08. Pusing

9 1 0
                                    

Happy reading!

***

Aku turun dari motor yang dikendarai oleh Azzalia. Pusat perhatian di area parkir sudah pasti tertuju apa kami. Hari pertama Azzalia datang sebagai murid baru harus diwarnai dengan drama membonceng Beno. Jika seperti dia akan cepat terkenal. Untung tanganku dibakus dan kain kasa hingga tidak perlu dijelaskan kenapa aku bisa dibonceng cewek.

Hal yang harus dijelaskan kenapa bisa tanganku terluka bertepatan dengan kedatangan murid baru. Itu cukup rumit dijelaskan. Apa lagi pasti akan ada yang bertanya pasal hubungan antara aku dan Azzalia.

"Udah diumumin lo masuk kelas mana?" tanyaku mencoba mengabaikan tatapan demi tatapan yang tertuju pada kami.

"Belum," jawab Azzalia singkat.

"Sekarang lo tujuan mau kemana?" tanyaku lagi.

"Ke ruang Bu Elip." Dia menyebutkan guru yang menjabat sebagai wakil kesiswaan.

"Udah tau 'kan ruangan di mana?"

"Iya, udah beberapa kali ke sana."

"Oke, gue duluan." Aku hendak berbalik. Namun, tiba-tiba kepala pusing dan mata berkunang-kunang. Ini pasti karena membentur tangga tadi malam. Mencari tumpuan untuk menopang berat tubuhku.

"Beno?"

Samar aku mendengar suara Azzalia. Bertepatan dengan melihat jok motor. Aku tak kuat lagi menahan pusing memilih meletakkan tanganku ke jok motor sebagai tumpuan. Tak berapa lama aku merasa dadaku di tahan.

Aku mencoba menyadarkan diri. Mataku masih belum berfungsi normal. Namun, di sela-sela pengelihatan yang kurang jelas aku masih bisa melihat Azzalia yang benar-benar dekat dengan wajahku.

"Kamu kenapa?" tanya Azzalia hampir tak terdengar jelas.

Aku menyadari posisi kami. Ternyata tanganku yang bertumpuan di jok motor itu mengunci pergerakan Azzalia. Dia terkunci antara tubuhku dan motor. "Eh, maaf," seruku langsung menjauhkan diri.

Tubuhku tidak bisa dikendalikan. Kepala ini benar-benar pusing seperti habis di bawa berputar-putar. Bahkan mataku tak bisa berfungsi lagi. Aku jadi kembali teringat rasa sakit saat kepala membentur tangga tadi malam. Ini membuat kepalaku tak hanya pusing tapi juga nyerih.

Tubuhku lunglai dan tidak bisa dikendalikan. "Beno!" Suara Azzalia terakhir yang kudengar sebelum semua benar gelap dan lenyap.

***

"Kita akan selalu bersama selamanya! Janji!"

Samar-samar aku melihat gadis kecil di hadapanku yang tengah mengulur jari kelingking padaku. Tanpa niatan tanganku mengaitkan jari kelingkingku dengan milik gadis kecil itu. "Janji! Beno dan Aca selamanya!"

Aku tersadar seketika. Saat aku membuka mata tiba-tiba latar tempat berupa. Langit-langit ruangan bercat putih di hadapanku bukan gadis kecil itu lagi. Jadi, tadi hanya mimpi? Entah, kenapa aku merasa bahwa mimpi itu pernah aku alami. Ah, itu mungkin karena aku terlalu memikirkan kisah masa kecil yang terlupakan itu hingga bermimpi seperti tadi.

Melihat-lihat sekeliling membuat menyadari kalau aku sedang di UKS sekolah. Aku sangat hafal tempat ini karena merupakan basecamp-ku saat pelajaran olahraga yang tidak aku sukai. Aku akan berpura-pura sakit perut dan pergi ke sini.

Aku melihat jam tanganku yang menunjukkan pukul 07.55  pagi. Itu artinya aku pingsan kisaran 45 menit karena kami sampai ke sekolah tadi pukul 07.10 yang 5 menit bel masuk. Aku bangkit dari ranjang bermaksud ingin kembali ke kelas. Saat kaki menyentuh lantai pusing dan nyeri kembali menyerang kepalaku.

"Jangan tinggalin Beno!" Suara anak kecil tiba-tiba hadir begitu saja dalam benakku bertepatan dengan samar-samar aku melihat belakang mobil pick up berisi barang-barang rumah tangga yang menjauh.

Aku memegangi kepalaku. Apa ingatan adalah yang diceritakan Mama dan Dandi hari itu kalau aku menangis dan mengejar mobil pengangkut barang karena tidak ingin berpisah dari Azzalia. Terasa aneh aku tidak mengingat itu semua.

"Ben-ben!"

"No-no!"

Aku menoleh ke samping yang merupakan pintu UKS. Raffa dan Raffi–si kembar yang merupakan temanku di kelas. Mereka memang memanggil seperti itu sebagai sapaan ketika bertemu. Entah siapa di antara mereka yang manggil "Ben-ben!" dan siapa yang memanggil "No-no!" Keduanya cukup sulit dibedakan karena kelakuan mereka hampir sama.

"Lo udah sadar?" tanya Raffi.

"Kalian gak masuk kelas?" tanyaku karena malas menjawab pertanyaan Raffi yang sudah tahu jawabannya.

"Kita dari kelas. Tadi disuruh ngecek lo." Raffa menjawab.

"Ohh," responsku.

Raffa menghampiri dan ikut duduk di ranjang. "Eh, gimana ceritanya lo bisa berangkat bareng Aca?"

"Iya, Ben. Aca tiba-tiba jadi murid baru di sini." Raffi mengikuti jejak Raffa dan kini aku digapit oleh mereka berdua.

"Aca?"

Heran saja. Dari kalimat mereka seakan-akan mereka sudah mengenal Azzalia sebelumnya. Biasanya jika membicarakan orang asing itu menggunakan nama depan tapi ini sudah memakai langsung nama panggilan. Bisa juga dengan embel-embel, "Murid baru ...." atau "Cewek tadi ...."

"Iya, Aca. Dia masuk kelas kita," jawab Raffi. Pria itu merangkul pundakku. "Kalau kalian berangkat bareng itu artinya Aca pindah ke rumahnya yang lama. Iya 'kan?"

"Tunggu dulu!" seruku menatap mereka sekilas secara bergantian. "Kalian sebelumnya kenal Aca?" 

Mereka berdua saling pandang lalu tertawa. Apa ada yang lucu? Ini membingungkan. Bagaimana bisa mereka sudah mengenal Azzalia sebelumnya? Aku saja yang bertetanggaan dulu baru sekarang tahu bahwasanya aku pernah bersahabat dengan Azzalia.

"Iya, iyalah, kita kenal. Kita 'kan dulu kelas satu SD sekelas sama Aca. Pas pertama sekolah lo duduk berdua sama Aca. Sayang aja dia pindah pas kenaikan kelas dua," terang Raffa berhasil membuatku tercengang.

"Kalian inget sama Aca?"

Aku dan si kembar satu SD dulunya. Namun, tidak dekat. Saat lulus SD dan mengenyam bangku SMP aku melupakan mereka dan kembali mengingat mereka ketika bertemu saat masuk SMA ini. Dikarenakan orang tuanya dan orang tuaku berteman kami jadi ikut berteman.

"Kita emang gak pinter banget lah tapi gak goblok juga sampe gak inget teman pas kelas satu SD," kata Raffi.

Apa aku sebodoh itu? Pertanyaan itu cukup mengganggu. Raffa dan Raffi saja mengingatnya kenapa aku yang menjadi sahabat dekat tidak mengingat apapun? Mungkin itu karena aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri tanpa menyadari apa yang dunia hadirkan.

"Setelah Aca pindah lo hidup kayak zombie. Keknya Aca berarti banget buat lo," kata Raffi lagi.

"Iya, Ben. Lo sampe masuk rumah sakit sebulan setelahnya." Raffa menimbrung.

Ini semakin membingungkan saja.

***

Hadeh!

kedatangan Aca bikin otak dengkul Beno kerja ekstra 🤣

Next






This is Beno [ #02 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang