatnya salah tingkah. Jika sudah begini, apa ia masih bisa menyimpan perasaannya kepada Karel?

Meira berdeham, "Iya, aku akan makan nanti. Aku harus ke kamar mandi, dan buang air kecil," sahutnya, kemudian ia sudah berjalan dengan cepat menuju kamarnya.

Setelah masuk, dan menutup pintu kamarnya, ia bersandar di balik pintu. Wajahnya terasa panas, dan ia yakin jika kini wajahnya sudah sangat memerah. Sial! Kenapa Karel semakin mempesona, membuatnya tidak tahan untuk mengutarakan perasaannya kepada pria itu.

"Ya Tuhan, aku bisa gila jika terus bertemu dengan Karel," ucapnya, dengan kedua tangan yang sudah menutup seluruh wajahnya.

Ia harus segera bekerja di Trisakti Hospital, ia tidak bisa terus terusan berada di dekat Karel. Jantungnya bisa meledak kapan saja.

'Sial! Kenapa Karel Alister setiap hari semakin mempesona!' runtuknya dalam hati.

Tok ... Tok ....

Meira tersentak, saat pintu kamarnya di ketuk dari luar.

"Mei! Kau di dalam?" kata Karel dengan nada sedikit berteriak.

Mei berdeham, mencoba menetralkan detang jantungnya. "Ya. Aku akan segera keluar," balasnya dengan berteriak juga.

Setelah merasa detak jantungnya sudah aman, ia segera membuka pintu kamar, dan menemukan Karel yang bersedekap di hadapannya.

"Kenapa aku merasa, jika hari ini kau mencoba menghindariku,"

Meira mengerjapkan kedua matanya. Apakah sejelas itu?

"Mei?" pria itu kembali berbicara.

Meira tersenyum lebar, kemudian memukul lengan Karel dengan sedikit keras. "Konyol sekali. Lagi pula, untuk apa aku menghindarimu?" ia mencoba membuat Karel percaya dengan alibi bodohnya itu.

Alis hitam pria itu menukik tajam, membuat seluruh bulu kuduk Meira meremang. Selama beberapa tahun bersama Karel, ia sudah tahu tatapan macam apa yang tengah di berikan oleh Karel kepadanya.

Ya, pria itu tidak percaya dengan alibi bodohnya, dan menuntut kejujurannya. Damn! Ia tidak mungkin jujur jika ia memang sengaja menghindari Karel, karena ia mencintainya.

"Jangan coba-coba berbohong kepadaku, Meira. Aku tahu persis segala ekspresi, dan gestur tubuhmu saat sedang berbohong,"

Ya, Meira tahu itu. Dan ia sudah tidak bisa menghindar lagi.

Karel masih menatap Meira dengan tajam, mendesak wanita itu untuk jujur. "Mei," tekannya.

Meira masih membisu.

"Apa kau diam-diam memiliki kekasih?" tanyanya.

Meira membulatkan kedua matanya. Lalu ia menggeleng, "Tidak ada Rel," sahutnya cepat. Lagipula, bagaimana bisa ia memilki kekasih, sedangkan pria yang ia cintai tengah berdiri di hadapannya.

"Lantas apa, yang sedang kau sembunyikan dariku?"

Meira menghela napas, "Rel--"

"Mei!"

Meira mengerang pelan, mengusap wajahnya dengan kasar. "Ya. Aku menghindarimu!" serunya.

Karel menghela napas, tangannya terulur hendak menyentuh dagu Meira, agar menatap dirinya, dan tidak menundukkan wajahnya. Namun, Meira menghindar, melangkah mundur menjauh darinya.

"Mei, kenapa?" tanyanya. Hatinya terus bertanya-tanya mengapa hari ini sikap Meira tampak aneh, dan ia sudah cukup frustrasi dengan Meira yang mendadak menghindarinya seharian ini.

Meira memijat pelipisnya, dan kembali mengerang pelan, sebelum akhirnya ia mengangkat wajah dan menatap Karel yang menatapnya dengan ekspresi yang sulit di artikan. "Aku menyukaimu Karel!" serunya.

Karel masih bergeming di tempatnya. Keningnya mulai mengerut, "Kau bercanda?" kekehan hambar terdengar dari mulut Karel.

Kemudian Karel menyugar rambutnya ke belakang, menatap Meira sekali lagi. "Ini tidak lucu Meira Aprilian,"

Meira mengepalkan kedua tangannya dengan erat, matanya terpejam beberapa saat, dadanya terasa begitu nyeri, dan sesak. Secara langsung, Karel sudah menolaknya.

Karel menyebut nama lengkapnya, seperti saat dulu ia membuat Rajendra terluka karena menolongnya. Saat itu, selama beberapa bulan, Karel membenci, dan menjauh darinya. Apakah, kali ini juga Karel akan menjauhinya?

Susah payah Meira berdeham, membasahi kerongkongannya yang terasa kering. "Aku tidak bercanda Karel. Kau yang paling tahu apakah aku sedang berbohong, atau tidak kepadamu,"

Karel tampak mengusap wajahnya dengan kasar. "Makanan sudah aku sediakan di atas meja. Makanlah," tanpa melihat Meira sama sekali, pria itu berbicara dengan tenang, dan meninggalkan Meira yang mulai meneteskan air mata.

Tak lama kemudian, ia mendengar pintu apartemennya berbunyi, menandakan seseorang telah membuka pintu, dan ia yakin jika Karel yang membuka pintu itu, dan meninggalkan apartemennya.

Tubuhnya meluruh ke lantai, Meira Aprilian, wanita berusia 28 tahun itu menangis di apartemennya sendirian, dengan di temani suara mesin cuci yang menyala.

Be My Forever [Alister Series II] COMPLETED ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang