19.

5 2 0
                                    

Happy reading!

***

Apa aksiku terlalu dramatis? Ah, tidak mungkin! Menurutku itu hal biasa. Bahkan, tampak tidak seperti menyelamatkan. Aku hanya mengambil spidol yang terjatuh. Iya, memang tadi caraku cukup mengejutkan. Setelah kejadian tadi.

Satu kelas dibuat heboh menjodoh-jodohkan aku dengan Azzalia. Bahkan, ada yang membuat parodi kami tadi dengan cara yang tak lazim. Seperti sekarang. Daffa tengah berperan sebagai Ratu yang menjatuhkan sebuah batu, lalu datanglah Daffi berperan sebagai Raja yang berlari untuk mencegah si Ratu dan menggantikannya mengambil batu tersebut.

"Tunggu, Ratu. Jangan lakukan itu, nanti mahkotamu terjatuh. Biar hamba sahaja," ujar Daffi mendalami peran sebagai Raja.

"Ah, kau perkasa sekali, Raja-ku." Daffi tak mau kalah meniru gaya seorang Ratu. Namun, dengan versi yang menjijikkan di mataku.

Aku mempercepat langkahku agar mendahului mereka. Mataku bisa perih melihatnya. Bel pulang sudah berbunyi tadi. Saat ini kami tengah di lorong gedung sekolah. Aku hanya ingin cepat-cepat pulang. Tanpa menunggu lama berjalan cepat ke tempat parkir.

"Woy, Ben-ben. Tunggu!" teriak Daffa.

"Raja-ku, tunggu!" seru Daffi masih meniru gaya si Ratu gadungan.

"Aku tidak akan meninggalkanmu, Ratu-ku."

Mereka berdua menjengkelkan. Aku memilih berlari di lorong agar cepat tiba di tempat parkir. Kakiku terhenti mendadak, saat melihat sosok seorang mengenakan Hoodie cokelat tua dengan tudungnya terpasang.

"Cie, ada yang salting. Gak usah kabur juga kali, No-no." Daffi tiba-tiba datang merangkulku, dilanjut dengan Daffa di sisi lain. "Iya, nih. Keknya salting brutal," nimbrung Daffa.

"Kalian kenal dia gak?" tunjukku pada seseorang yang dimaksud tadi. Kini orang itu berhenti di persimpangan lorong yang hanya terlihat punggungnya.

"Mungkin murid baru kali," kata Daffi.

"Kayaknya dia cewek deh."

Aku sependapat dengan Daffa. Dari poster tubuhnya dia tampak seperti seorang wanita. Namun, pakaiannya tak cocok untuk mendatangi sebuah tempat formal seperti sekolah ini. Hoodie dan celana jeans ketat. Jikapun dia murid baru harusnya memakai pakaian dari sekolah lamanya.

"Udahlah. Palingan mau jenguk kerabat yang sekolah atau kerja di sini."

Benar juga kata Daffa. Kenapa juga aku memikirkan orang itu? Mau apapun yang dia lakukan, Bumi akan tetap bulat. Kami melanjutkan perjalanan yang tertunda tadi. Masih dengan si kembar merangkulku.

"Jalan kayak gini tuh repot. Minggir sana!" Aku menyingkirkan dua manusia yang dikandung dalam waktu bersamaan.

"Ben-ben, lo sebenernya udah dari kecil suka sama Aca 'kan? Ngaku aja!" kata Daffi meledek.

"Apa sih! Siapa yang suka? Refleks aja tadi karena spidolnya jatuh," helakku.

Aku memperlambat langkahku. Kalah Azzalia berlari kencang ke arah kami. Kenapa? Pikirku. Untuk Azzalia berlari dengan panik seperti itu? Apa terjadi sesuatu yang genting?

"Itu Aca kenapa?" tanya Daffa.

"Keknya dia panik banget deh." Daffa menimbrung.

Azzalia mengos-ngos kehabisan nafas tepat 2 meter dari kami. "Tolong! Dia!" katanya memaksakan diri.

"Tolong apa? Dia siapa?" tanyaku menuntut.

"Atap sekolah!" katanya lagi yang berusaha mengatur nafas.

"Lo tenangin diri dulu, Ca. Ada apa?" ujar Daffa.

"Please, tolong dia!" Tanpa menunggu lagi Azzalia kembali berlari, meski memaksakan diri.

Aku mengerti sekarang. Langsung saja aku berlari sesuai permintaan Azzalia tadi. Aku harus cepat. Sekuat tenaga aku berlari. Sesekali menabrak seseorang yang lewat. Tidak akan ada penyesalan, jadi aku harus cepat.

Kali ini sudah sampai di tangga menuju atap sekolah. Tidak boleh terlambat bahkan sedetik pun. Aku berusaha menambah kecepatan lajuku, meski paru-paru sudah tak mendukung. Aku tidak ingin menyesal.

"Tunggu!" teriakku saat mendobrak pintu penghubung atap sekolah.

Benar saja. Orang yang kulihat di lorong tadi tengah berdiri di pinggir atap sekolah siap untuk melompat. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya tapi tindakan ini tak benar. Tinggi bangunan ini lebih dari 20 meter.

"Gue gak tau apa yang persis apa yang lo alami. Tapi, tolol. Lo mau hidup targis, mati tragis?" Aku perlahan berjalan ke arahnya.

"Mundur!" teriaknya masih membelakangiku.

Daffa dan Daffi juga sudah sampai di belakangku. Beberapa guru dan pekerja sekolah juga turut hadir. Aku mencoba maju lagi. "Gedung ini gak cukup tinggi. Kalo lo lompat dari sini, gak bakal langsung mati. Lo bakal lumpuh seumur hidup."

"Gue capek!" teriaknya lebih keras dari sebelumnya.

Riuh gaduh terdengar dari bawah sana. Semua orang tampaknya sudah berkumpul di sana untuk menonton. Terdengar kalau dia tengah menangis. "Ini yang mereka mau!" teriaknya lagi.

"Berarti lo biarin mereka menang!" teriakku tak kalah keras.

"Mundur! Gue bilang mundur! Atau gue loncat sekarang!"

Aku berhenti melangkah mendekat. "Lo itu bengong banget! Mereka liat lo kayak ini mereka ketawa bahagia!"

"Mana dari kalian yang bilang gue cewek murahan, pelacur, lonte? Gue bakal tunjukin seberapa murahnya harga diri gue! Kalian pengen liat gue gak ada harga diri?" teriak wanita itu di hadapan puluhan penonton di bawah sana yang sudah berkumpul.

Wanita itu membuka hoodie yang dia kenakan lalu melemparkan ke bawah. Bella? Meski tak langsung melihat wajahnya, aku masih bisa mengenali gadis itu. Teman sebangkuku yang dikeluarkan dari sekolah beberapa minggu lalu. Beberapa hari lalu gosip tentangnya sangat panas.

"Bella, stop! Gue mohon, Bel!" Terdengar dari belakang Azzalia berteriak. "Lo berharga, Bel." Kini Azzalia sudah di sampingku sambil menangis.

"Lo gak usah peduliin gue, Ca. Lo sama aja kayak mereka," ujar Bella tertuju untuk Azzalia.

"Gue emang murahan! Gue bakal kasih harga diri gue gratis buat lo semua!" Bella kembali melancarkan aksinya. Dia melepaskan kaos oblong polos berwarna putih dan melemparkannya juga.

Riuh ricuh bertambah. Penonton semakin meledak. Terdengar bunyi sirine mobil damkar di sana. Aku berusaha mendekatinya lagi perlahan. Sangat perlahan agar dia tak terasa.

Bella membuka resleting celananya dan melepaskan celana itu dari kaki. Celana itu terlepas dan terlemparkan juga. Kini dia hanya mengenakan, CD biru dongker dan BH hitam. Tubuh terekspos bebas menjadi tontonan ratusan orang. "Ayo, tonton tubuh pelacur dengan gratis! Videoin sebagai kenangan!" teriaknya.

Dia bersiap-siap melepas BH. Di belakang sini aku melepas jas almamaterku. Jarakku sudah cukup dekat. Tanpa berpikir lagi, aku menarik Bella dan menyelimutkan jas almamater tadi ke tubuhnya. Kami ambruk ke lantai. Bella ingin memberontak dengan cepat aku mengikat lengan jas almamaterku hingga membelit tubuhnya.

"Lepasin gue, anjing!" Bella masih memberontak.

Dia berdiri karena kakinya yang bebas, ingin kembali mengulangi aksinya tadi untuk naik ke pagar pembatas. Namun, dua guru laki-laki sigap memegangi Bella. Daffa dan Daffi juga ikut membantu. Petugas damkar sudah datang dan menangani Bella.

***

Waduh, baru kali ini jiwa dan raga Beno berguna

Aku bangga padamu

This is Beno [ #02 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang