23. Gadis Kecil

3 0 0
                                    

HAPPY READING!

***

"Ma, aku pengen ketemu Aca." Kata itu terucap begitu saja, bahkan saat belum sempat berpikir. Aku bangun dari terbaring dan duduk dengan kaki tetap selonjoran.

"Aca?" Mama tampak bingung dengan ucapanku ..., ralat, permintaanku yang sepertinya diluar prediksi. Namun, wanita yang hidup lebih 4 dekade itu tersenyum, sampai matanya menyipit.

"Mama bakal bawa Aca untuk Adek," ujar Mama menggenggam tangan kananku dengan tulus. Mama memelukku erat. Aku bisa merasakan bahu Mama bergetar. Beliau menangis. Apa dia pikir aku separah itu? Aku hanya pingsan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Mama kenapa nangis? Aku cuma pingsan. Palingan dokter bilang karena kecapean." Aku membalas pelukan Mama dan sesekali menepuk bahunya untuk menenangkan.

Mama melepaskan pelukannya, "Mama bakal bawa Aca. Apapun bakal Mama lakuin untuk Adek."

"Nggak, Ma. Aku tadi cuma ngigo aja. Gak usah jangan bawa Aca."

Beliau malah tersenyum dan mengusap rambutku. "Papa sama Kakak masih di acara konferensi pers. Semua di luar dugaan. Sama hal kamu, Mama, Papa, Kakak juga kaget kalau acaranya terbuka seperti itu. Ini karena anak kedua Pak Erdi merupakan seorang aktor terkenal."

"Aktor?"

"Calvi. Calvi Aldew. Dia itu anak Pak Erdi."

"Oh, dia."

Aku juga mengenal namanya. Calvi Aldew yang beberapa kali kulihat di promosi film layar lebar yang dibintangi olehnya. Namun, aku tidak terlalu acuh dan abai saja. Aku bahkan tak pernah menonton filmnya atau film-film lain yang diproduksi lokal. Hidupku didedikasikan untuk menonton anime.

"Mama pergi dulu. Mama bakal bawa Aca." Wanita itu bahkan saat tangan tak bisa menahannya lagi.

"Ma, gak usah!" teriakku yang tak diindahkan oleh beliau.

Pintu terbuka dan Mama keluar dari ruangan ini dengan melambaikan tangan disertai dengan senyuman lalu pintu kembali tertutup. Aku memilih merebahkan tubuh ke kasur. Kenapa jadi serumit ini? Aku hanya membantu seseorang untuk pertama kali dalam hidup. Harusnya aku bersikap seperti biasanya. Abaikan semua hal dan hidup di dunia milikku sendiri.

Azzalia? Aku memejamkan mata. Wanita itu datang kehadapanku lalu memohon untuk menyelamatkan Bella. Aku melakukan dan sekarang malah terjebak dalam perkara tak pernah aku sukai. Keramaian, mata-mata yang memandang, telinga-telinga yang mendengar, mulut-mulut yang mengeluarkan kesimpulan, dan wartawan. Aku benci semua itu. Aku tidak ingin sekolah besok.

"Beno!"

Aku membuka mata, tak asing dengan suara itu. "Chelsea?" gumamku, melihat gadis yang sangat aku hindari dalam hidup. Di belakangnya ada Apra—pacar Azzalia. Ini bukanlah hal mengejutkan. Mengingat hubungan persahabatan mereka turun-temurun

"Wow, Beno! Anak orang kaya?" seru Chelsea yang tak kutatap wajahnya tapinya dia pasti memasang ekspresi menyebalkan.

"Kalian bisa pergi gak? Gue disuruh istirahat!" ucap menutup mata dengan lengan kanan.

"Menarik. Gue kira setelah Bella tumbang gue punya mangsa baru. Ternyata lo bukan orang sembarangan. Anak dari CEO CV Dithu Furniture."

"Chely, stop bullying! Lo nggak liat baliho di depan sekolah. 'Kejar Ilmu dengan Lingkungan Sekolah Aman tanpa Perundungan'," ujar Apra.

Aku melepaskan lengan di atas mata. Terlihat Apra berdiri di samping Chelsea sambil merangkul gadis itu. Mereka berdua terlihat berbeda. Ini karena pakaian yang mereka kenakan. Selama ini aku hanya melihat mereka dengan seragam yang diberikan sekolah. Kini Apra dengan setelan blazer cokelat susu, manset rajut berwana putih, dipadukan celana cinos putih gading. Chelsea mengenakan dress hitam brokat selurut yang hanya memiliki lengan pendek satu di kanan, sedang yang kiri hanya berupa seutas tali. Mereka benar-benar menujukan identitas sebagai anak orang kaya.

"Gue tau lo yang jadi model buat baliho yang dibangga-banggain kepala sekolah itu. Tapi, orang bijak bilang 'sabar dan kerja keras adalah kunci kesuksesan'. Mereka harus sabar dan kerja keras untuk sukses," ujar Chelsea santai.

Apra mengusap-usap tempurung kelapa Chelsea. "Jangan ganggu Azza."

"Putusin cewek itu. Lo gak butuh cewek rendahan yang gak sadar posisi."

"Gue sayang dia, Chely."

Chelsea menepis tangan Apra dari kepalanya. Ekspresinya berubah drastis, menunjukan terang-terangan rasa ketidaksukaannya. "Lo cuma dimanfaatin dia doang, biar bisa lulus dengan tenang."

"Gue gak masalah."

Tanpa mengindahkan ucapan Apra malah datang menghampiriku ke ranjang. Ekspresinya kembali berubah seperti awal. Songong dan merasa dirinya tinggi. Dia membungkuk untuk menatap yang tengah merebahkan diri. "Jadi, anak dari CEO CV. Dithu Furniture memilih menjalani hidup yang sederhana. Gue menemukan jawaban kenapa lo berani natap gue dengan tatap muak tiap kali ketemu. Pilihan hidup kita bertolak belakang."

Aku menatap tajam padanya. Kebencianku padanya kian menjadi. Semua tentangnya selalu saja menyebalkan. Aku menggerakkan tanganku ketika melihat pintu yang terbuka dan memperlihatkan nama ruangan. Meraih sesuatu di atas meja, gagang telepon rumah sakit. "Hello, tolong kirimkan satpam ke ruangan A nomor 5. Segera, saya diganggu oleh pengunjung yang tidak saya kenali."

Chelsea malah tertawa lalu meluruskan tubuh tanpa mengalihkan tatapannya padaku. "Kayaknya gue tertarik sama lo."

"Gue gak tertarik berurusan sama lo. Lo penyebab hidup seseorang hancur."

Gadis tersenyum miring. "Orang yang lemah selalu hancur lebih dulu."

"Chely, stop. Orang tua kita berteman baik. So, kita juga harus punya relasi baik." Apra menghampiri kami. "Beno, gue minta maaf kalo lo merasa terganggu. Tapi, kita sebaiknya berteman baik."

"Permisi!" Seorang satpam pria masuk ruangan.

"Tolong, Pak, bawa mereka keluar!" ujarku.

"Kami bisa keluar sendiri, Pak," ujar Apra langsung menarik tangan Chelsea dan keduanya keluar diikuti satpam yang bertugas tadi.

Kenapa semua jadi serumit? Kebetulan macam apa? Aku hanya menolong orang. Seakan semuanya sudah dirancang sedemikian rupa. Layaknya benang warna-warni yang sudah disambungkan satu sama lain hingga membentuk sebuah maha karya.

"Bella? Apa semuanya emang udah direncanain Bella?" gumamku.

Pintu terbuka lagi. Aku langsung mengubah posisi tidur menyamping sambil membelakangi pintu. Dugaanku Chelsea mungkin datang lagi dan mengatakan hal yang menyebalkan. Jam dinding di hadapan menunjukan sudah pukul 23.23 yang memberitahu hari sudah gelap. Entah berapa lama aku pingsan.

"Beno!"

Darahku berdesir seakan mengalir seluruh ke kepala. Jantungku berdegup kencang. Perasaan macam apa ini? Spontan, aku menoleh ke arah pintu. Azzalia berdiri tak jauh dari sana. Menatapku dengan raut wajah sedih seakan ingin menumpahkan seluruh air matanya. Kenapa? Kenapa dia datang? Kenapa dia memasang wajah menyedihkan seperti itu? Besok aku akan mati dan ingin melepaskan kepergian dengan air mata malam ini? Aku baik-baik saja.

"Beno, aku datang," katanya berjalan pelan ke arahku.

Aku bangkit dan memilih duduk di ranjang. "Lo datang sendirian?" tanyaku basa-basi, agak canggung dia memasang ekspresi seperti itu.

"Dijemput Tante, dia nunggu di depan. Katanya kamu mau ketemu aku."

"Mama? Tapi, gue mau ketemu Aca. Aca gadi kecil yang minta gue kejar sampai kita jodoh."

Selalu saja, saat aku mengingat kembali kenangan-kenangan tentang gadis kecil yang kupanggiln Aca itu, kepala selalu sakit. Aku berteriak mencoba menahan rasa sakit. Mata-mata berkunang-kunang lagi.

"Beno, kamu gapapa? Stop, Ben. Jangan maksain diri." Azzalia berlari menghampiri yang mungkin dia pikir aku butuh bantuannya.

Gadis itu menyentuh kedua tanganku. Aku menatapnya. Tanpa pikir aku menepis tangannya. "Lo bukan Aca."

Aku melompat dari ranjang dan terduduk sambil memegangi kepala yang terus saja berdenyut sakit. Tak peduli Azzalia yang berada di seberang ranjang. Ada apa dengan kepalaku? Aku benar-benar tidak bisa mengendalikan pikiranku. Bayang-bayang samar gadis kecil yang aku panggil Aca terus saja hadir. Aku terus saja menolak kalau dia adalah yang sama dengan gadis ini.

***

This is Beno [ #02 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang