20.

3 2 0
                                    


Happy reading!

***


Aku masih terkapar di lantai. Tenagaku seakan telah hilang. Sebuah kejadian seperti ini tak pernah terlintas di benakku. Kejadian di bagian aku menyelamatkan seseorang. Biasanya aku hanya menjadi saksi mata atau saksi telinga seseorang melakukan tindakan bunuh diri. Namun, yang biasanya acuh tak acuh, kali kini aku terlibat sebagai pahlawan. Entah kekuatan dari mana ini bisa terjadi.

"Kamu gapapa, Dek?" Petugas damkar datang menanyai.

"Saya gapapa, Pak. Cuma masih syok aja," jawabku.

"Ayo, saya bantu berdiri." Petugas tersebut mengulurkan tangan

Aku menerima uluran tangannya untuk berdiri. "Terima kasih, Pak."

"Apa ada bagian yang terluka?"

"Gak ada, Pak. Aman."

Kami berjalan berjalan beriringan untuk pergi dari sana. Tak lagi orang di atap sekolah, hanya tersisa kami berdua. Kini kami sudah ada di tangga. Namun, saat ingin melangkah ke anak tangga, aku melihat seseorang siswi duduk sendiri di tangga itu. Tak mungkin salah, dari ikat rambut siswi itu aku tahu bahwa dia adalah Azzalia.

"Pak, Bapak boleh duluan aja. Saya ada yang mau diomongin sama teman saya yang di sana," ujarku.

"Oh, iya. Tapi, Adek benar tidak apa? Apa sebaiknya perlu ada pemeriksaan terlebih dahulu."

"Gak usah, Pak. Saya benar nggak apa, kok."

"Baiklah, kalau begitu. Bapak permisi."

Beliau sudah berjalan mendahuluku. Saat dirasa petugas damkar itu sudah jauh bahkan sudah melewati Azzalia, aku mulai berjalan ke arah sana. Ada banyak yang terjadi tanpa aku ketahui dan tanpa aku peduli. Kasus Bella contohnya. Bahkan, Azzalia terlibat pun aku tak tahu.

"Maafin gue, Bel. Gue gak pernah jadi sahabat terbaik buat lo."

Aku duduk di samping Azzalia tanpa izin dulu. Tak ada kata yang bisa kuucapkan dan tak pula mampu memampu menatapnya. Dia pasti mengalami hal berat sama seperti Bella atau mungkin lebih. Kedatanganku semakin membuat Azzalia menangis suguhkan.

"Aku jahat, Beno! Aku gak pernah sekalipun bisa jadi sahabat yang baik. Aku selalu ninggalin sahabat aku saat lagi susah. Saat lagi butuh aku. Gak ada pernah ada di sisinya."

Aku merangkul Azzalia ke pelukanku, menyandarkan kepalanya ke dada. Dia membalas pelukanku. "Bahkan, aku gak bisa jadi sahabat baik buat kamu. Aku juga ninggalin kamu."

"Stop, Ca. Itu pasti bukan keinginan lo. Gue yakin lo gak bakal setega itu," ujarku sembari mengusap kepalanya yang masih menangis.

"Andai aku waktu itu ada sisi Bella, dia gak mungkin ngalamin hal seburuk ini."

"Gue tau lo gak bakal biarin itu terjadi."

"Aku jahat, Beno! Dia cuma pengen hidup layak tapi kenapa semesta terus aja nyiksa dia."

"Kalo lo jahat karena gak ada di samping Bella, gue lebih jahat karena gue gak ngelakuin apapun padahal gue di samping dia waktu itu."

Azzalia mengeratkan pelukannya padaku. "Aku gak berani nemuin dia saat ini. Aku gak berani datang sebagai sahabat yang mana aku gak bisa apa-apa."

"Tapi, di saat inilah Bella butuh lo, Ca. Butuh orang yang memeluknya dan orang ada di pihaknya."

Bunyi sepatu beradukan tangga di bawah sana menyadarkan kami bahwa ada orang yang akan menuju ke sini. Cepat-cepat kami melapaskan pelukan satu sama lain. Azzalia menghapus air yang tersisa menggunakan kedua tangan dengan cepat.

This is Beno [ #02 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang