04. Tetangga

39 20 68
                                    

Aku melempar asal tas tempat peralatan golf yang jatuh tepat di samping lemari. Pertemuan tiga persahabatan tadi membuat hidupku tidak tenang saja. Apa-apaan menjodohkanku dengan si sombong Chelsea? Ini salah pria kecil tua hitam berlidah sadis itu. Sarannya yang membuat semua ini terjadi. Hari Rabu? Hari Rabu aku akan datang ke rumah Chelsea? Tidak, tidak, tidak. Aku ingin melihat wajah si sombong itu. Gadis itu sangat pandai mengejek orang.

Terlalu kesal, aku menghempaskan tubuh ke kasur. Tiba-tiba aku merasa ada yang mengganjal antara punggungku dan kasur. Saat kuambil ternyata benda itu adalah komik mahal yang belum tersentuh. Buru-buru aku mengecek keadaan komik tersebut.

"Jangan sampai lecet karena ini mahal," seruku panik.

Bersyukur tidak ada yang lecet. Aku kembali merebahkan tubuhnya sambil memeluk komiku. Posisi ini sangat nyaman membuat kesadaranku perlahan memudarkan bersama suara mobil yang mengerem. Kian lama kita menipis.

"Beno!"

Astaga. Aku terkejut saat namaku diserukan. Aku yang tadinya hampir terlelap dipaksa terjaga kembali. Suara tadi merupakan milik Dandi. Tidak bisakah biarkan aku hidup tenang di dunia ini? Aku bangkit dengan semangat sepatu satu perempat. Lesuh, lemah, lunglai seperti orang kekurangan darah.

"Apa?" jawabku malas sambil membuka pintu.

"Cinta pertama lo udah dateng. Ayo!"

"Apa sih!"

Ingin kembali menutup pintu. Namun, dihalangi oleh Dandi. "Ayo, ke sana. Emang lo gak pengen ketemu sama cinta pertama lo lagi?"

"Gue gak pernah jatuh cinta sama orang. Lo aja yang ke sana. Gue mau tidur," jawabku masih tak berselera.

"Udah, ayo! Biar hidup lo lebih bergairah. Mungkin dia adalah semangat hidup lo."

"Nggak." Langsung saja aku menutup pintu dan menguncinya.

"Lo pasti nyesel!" teriak Dandi dari luar.

"Lebih baik gue nyesel!" seruku tanpa ragu sedikitpun.

Dandi berlebihan. Aku tahu di sana dia akan mengejekku habis-habisan dengan orang yang dinobatkan sebagai cinta pertamaku itu. Daryono? Tidak keren. Kisah itu bukan tentang cinta pertamaku melainkan hanya sekedar kenangan masa kecil dari anak yang belum berakal.

Aku kembali melanjutkan tidur yang tertunda. Masih dengan posisi sebelumnya memeluk komik mahal yang belum tersentuh. Hari ini terasa cukup berat. Padahal hari belum berakhir.

***

"Astaga!"

Aku refleks terjaga dari tidurku saat mendengar suara kucing mengeong nampak sedang bertengkar. Aku hapal betul suara itu. Itu Oneb. Tanpa pikir panjang aku bangun dari ranjang dan membuka jendela karena Oneb selalu pergi dan keluar dari sana.

"Oneb! Oneb!"

Dua kali aku memanggil nama Oneb–kucing betina peliharaanku tak kunjung muncul tapi suaranya masih terdengar jelas. Buru-buru keluar kamar dan kembali memanggil namanya.

"Pasti kucing kumbang liar itu yang ngajak Oneb berantem," kesalku.

"Oneb!" Aku berlari dengan cepat saat melihat Oneb melaju kencang menuju pintu utama.

Cepat-cepat aku memeluk Oneb. "Oh, sayangku, cintaku, manjaku." Aku mengelus-elus punggung Oneb di gendonganku.

"Tenang, Oneb. Kamu udah aman sekarang." Aku memperlakukan kucing itu seperti anak yang kecil yang menangis.

Aku mengubah posisiku yang tadi menghadap jalan menjadi menyamping. Seketika tubuhku terpaku dan darah berdesir hebat. Pandangan tertuju pada segerombolan orang di balik pagar besi rumah kami, beberapa dari mereka sudah kukenal. Aku hanya bisa ternganga saja.

"Beno, anak lo gapapa?" Itu adalah suara Dandi yang tengah berkumpul di rumah tetangga baru bersama Papa, Mama dan tentu saja beberapa tetangga lain.

Dandi tertawa diikuti yang lain. Tatapanku beralih ke ekspresi wajah seseorang yang cukup mencolok. Dia seorang gadis mungkin sebaya denganku. Dia senyum ke arahku. Gadis itu berkedip hingga menyadarkanku kalau daritadi kami bersitatap.

Tak butuh waktu lama lagi. Aku langsung masuk ke dalam rumah sambil menggendong Oneb. Kondisi ini benar-benar memalukan. Aku terlihat sangat payah dan kekanak-kanakan.

Aku mengusap wajah kasar saat mengingat perkataanku tadi. "Oh, sayangku, cintaku, manjaku." Kata-kata itu masih terngiang jelas dalam benak.

"Sumpah, malu-maluin," keluhku menatap diri di cermin.

"Astaga!" Aku terkejut saat melihat cermin. Bukan karena melihat wajah sendiri melainkan saat mengingat tawa Dandi dan warga tadi tiba-tiba terlintas di cermin senyum seorang gadis asing yang kulihat di rumah tetangga baru tadi.

"Apa dia anggota keluarga tetangga baru itu?" tanyaku sambil menatap cermin.

Aku menggeleng kepala cepat-cepat. Kenapa aku jadi memikirkan gadis itu? Lupakan itu. Pikirkan bagaimana aku menghadapi tetangga sekitar rumah. Kejadian tadi sangat memalukan.

Saat aku butuh udara segar, aku akan membuka jendela dan menghirup udara di depan jendela. Kubuka pintu jendela itu. Mataku seketika terbelalak dengan apa yang kulihat. Gadis tadi tengah berada di jendela rumah sebelah yang sejajar dengan jendela kamarku.

Aku bingung harus melakukan apa. Ini terasa canggung. Apa aku ajak bicara saja? Tidak, aku bukan tipe yang ramah tamah dan tidak bisa basa-basi. Saat kami bersitatap untuk kedua kalinya, dia tersenyum ke arahku. Tak lama kemudian dia menutup jendela hingga tak bisa melihatnya lagi.

"Dia punya senyum yang manis," gumamku refleks.

Astaga, kenapa aku bagi memuji senyumnya? Entah kemana jantungku jadi berdetak kencang. Ada apa dengan diriku? Ada yang perasaan seakan aku menemukan barang yang sudah lama hilang saat melihat gadis itu tersenyum dari jendela rumah sebelah. Aku mencoba tak ambil pusing dan menutup jendela.

***

Bunyi ketukan pintu menyadarkan ilusiku tentang adegan komik tengah kubaca. Padahal lagi asyik-asyiknya menghayati setiap adegan dari komik. Siapa lagi yang menggangguku?

Aku membuka pintu dengan malas. Sungguh, ini nyata? Aku terkejut dengan apa yang aku lihat. Gadis tadi berdiri di depan pintu kamarku. Dia ada di rumahku dan mengetuk pintu kamarku?

"Adeknya ada?" tanyanya.

"Adek?" beoku tak mengerti. Dia menanyakan seorang adik padaku?

"Iya, tadi disuruh Tante manggil Adek buat makan malam sekalian manggil Kakak," katanya.

"Adek yang lo bayangin kayak apa?" tanyaku agar memperjelas semuanya.

"Anak kecil yang umurnya agak jauh di bawah kita," katanya dengan ekspresi bingung.

"Gue yang dimaksud," terangku singkat, padat dan akurat.

"Apa?" Dia terkekeh. "Aduh, maaf. Tadi aku kurang ngeh. Kalau panggilan kamu di keluarga itu Adek. Jadi, Kakak yang dimaksud itu siapa?"

"Dandi–kakak gue. Kamarnya di samping."

"Oh, gitu. Aku ke sana." Dia mengubah posisinya untuk bersiap menuju kamar Dandi.

"Tunggu," ujarku tanpa pikir panjang.

"Iya?" responsnya.

"Lo yang baru pindahan di rumah sebelah itu?"

Dia tersenyum. "Iya, bener."

Aku mengulurkan tangannya. "Kenalin gue Beno."

Entah kenapa senyumnya memudar saat aku mengulurkan tangannya. Aku tersadar. "Lo gak mau salaman sama lawan jenis."

"Nggak, kok." Dia kembali tersenyum dan menerima uluran tanganku. "Aku Azalia tapi lebih akrab panggilan Aca."

***



This is Beno [ #02 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang