13. Duduk

5 0 0
                                    

Happy Reading!

***

Aku menatap Wawan–penjaga di rumah kami yang mendapat kerja sip siang–tengah membukaan pintu gerbang. Pria setengah baya itu tersenyum seraya memberikan hormat kepadaku yang sebenarnya tidak perlu. Aku mulai melajukan motor metik yang dijaga dan dirawat seperti anak sendiri dan diberi nama Nobe.

Ketika keluar aku melihat Azzalia tengah berdiri di pinggir tepat di depan rumahnya. Aku sama sekali tak berniat ataupun berminat mengajaknya berangkat bersama. Catat, dia sudah memiliki pacar. Tidaklah elok jika aku sok baik menawari tumpangan. Tak habis pikir bagaimana bisa Mama berpikir kalau aku ingin mendapatkan Azzalia. Mau anaknya merebut milik orang lain?

"Mas Beno! Tunggu!"

Aku menghentikan laju motorku tepat setelah melewati motor rumah Azzalia. Dari kaca spion aku bisa melihat Wawan berlari mengejarku. Aku membuka kaca helm menoleh pada Wawan yang kini terengah-engah di samping motorku. "Ada apa, ya, Pak?"

"Kata Nyoya hari ini berangkatnya bareng Tuan aja pake mobil."

"Dih gak mau!" Aku menutup kaca helm dan menstarter motor. Saat hendak melajukan motor tiba-tiba ada yang menahannya.

"Maaf, Mas Beno. Ini perintah." Ternyata Wawan menahan motorku dari belakang.

Jika sudah begini maka tidak ada yang bisa dilakukan. Aku mematikan mesin motor dan menghela nafas kasar. "Udah, Pak, lepas. Aku gak bakal kabur."

Wawan tampaknya tidak percaya dan masih memegang si butut, Nobe–motoku. Aku menatap ke arah rumah, mobil hitam mengkilap hingga menyilaukan mata kala terkena sinar matahari itu keluar dari perkarangan. Ini pasti skenario memaksaku untuk berdamai dengan Papa. Malas sekali.

"Apa?" gumamku. Mataku terbelalak melihat mobil itu berhenti di depan rumah Azzalia. Sudah pasti Papa ikut menyertakan Azzalia dalam perjalanan ini. Bukannya jahat hanya saja di antara kami berdua masih sangat canggung setelah beberapa insiden.

Mobil itu kini berada di sampingku. Tentu aku masih ogah-ogahan masuk. "Aku jalan aja," kataku turun dari motor dan bersiap untuk berjalan. Aku benar-benar siap untuk keputusan ini. Kira-kira dua ratus meteran ada pangkalan ojek. Aku akan menggunakan jalan alternatif itu.

Baru dua langkah tiba-tiba ada yang menarik kerah bajuku. "Maaf lagi, Den Beno."

***

"Gimana sekolah barunya, Ca?"

Aku mendengar Papa bersuara di sebelah jos pengemudi. Baru beberapa menit mobil berjalan setelah berhasil memasukanku secara paksa. Menyebalkan. Bukan hanya menyebalkan tapi juga canggung karena aku dan Azzalia hanya duduk bersampingan di satu jok mobil yang ada di tengah.

"Lancar, Om. Selama ini aku belum terlibat masalah apapun. Aku juga mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru," jawabnya Azzalia ramah.

Ralat, terdengar ramah. Iya, aku hanya mendengarnya bicara karena pandanganku menghadap ke arah jalan raya.

"Kalau tipe seperti kamu gak bakal dapat masalah di sekolah malahan bakal bersinar paling terang. Kamu itu berprestasi, adab kamu baik, juga bersahabat."

Azzalia terkekeh, "Cuma itu yang bisa saya lakuin untuk diterima."

"Beda sama anak om satu ini. Bisa masuk SMA itu karena jalur orang dalam. Kalau ngandelin otak dia mana mau SMA ternama itu nerima dia. Disuruh giat belajar ogah-ogahan. Gak taulah mau jadi apa dia nanti," tutur Papa yang membuatku bertambah jengkel.

Sejak kedatangan Azzalia aku di mana orang-orang jadi lebih buruk. Iya, memang aku buruk tapi setelah orang-orang melihat Azzalia dan dibandingkan denganku, sangat nampak jelas keburukanku. Kini predikatku sangat buruk.

"Sekarang mah belum bisa nilai kami para remaja itu yang gini pasti nantinya gini atau yang gitu nantinya gitu, Om. Sekarang Beno yang menurut Om kurang ...,"

Aku seketika menoleh ke arah Azzalia yang menggantung ucapannya. Ternyata dia menoleh ke arahku hingga kami bersitatap. "Kurang semua. Udah, anggap aja gitu." Aku kembali menoleh ke jendela.

"Eh, maksudnya kurang memuaskan bagi Om tapi siapa tau kalau dia udah dewasa dia bisa membanggakan bagi Om bahkan melampaui ekspektasi Om. Sekarang mungkin dia mau menikmati masa kebebasan dia sebelum masuk ke dunia yang sesungguhnya."

Papa tertawa, "Udahlah Aca gak usah dibelain dia tuh nanti malah keenakan dia mah."

Aku tidak tersentuh dengan ucapan Azzalia meski yang dia katakan itu benar tapi dia berkata seperti pasti hanya untuk terlihat keren di mata Papa. Semacam mencari perhatian. Siapa tahu dengan begitu dia bisa langsung direkrut untuk masuk ke PT. Pertamina jalur Papa.

"Andai yang anak Om itu kamu pasti Om gak perlu pusing-pusing ngurusin masalah anak."

"Siapa suruh bikin anak lagi. Coba kalau anak Om cuma Dandi gak perlu repot-repot mikirin warisan," ujarku yang meniru gaya bicara Azzalia.

Hening. Tidak ada yang menanggapi ucapanku. Hanya terdengar suara mesin mobil yang dikendarai Andi–sopir pribadi Papa. Selang beberapa menit ponsel Papa berdering tanda ada panggilan masuk. Papa mengangkat panggilan tersebut dan sibuk berbicara. Azzalia menoleh ke keluar jendela dan fokus pada pikirannya.

"Iya, tentu saja kami bersedia dengan senang hati. Kami akan datang pukul tujuh."

Aku mencuri dengar obrolan Papa di telepon. Kami? Malam ini? Apa yang dimaksud Papa keluarganya yang artinya termasuk aku? Tunggu! Apa orang yang menghubunginya itu Ayah Chelsea dan membahas makan malam? Jika iya ini masalah untuk hidupku. Apa alasanku untuk menolak nantinya?

"Beno."

Kepalaku refleks menoleh ke depan tepat di mana jok yang Papa duduki. Tadi itu Papa tapi intonasi suaranya berbeda. Tampaknya dia ingin berbicara serius.

"Saat Papa tau Mama hamil lagi. Papa memang berharap anak kedua kami perempuan. Selain ingin mengecap bagaimana menghidupi anak perempuan Papa juga berpikir suatu saat pasti akan ada masa perseteruan warisan dan jabatan kalau memiliki lebih dari satu anak laki-laki."

Aku diam, begitu pula Azzalia dan Andi–supir. Selain aku tidak tahu harus respons apa, aku yakin masih ada yang ingin Papa sampaikan. Jadi, aku memutuskan untuk diam saja dan menatap keluar jendela. Papa tidak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Entah apa maksud dan tujuan beliau.

"Kamu lahir dan Dandi sudah menentukan ingin menjadi seperti Papa. Di situ rasa takut Papa kian menjadi. Papa membesarkan kamu dengan cara yang berbeda dari Dandi. Papa menunjukkan hal-hal yang berbanding terbalik dengan dunia kantor agar kamu nggak terpikir ingin ke sana."

Jujur, aku dan Papa sebelumnya tidak begitu dekat. Kami hanya akan berbaur dengan santai jika sedang kumpul keluarga. Kalaupun sedang berdua paling hanya berbasa-basi antara ayah dan anak. Saat aku datang ke Papa hanya jika ada maunya begitupun dengan Papa. Beliau memang lebih dekat dengan Dandi.

"Kamu tumbuh dan usaha Papa berhasil. Kamu ada nggak minat di bidang kantoran. Namun, Papa sadar itu nggak adil buat kamu. Sayangnya, Papa sudah terlambat. Kamu sudah tenggelam di dunia kamu sendiri. Dunia kamu dan Dandi yang berbeda ternyata menyebabkan ketidakselarasan, masih berujung bentrokan."

Tidak pernah terpikirkan olehku jika pertengkaran kecil kami bisa menyebabkan kekhawatiran Papa sebesar itu. Aku dan Dandi memang tidak pernah akur tapi ikatan kami tidak rusak. Kami tidak benar-benar saling membenci. Itu menurutku.

"Pa, ikatan aku sama Kak Dandi nggak seburuk itu," kataku memotong ucapan Papa.

"Beno, kamu juga berhak untuk itu," ujar Papa menoleh ke belakang tepatnya ke arahku. Namun, aku langsung mengalihkan tatapanku ke samping.

***

Terima kasih atas partisipasinya

Salam
@Alien_Pou


This is Beno [ #02 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang