06. Kamar

35 19 69
                                    

HAPPY READING!

***

Ada orang asing yang akan tidur di kamarku? Kamar! Tempat paling privasi. Azzalia akan tidur di kamarku malam ini, itu membuatku banyak berpikir. Bagaimana jika dia mengobrak-abrik isi lemari? Bagaimana jika menemukan tempat koleksi komik yang selalu aku sembunyikan dari Mama? Lalu, mengotak-atik komputer dan membuka situs di sana?

"Beno! Kamu itu jangan malu-maluin Papa."

Aku yang tengah rebahan di sofa ruang tamu sigap menoleh ke samping. Papa tengah duduk di sofa tunggal menatap ke arahku. "Ayo, bantuin Aca bawa kopernya." Papa mengkode untuk memandang ke pintu.

Terlihat di dekat pintu utama Azzalia tengah membawa koper besar berwarna hitam. Apa gadis itu tahu fungsi dua roda di alas koper? Azzalia membawa koper itu dengan cara ditenteng bukannya diseret. Mau-maunya saja menyusahkan diri sendiri.

"Ayo, Beno."

Aku langsung bangkit dan menghampiri gadis itu. "Biar gue bantu," ujarku menyodorkan tangan bermaksud mengambil alih koper itu.

"Gak usah. Aku bisa bawa sendiri, kok," tolaknya halus.

"Udah, siniin. Selagi gue bisa bantu. Lo harus hemat tenaga buat besok." Aku meraih koper itu.

Azzalia pun melepaskan koper tersebut. Saat aku ingin menarik gagang koper dan mengoperasikan koper seperti seharusnya, Azzalia tiba-tiba menahan tanganku.

Darahku berdesir saat telapak tangannya menyentuh punggung tanganku. Aku mendongak untuk melihat wajahnya karena posisiku yang tengah membungkuk. Tatapan kami bertemu. Azzalia memiliki mata yang indah. Dia berkedip membuatku tersadar apa yang sedang terjadi.

"Tolong jangan diseret. Roda kopernya tinggal satu," ujarnya lalu menjauh tangannya dari tanganku.

Pantas saja tadi dia membawa dengan cara ditenteng ternyata rusak. Aku mengangkat koper itu. Ternyata beratku. Padahal tadi Azzalia biasa-biasa saja membuatnya. Apa aku lebih lemah darinya? Astaga, aku menggeleng-gelengkan kepalaku.

Posisi ditenteng terasa sangat berat. Jadi, aku membawa koper itu sambil dipeluk. Dari posisi sedekat ini dengan koper itu membuatku dapat mencium aromanya. Aku seperti sudah terbiasa dengan harum ini. Seakan ini tidak asing lagi di indra penciuman.

Aku menempelkan hidungku ke koper agar memperjelas harum tersebut. Ini seperti aku kembali menemukan sesuatu yang sudah pergi dariku. Harum ini membawa perasaan aneh dalam dadakan. Aku merasa ada sesuatu yang hinggap di dadaku. Entahlah.

"Kenapa? Koperku bau, ya?"

Aku mendongak ke Azzalia yang melontarkan pertanyaan itu. Sigap aku menjauh hidungku dari koper tersebut. "Gapapa, gue kayak pernah cium bau ini sebelumnya."

Dia tersenyum, "Mungkin kamu pernah ketemu orang yang pake pewangi itu."

"Mungkin," kataku menanggapi.

Kami kembali melanjutkan perjalanan menaiki tangga dengan Azzalia lebih dulu 2 anak tangga dariku. Kembali sama-sama terdiam. Entah apa yang dipikirkan Azzalia hingga memilih diam. Namun, aku lagi-lagi terpikirkan tentang Azzalia akan tidur di kamarku.

"Apapun yang lo temuin di kamar gue jangan pernah kasih tau siapa pun termasuk buku diary lo," kataku dengan tegas dan serius.

Azalia berhenti tepat di depan pintu kamarku. Namun, tak sedikitpun menoleh ke arahku. "Makasih atas bantuannya," ujarnya. Tak lama kemudian dia berbalik menghadapku. "Kalau isinya gak berubah dari  10 tahun lalu aku gak bisa bila ke diary kalau aku nemuin sesuatu." Dia tersenyum.

"Jadi, ...." Belum sempat aku melanjutkan perkataku Azzalia sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.

***

Aku menatap Dandi yang berbaring membelakangiku dengan posisi di atas kasur. Azzalia tidur di kamarku membuat aku dan Dandi harus tidur satu ranjang. Bosan menatap Dandi, aku mengubah posisi menjadi telentang dan menatap langit-langit kamar.

Apa makna ucapan Azzalia tadi? Dari ucapannya seakan dia tahu seluk beluk isi kamarku 10 tahun lalu. Hal yang menjadi pertanyaan adalah kenapa Azzalia mengingat kenangan masa kecil itu sedangkan aku sama sekali tidak mengingat apapun bahkan tentang dia sekalipun? Apa aku sebodoh itu?

Pikiran yang rumit membuatku kembali mengubah posisi berbaring kembali menyamping tapi kini menatap lemari pakaian dengan artian kami sama-sama membelakangi.

"Lo bisa berhenti bergerak gak, sih!" Tiba-tiba Dandi menendangku hingga jatuh dari kasur.

"Gue tau lo punya kaki. Gak usah nendang juga kali!" teriakku sambil mengusap-usap punggungku yang sudah jatuh ketimpa tangga–sudah ditendang juga membentur lantai.

Dandi berdiri di atas kasur dengan murka. "Gue gak bisa tidur dari tadi lo gerak-gerak mulu. Kalau lo gak bisa tidur lo sendiri aja gak usah ngajak gue."

"Emang dasar lo-nya aja yang pengen nendang gue. Gak terlalu ngaruh cuma gerak-gerak ganti posisi doang. Lo masih dendam sama mobil-mobilan lo yang dipecahin Oneb?" kataku tak mau kalah.

"Apa sih! Lo kayaknya pengen banget ngajak ribut. Kalau gitu ayo kita ribut sekarang," oceh Dandi mengambil posisi siaga.

Aku mengambil bantal lalu melemparnya mengenai Dandi. "Kayak anak kecil lo!"

Dandi tak terima dengan perlakuanku langsung meraih bantal lain dan melemparnya padaku. Alhasil benda itu mengenai wajahnya. "Lo yang kayak anak kecil. Masih nonton kartun."

"Kalian berdua yang kayak anak kecil."

Aku terkejut saat mendengar suara Papa bersamaan dengan kamar yang tadinya gelap kini terang-benderang oleh cahaya lampu. Kami serentak menoleh ke pintu dan mendapati Papa berdiri di sana dengan tangan melipat di dada. Pasti akan berakhir dengan hukuman.

"Kalian! Kalian itu malu-maluin."

Mataku melotot saking terkejutnya. Bukan karena teriakan Mama di ambang pintu melainkan orang di di belakang Mama–Azzalia. Apa dari tadi dia menonton kekonyolan kami?

"Maaf, Bang, Yuk. Kami jadi ngerepotin kalian. Kalau Azzalia gak tidur di kamarnya Beno pasti ini gak bakal terjadi." Daryono tanpa sangat tidak enak. Azzalia juga menunjukkan raut muram. Dia juga pasti merasa kalau dia adalah biang keroknya. Aku jadi merasa bersalah. Ini semua gara-gara sikap kekanak-kanakan kami.

"Ini bukan gara-gara kalian, Yo. Mereka yang kekanak-kanakan," kata Papa terlihat sangat marah menatap tajam ke arah kami. "Kalau kalian gak bisa tidur satu kamar kalau gak usah. Kalian tidur di ruang tamu."

"Apa?" seru kami serempak.

Aku teringat sesuatu tentang posisi sofa di ruang tamu. Hanya ada satu sofa panjang di sana dan aku tidak ingin menekuk kakiku saat tidur. "Lebih baik gue tidur di ruang tamu daripada sekamar sama Lo," ujarku berlaga kesal. Aku mengambil bantal dan selimut bersiap untuk keluar.

"Kamu juga, Dan."

"Tapi, Pa, ...." kata Dandi tak terima.

Aku berjalan dengan santai melewati semua orang. Saat resmi keluar dari kamar itu aku berlari dengan cepat mengejar sofa panjang di ruang tamu.

"Beno! Jangan pake sofa panjang!" teriak Dandi sudah menyadari rencanaku.

"Gue duluan!"

"Gue lebih tinggi dari lo. Lo pendek!"

***

Hadeh kelakuan kakak beradik satu ini
Bikin nyesel punya anak 🤣

Next

This is Beno [ #02 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang