09. Sosial

8 1 0
                                    

HAPPY READING!

***

Aku memilih kembali ke kelas dari pulang. Sekolah menjadi pilihan lebih baik dari rumah. Mama memang selalu ada di rumah jadi tidak akan kesepian tapi kalau dia tahu aku pulang karena tadi pingsan dia pasti akan ..., anggap saja akan memperlakukanku seperti bayi.

"Permisi," salamku sebelum masuk kelas.

Langkahku terhenti tepat di ambang pintu. Ada yang berbeda dari susunan kelas. Bukannya melihat Bella di samping bangkuku tapi melainkan Azzalia. Kenapa? Apa yang aku lewatkan selama pingsan tadi?

"Beno, kamu udah baikan? Kalau kamu masih pusing gapapa pulang," ujar Narti selaku guru mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Aku berjalan menghampirinya. "Udah baikan, kok, Bu."

"Mulai hari ini Azzalia duduk sebelah kamu. Absen Azzalia sebelum kamu," terang Bu Narti tau maksudku yang kebingungan.

"Bella?"

"Bella dikeluarkan dari sekolah."

Cukup mengejutkan. Memang beberapa hari ini Bella tidak masuk sekolah tanpa keterangan. Seingatku Bella bukan tipe murid yang bermasalah. Dia biasa dan normal. Lalu, apa penyebabnya dikeluarkan?

"Kalau gitu saya kembali ke tempat duduk saya, Bu," ujarku.

"Oh, iya, silakan."

Aku mulai berjalan ke arah bangku yang memang berada di depan samping dinding. Aku memilih untuk tidak memperpanjang membahas masalah Bella. Itu jelas pasti memalukan.

Azzalia memberikan senyuman saat tatapan kami bertemu. Tubuhku seketika bereaksi melihat senyum itu. Dia memiliki senyum yang manis. Namun, aku ragu senyum itu tetap bertahan jika dia tahu sistem sosial di sekolah ini. Aku tidak membalas senyumnya tapi dia tetap tersenyum sampai aku duduk di sebelahnya.

"Kita emang ditakdirkan jadi tetangga," katanya kekeh.

Aku tersenyum singkat menanggapi. Mau bagaimana lagi? Aku bukan tipe orang yang suka berbaur apalagi memiliki sifat ramah tamah. Tak lama lagi dia akan saar dan pergi. Seperti kasus sebelum-sebelumnya orang asing akan mendekatiku lalu aku ternyata tidak asyik dan mereka pun pergi.

"Kamu beneran udah gapapa?" tanyanya saat Bu Narti sudah memulai kembali menerangkan materi.

"Gapapa," jawabku seadanya tanpa menoleh ke arah Azzalia dan fokus pada Narti.

Azzalia mendekatkan kursinya padaku. "Beneran udah gapapa? Tadi kamu kelihatan kesakitan banget?"

"Iya, udah mendingan."

"Mendingan? Jadi, masih pusing kepala sekarang?"

Aku meletakkan pena ke meja dengan cukup keras hingga menghasilkan bunyi yang mampu menyita perhatian seluruh ke kelas tertuju padaku. Aku mulai muak dengan sikapnya. Ditanya-tanya layaknya anak kecil. Saat Narti kembali menerangkan materi dan semua fokus ke depan. Aku menoleh ke arahnya. "Lo mau gue jawabnya apa?"

"Maaf." Azzalia menjauhkan kursinya dan kembali seperti semula. Lalu, dia memfokuskan perhatian ke Narti. "Aku kira kita udah jadi temen."

Aku bergeming, masih dengan pandangan ke arahnya. Dia ingin berteman denganku? Sungguh? Dia ingin berteman dan aku mengacau. Kenapa aku tidak suka dengan pertanyaan-pertanyaannya tadi? Aku hanya risih. Namun, apa benar aku hanya risih?

***

Suara-suara berisik seperti jangkrik pesta di malam hari membangunkan dari tidur di bangku kelas. Ini jarang terjadi. Biasanya saat jam istirahat kelas jadi sepi. Kesempatan itu aku gunakan untuk tidur di kelas atau membaca komik. Dikarenakan kepalaku pusing jadi aku memilih tidur. Entah kenapa hari ini berisik.

Aku mengangkat kepala untuk melihat apa yang terjadi. "Astaghfirullah!" seruku terkejut bukan main. Bagaimana mungkin kini aku dikerumuni oleh para cewek-cewek yang mengelilingi mejaku? Ini tidak pernah terjadi. Aku bukan tipe pria yang tebar pesona sana sini atau si kece yang menjadi idola. Lalu, apa maksudnya semua ini?

"Lo pada ngapain ngelilingi gue kayak gini?" tanyaku pada mereka-mereka yang menatapku atau lebih tepatnya mengelilingiku.

"Idih, GR banget lo!" seru Latifah Humairoh yang disebut-sebut Emak Kelas karena ditakuti seluruh kelas. "Siapa juga yang ngelilingin lo?"

Ya, aku juga setuju nama bagus dan terkesan sholehah tapi memiliki sifat bertolak belakang. Begis, kasar dan galak. Cowok-cowok jangan sampai berurusan dengannya atau burung dalam sangkar akan jadi sasarannya. Membayangkannya saja sudah ngilu.

"Ya, terus? Jelas-jelas kalian ngelilingin gue?" kataku tak mau kalah. Walaupun dia ditakuti aku ingin terlihat cemen di depan para perempuan tentunya.

Latifah melotot ke arahku. "Kita lagi ngobrol sama Azza. Kebetulan aja lo tidur di sampingnya."

Aku menoleh ke Azzalia. Benar juga, aku hampir lupa kalau kini ada murid baru duduk di sampingku. Mereka pasti sibuk mendekatinya. Azzalia tersenyum ke arahku. Dia belum tahu saja sekerasnya sekolah ini.

"Minggir, gue mau pergi!" kataku berdiri.

Aku mengerutkan dahi sejenak. Kenapa para perempuan ini menatap terkejut seolah aku baru ini. "Apa?" tanyaku.

"Gue baru sadar ternyata lo ganteng," ujar Natalie Stella. Ucapan itu tidak membuatku tersanjung. Cewek itu memang centil.

"Ya, makasih." Aku bersiap menerobos kerumunan.

"Lo pindah karena apa?" tanya Latifah yang pastinya tertuju untuk Azzalia.

"Aku pindah rumah di daerah sini."

"Berarti lo orang kaya baru, ya?"

Aku mengurungkan langkahku mendengar pertanyaan Latifah. Pandanganku berbalik hingga tertuju pada Azzalia. "Aca, gue lupa bilang tadi pas keluar dari UKS, Bu Windi pesen jam istirahat suruh lo ke ruangan." Setelah mengatakan itu lanjutkan langkahku.

"Aca." Saat Azzalia keluar kelas aku menarik tangannya.

Entah mendapatkan keberanian dari mana aku bisa melakukan itu. Namun, yang aku lakukan ini benar menurutku. Tanpa menunggu izin darinya aku menyeret Azzalia sesuai kakiku melangkah. Dia tampaknya tidak protes.

"Beno, ini bukan jalan kantor sekolah. Kamu mau bawa aku ke mana?" tangannya.

Aku melepaskan tangannya saat kami tiba di depan gudang sekolah. Terserah dia berpikir apa tentangku karena aku membawanya ke tempat yang bisa membuat orang berpikir negatif.

"Ada tiga hal yang harus lo pegang saat sekolah di sini," kataku serius sambari menatapnya dan menjunjung tiga jari kanan. "Pertama, jangan tunjukin sisi lemah lo. Kedua, jangan empati. Ketiga, lo harus sama seperti mereka."

"Maksudnya?" Azzalia belum mengerti makna dadi ucapanku.

"Sekolah ini terbaik tiga golongan sosial. Pertama, mereka yang dari keluarga kaya. Mereka yang bisa menjalani kehidupan normal di sini. Tapi, mereka punya dinding besar yang membatasi lingkungan mereka dengan lingkungan lain."

Aku menatap Azzalia, "Kedua, bukan hanya dari keluarga kaya tapi juga anak donatur yayasan ini. Selain ada dinding yang membatasi lingkungan mereka dan gak sembarang orang yang bisa melewati dinding itu, mereka juga punya kuasa di sini."

"Yang ketiga?" tanya Azzalia menautkan kedua alisnya.

"Ketiga, mereka yang masuk ke sekolah ini karena bantuan beasiswa. Mereka yang gak punya dinding yang melindungi. Mereka harus menjalani kehidupan keras untuk mencapai keberhasilan. Beberapa dari mereka berhenti berusaha mengapai bintang dan kembali menginjak tanah."

"Kamu mau aku jadi mereka yang berhenti berusaha menggapai bintang?" Tampak jelas perubahan ekspresi wajah Azzalia yang menjadi kecewa.

"Gue pengen lo pura-pura jadi orang kaya!"

***

Beno bikin ulah, guys!
Sok pintar lagi

This is Beno [ #02 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang