26. Terusik

2 0 0
                                    

HAPPY READING!

***

Aku melepas kacamata lalu melemparkan ke tanah lantas menginjaknya sampai remuk. Kenapa hari-hariku berjalan panjang akhir-akhir ini? Setelah kehadiran Azzalia seperti mendapatkan nasib buruk. Ada saja hal-hal tidak terprediksi yang terjadi dalam hidupku seakan sudah terencana.

Ponselku bergetar di dalam saku celana. Aku mengambil dan mengeceknya. Papa menghubungiku lewat telepon seluler. Ini tidak biasa. Papa bukan tipe ayah yang menunjukkan kasih sayang dengan perhatian dan suka menanyakan kabar anaknya. Jika dia menelepon seperti ini pasti penting.

"Ya, hello, Pa," ujarku memalui ponsel yang terhubung dengan beliau.

"Kamu sudah sampai sekolah?" tanya Papa.

"Iya, Pa. Ini udah di sekolah."

"Kenapa kamu bolos Sparring?"

Sudah kuduga Papa tidak menelepon hanya sekedar basa-basi ayah dan anak. Aku juga sudah menduganya Papa akan cepat mengetahui tentang sedikit kenakalanku yang bolos sparing atau latihan tinju. Papa sangat terobsesi agar aku mengikuti latihan itu meski aku terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan.

"Aku gak minat, Pa. Papa tahu dari awal," jawabku.

"Papa nggak pernah nutut kamu jadi apa pun, bebas ngelakuin apa pun tapi Papa cuma pengen kamu ikut sparing. Nggak harus menang kejuraan tapi bisa menguasai, Beno."

"Papa selalu berpikir kalo aku itu lemah. Nggak akan bisa menghadapi bahaya. Cuma karena aku hebat dalam tinju nggak bikin aku lolos dari bahaya, Pa. Daripada menghadapi bahaya aku lebih milih menghindari bahaya."

Kami selalu berdebat pasal ini. Semenjak kejadian saat aku lulus SMP. Papa selalu wanti-wanti tentang keselamatanku. Sebenarnya ketika aku kelas 2 SD juga pernah terjadi hal besar juga ketika perusahaan Papa diresmikan. Itu menambah kekhawatiran Papa terhadap keluarga. Namun, ini membuatku tidak bebas.

"Oke, kalau kamu memang enggak minta dengan tinju. Papa nggak akan maksa lagi kamu untuk latihan dengan syarat kamu berhasil lolos di gebyar yang diadakan SMA kalian. Setidaknya masuk 10 besar."

"Papa apa-apa sih! Itu keterlaluan, Papa!"

Bagus! Orang terpenting itu memutuskan sambungan telepon. Iya, sekolah kami mengadakan gebyar ekstra kurikuler tahunan. Setelah ujian selesai akan diadakan serangkaian perlombaan di setiap klub untuk menaburkan semangat mengikuti kegiatan agar bisa mengikuti lomba tahunan. Tapi, aku tidak ikut klub boxing. Bagiamana bisa aku mengikuti perlombaan.

"Sial!"

Aku sengaja memilih klub voly, selain mengikuti si kembar, aku setuju karena pasti tidak akan mencolok.  Orang-orang terlalu sibuk dengan kapten basket yang tampan, selebgram, dan anak konglomerat. Pria itu sangat populer bersama dua temannya yang juga setara tapi beda klub, salah satu adalah Apra.

***

Beberapa hari ini terlalu hal terjadi di luar prediksi. Aku membuka pintu dan membantingnya dengan keras karena amarah yang menggebu-gebu. Apa dengan duniaku sekarang! Aku berharap terjadi insiden lalu tiba-tiba terdampar di dunia lain. Seperti para tokoh di anime yang bertema isekai. Dunia ini tidak pernah menarik.

Aku menyadarkan pandangan. Bunyi pintu terbanting dengan keras ternyata menyita perhatian di kelas. Pandangan orang-orang di sana terpusat padaku. Aku lepas tudung hoodie agar mereka mengenaliku dan berjalan santai seolah tidak terjadi apa-apa. Orang kembali pada aktivitas masing-masing.

"Bella, kenapa? Ada apa yang sebenernya terjadi sama lo sih?"

Kakiku berhenti melangkah. Pandangan apa ini. Aku melihat Chelsea sedang menangis tersedu-sedu di bangku yang seharusnya kududuki. Drama apa lagi yang sedang ia permainan? Dia terlihat sangat menjijikkan. Aku menatapnya tanpa ekspresi saking jijiknya. 

"Oh, Beno! Sorry gue make bangku lo. Gue bener-bener sedih karena gak bisa jadi temen yang baik buat Bella padahal kita selalu sama-sama, Beno!" katanya membuat ekspresi sendu.

"Beno?" tanyaku bingung.

"Iya, nama lo 'kan Beno?" Chelsea ikut kebingungan. 

"Sejak kapan kita kenalan? Lo lupa apa sebutan buat gue dari lo setiap kali kita ketemu."

Chelsea terdiam. Entah sedang lupa dan mengingat-ingat atau sedang mencari alasan agar dia tidak terlihat buruk di depan banyak orang. Aku memasukkan kedua tangan di saku hoodie, kembali melanjutkan perkataan. "Kurang lebih, 'minggir, Nolep!', 'ganggu pemandangan lo, Bocah Anime!', 'Wibu, gak guna!', apa lagi, ya?" kataku meniru ucapannya.

Dia malah tertawa, sesekali menepuk meja lalu menatapku dengan wajah ceria yang dibuat-buat. "Wait, what? Beno, astaga! Kita remaja di tahun 2022, kita itu gen Z. Ngomong isinya toxic itu hal biasa. Lo aja yang sensitif. Ayolah, lo bukan tinggal di zaman kerajaan."

"Lo bikin gue mual," ujarku menatapnya dengan pandangan datar. "Lo nebar penyesalan di tempat yang salah. Bella masih hidup, lo bisa jinguk di Rumah Sakit Jiwa kalo lo emang merasa bersalah. Dia butuh support system dan bantuan."

"Sorry, Beno! Gue cuma ...," ucapnya terhenti saat aku menarik tangan hingga terpaksa berdiri.

"Ini tempat duduk gue. Minggir!" Aku mendorong tubuh menjauh Chelsea hingga dia tersungkur.

"Bangsat! Beraninya lo nyakitin, Chely gue!"

Tanpa diduga seseorang mencengkram kerah bajuku dan melayangkan bogem mentah di pipi kiri. Setelah dia melemparku hingga terjatuh. Aku melihat siapa pelakunya, ternyata  Danu—pacar gadis itu.

"Berdiri, Anjing! Tunjukin kehebatan lo.

Aku bangkit meski sedikit pusing, berjalan mendekat kearahnya. Tak pikir panjang aku melesatkan tendangan pada bagian perut Danu membuat sang empunya terduduk. Aku mengambil buku tebal dan memukulkan pada Danu. Namun, pria menangkisnya, "Kalo lo emang merasa hebat jangan pake alat," ujarnya meremehkan sambil mengambil langkah mundur.

"Ini bukan di dalam ring. Gue gak butuh aturan,"  balasku menekan setiap kata. 

Buku tebal itu langsung kulemparkan pada Danu dan mengenai wajah bagian kirinya, membuat dia tertoleh. " Dia menyentuh wajahnya yang berdarah terkena sudut buku tersebut. Dia menatapku, "Brengsek!" Dia berlari ke arahku dan menendang dadaku sampai aku terjatuh.

Tak mengindahkan rasa sakit, aku mengambil asal benda lain yaitu botol minum yang terisi penuh dan bersiap melemparkan pada Danu lagi. Aku mulai mengambil cepat ancang-ancang untuk melempar.

"Beno! Stop!"

Aku mendongak dan melihat Azzalia dekat pintu bersama Apra di tengah keramaian orang-orang menonton. Belum sempat aku berpikir Danu tiba-tiba meninju daguku dan membuatku mundur beberapa langkah. "Kalo lo emang merasa hebat jangan pake alat," ujarnya meremehkan.

"Mau coba masuk ke ring? Kita liat siapa yang akan ditelanjangi," ujarnya lagi, menantangi.

Aku meludahinya dan mengenai sepatunya. "Ayo, siapa yang pecundang."

***

Terimakasih atas kunjungan
Kalian sangat berharga

Sampai jumpa di bab selanjutnya
@POU_RJE

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 05, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

This is Beno [ #02 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang