07. Pagi

12 1 0
                                    

HAPPY READING!

***

"Papa gak habis pikir dengan kelakuan kalian. Bisa-bisanya kalian hal konyol itu di depan tamu!"

Aku dan Dandi kini sedang disidang oleh Papa di ruang kerjanya. Tragedi di kamar bukan akhir dari masalah. Saat keluar dari kamar aku dan Dandi kembali bertengkar pasal sofa panjang di dekat tangga dan berakhir kami jatuh bersama di tangga. Tangan kiriku dan kaki Dandi harus diurut. Jadi, pagi ini kami disidang.

"Kamu Dandi ingat posisi kamu di perusahaan dan kamu Beno di sini emang paling muda tapi bukan lagi anak kecil."

Papa berdiri, raut wajahnya tambah menakutkan saja. "Jangan harap kalian bisa liat uang Papa sebelum kalian dewasa."

Aku ikut berdiri dan menatap tajam ke arah Papa. "Ya, cuma itu yang bisa Papa lakuin. Ngacem orang pake uang. Sekalian aja Papa minta balikin uang yang udah Papa keluarin demi menghidupi kami."

Setalah mengatakannya tanpa melihat situasi dan kondisi aku berjalan keluar ruang itu. Saat sudah keluar dari sana, aku bersandar di dinding sambil memegangi dadaku karena jantung berdebar kencang. Apa yang aku lakukan tadi? Aku bersikap sok berani menantang Papa.

Aku tidak salah Papa butuh itu. Dia tidak bisa selalu berkuasa atas diri kami. Mungkin Papa adalah sumber uang di rumah ini tapi tidak mau bagaimana pun itu sudah kewajibannya. Kami punya harga diri.

"Beno, kamu ngapain di sini?"

Aku menoleh menoleh ke samping. Azzalia berdiri menatapku dengan bingung sambil membawa nampan berisi gelas khusus kopi Papa. Mata kami bertemu sekejap membuatku kembali teringat kisah masa kecil yang terlupakan.

"Gak ada undang-undang yang melarang," ujarku jutek.

"Oke," responsnya kembali melanjutkan perjalanan yang tertunda.

***

Sudah siap dengan seragam dan selesai sarapan, aku mengeluarkan motor di bagasi untuk ikut bersamaku ke sekolah. Mataku terpaksa harus melihat mobil hitam kinclong milik Papa berdampingan dengan motor BeAT putih milikku. Perlu diingatkan kembali bahwasanya hubunganku dengan Papa bisa dibilang masih renggang karena insiden tadi.

Aku mengumpat kesal karena tangan kiri tidak bisa diajak kerja sama. Terlalu sakit untuk diajak mengendarai motor. Lalu, bagaimana cara ke sekolah? Dandi? Tidak, bukan opsi yang bagus. Sepanjang perjalanan dia akan menghinaku karena tidak bisa mengendarai motor kopling. Juga, menghina motor BeAT yang katanya kalau dijual paling dibeli dua juta. Jangan lupakan ia akan pamer skill mengendarai motor CBR 250R miliknya.

"Beno belum berangkat?"

Tubuhku seketika merinding mendengar ucapan Mama. Jika Mama tahu aku tidak bisa mengendarai motor. Habislah semua kekerenanku. Mama akan memaksa mengantarku dengan motor Scoopy putihnya. Lalu, nantinya akan memberikan nasehat yang banyak dan dipertonton oleh orang-orang di sekolah. Akan sangat memalukan.

"Ini, Ma, ...," ujarku terhenti karena melihat sesuatu yang tak terduga.

Aku melihat Azzalia mengenakan seragam sekolahku. Itu artinya kami akan satu sekolah mulai sekarang? Tetangga dan satu sekolah. Cukup mengejutkan. " ..., loh, dia pindah ke sekolah yang sama dengan aku?" tanyaku.

"Iya, dia ini berprestasi jadi gampang masuk ke sekolah mana pun. Nggak kayak kamu masuk aja kudu ada orang dalem," kata Mama pedas.

"Aku gak minta dimasukin ke sekolah elit itu tapi Mama sama Papa aja malu kalau anaknya gak sekolah elit," kataku membalas.

"Kamu itu, ya, bukannya sadar diri malah nyalahin orang." Mama menatapku dan beralih ke motor. "Berhubung kamu belum berangkat. Jadi, kamu ajak Aca berangkat bareng."

"Aku gak bisa, Ma," tolakku. Ini terjadi maka pertanda buruk. Aku mengusahakan agar diri ini sampai ke sekolah saja belum menemukan caranya lalu bagaimana mengusahakan orang lain juga?

"Kenapa? Kayak kamu punya boncengan aja."

"Tangan aku masih sakit gak bisa bawa  motor," jawabku jujur. 

"Kayaknya aku berangkat sendirian aja, Tante. Gak enak nyusahin Beno terus. Tangannya sakit juga sebagaian salahku," ujar Azzalia merasa tidak enak. Teruskan Azzalia.

Aku ikut membantu. "Betul, Ma. Dari pada nanti ada apa-apa di jalan."

"Aca 'kan bisa bawa motor. Aca aja yang nyetir."

"Apa?"

***

Aku menatap pandangan di pinggir jalan yang memampangkan nuasana komplek perumahan elit. Ini sangat memalukan. Aku dibonceng cewek? Aku tidak sanggup menjalankan nasib ini. Beberapa pengendara entah itu roda dua atau roda empat ketika berlintasan dengan kami pasti memberikan tatapan yang ..., begitulah.

Tiba-tiba Azzalia berhenti saat tujuan kami belum sampai. Ini baru seperempat perjalanan kami. Dia tiba-tiba turun dan membuka helm. "Kamu pasti malu kalau dilihat orang dibonceng cewek. Jadi, dari sini aku naik ojek aja."

"Hah?"

"Tapi, siapa yang bawa motor ini?" tanyaku menatapnya.

"Aku udah bantu kamu biar gak malu. Selebihnya pikirin sendiri. Ya, kamu bisa minta temen kamu jemput atau usaha gerakin tangan kamu," terangnya.

Aku menunduk sejenak lalu melihat tangan kiriku yang sedikit bengkak di sekitaran siku. Jam tangan tetap bertengger. "Lo lanjutin aja bawa motornya. Empat belas menit lagi bel masuk. Temen gue gak mungkin sampai ke sini dalam waktu singkat, gitu juga ojek yang bakal lo pesen."

"Tapi, ...." Azzalia menjeda ucapannya. " ..., kamu tipe orang yang susah lupain momen yang memalukan."

"Apa?" tanyaku agar memperjelas ucapan.

Dia tahu aku tipe yang seperti apa? Jika aku ingat kembali antara aku dan Azzalia selain dari kisah masa kecil yang sudah terlupakan itu, kami hanyalah orang asing yang baru dipertemukan. Insiden di dekat kamar itu kembali teringat olehku. Sedalam apa Azzalia mengenalku.

"Kamu bahkan belum bisa lupain insiden kamu meluk Oneb yang habis berantem dan itu dilihatin warga komplek."

Benar juga. Setelah kejadian itu aku tidak pernah lagi keluar rumah.

***

Si Aca sok tau, guys

This is Beno [ #02 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang