02. Kakak-adik

45 23 68
                                    

HAPPY READING!

***

"Kakak, Adek makan malam udah siap!"

Aku membuka mata lebar-lebar mendengar makan malam. Sudah kutunggu 2 jam lebih dari Mama berkata ingin masak makan malam. Akhirnya demo cacing-cacing dalam perutku akan segera selesai.

Buru-buru aku keluar kamar. Tepat di waktu yang sama Dandi juga keluar dari kamarnya bersampingan dengan milikku. Dia menatapku datar. Aku yang tidak ingin kartu ATM di sita Papa dengan hormat membungkukan badan berjalan melewati Dandi layaknya anak yang baik hatinya, santun sikapnya.

"Permisi," kataku manis.

Tak kutoleh sedikitpun raut wajah pria yang baru kehilangan 5 miniatur mobil kaca mahalnya. Aku berusaha berjalan dengan tenang di iringi olehnya dari belakang. Dia bisa melakukan apa saja untuk membalas dendam.

"Beno, Dandi." Papa tersenyum menyapa kami di meja makan.

"Papa udah stay by aja," ujarku menarik kursi untuk duduk.

"Akh!" pekikku saat merasakan tempurung kaki di injak keras. Aku menoleh ke samping, Dandi si pelaku bersikap seolah itu tidak pernah terjadi.

"Kenapa, Dek?" tanya Dandi tanpa rasa bersalah dan bersikap sok menjadi kakak yang baik.

"Gapapa, ini kaki kursi gak sengaja ketindih kaki," kataku tersenyum ramah.

"Lecet gak?"

"Gak."

"Kursinya."

Aku memutar bola mata jengah. Pria ini semakin menyebalkan saja. "Kursinya sehat jasmani tapi kurang di rohani."

"Ini ayam goreng mentega kesukaan Adek."

Mataku tertoleh pada Dandi yang menahan tawanya, Papa juga tampak senyam-senyum geli. Ah, panggilan Mama terlalu imut untuk aku yang sudah berumur 17 tahun kurang 3 bulan. Ayam goreng mentega itu makanan kesukaanku.

"Ma, aku udah gede, jangan panggil Adek lagi," kataku.

"Lho, segede apapun kamu tetep jadi Adek di sini," ujar Mama meletakan ayam goreng mentega.

"Ingat gak, gambar pertama yang lo pamerin ke kita? Ada Papa, Mama, Kakak, dan Adek. Terus lo pajangin di pintu."

"Itu gambaran sepuluh tahun yang lalu."

Aku mengatakan tentang sebuah karya seni yang kubuat saat duduk di bangku TK. Sebuah gambar potret keluarga yang diwarnai oleh krayon. Entah masih ada atau tidak lukisan itu di belakang pintu.

"Dulu Beno suka banget dipanggil Adek sampe gak mau dipanggil Beno," ujar Papa.

Memang dulu dengan bangga mengatakan kalau aku Adek tapi itu sebelum kamu tahu kalau sebutan itu terlalu imut. Dulu rasanya seperti semua pusat perhatian dan rasa sayang tertuju padaku. Kembali lagi itu dulu.

"Adek, ayamnya mau bagian paha?" Dandi bertanya tapi terdengar seperti ejekan. "Kek Ipin."

Aku sudah memasang wajah masam sedari tadi. Pasal nama panggilan dibesar-besarkan. Mama dan Papa juga ikut-ikutan tertawa. Aku menyendok makananku yang sudah disiapkan Mama.

"Papa, besok kita kedatangan tetangga baru."

Aku menguyah makanan sambil sesekali melirik Mama. Tetangga baru? Satu-satunya rumah kosong di sekitaran ini dan bisa dikatakan tetangga adalah rumah nomor 607 yang sudah ditinggal 10 tahun lamanya, kata Mama. Tentu, kalau dari aku, sudah tidak berpenghuni seingatnya. Rumah itu di tepat di samping kediaman kami.

"Di mana?" tanya Papa.

"Rumah yang di samping rumah kita."

"Itu perasaan udah lama ditinggal. Siapa bakal nempatinnya?"

"Anak Mak Tika, Daryono. Yang dulu pernah tinggal di sana."

Mak Tika, aku tidak begitu tahu. Namun, rumah di samping ini sangat dikenal dengan sebutan Rumah Mak Tika. Gosipnya, rumah ini dihuni oleh seorang janda tua. Semua anaknya sudah berkeluarga. Tinggallah dia seorang diri lalu sakit, dibawah oleh salah satu anaknya untuk ditanggal bersama. Sejak itu rumah itu tinggal dan Mak Tika juga dikabarkan meninggal kisaran 3 tahun lalu. Hanya itu yang sampai padaku.

Dandi tiba-tiba menyenggolku yang sedang asing dengan ayam goreng mentega. "Cie, yang bakal ketemu cinta pertama."

"Apa?"

Cinta pertama? Aku dengan anak Mak Tika yang bernama Daryono itu? Sungguh, bagaimana kronologinya?

"Oh, iya. Adek dulu nangis-nangis karena dia pindah. Kemarin ada loh dia pas ngecek-ngeceh rumah tapi Adek gak keluar-keluar," kata Mama senyam-senyum.

"Beno sampe lari ngejar mobil yang ngangkut barang karena gak mau pisah sama dia," ujar Dandi cekikikan.

"Kok aku gak inget?"

Mereka membicarakan aku tapi aku yang dibicarakan tidak mengingat apa pun. Aku pernah lari-lari sambil menangis mengejar mobil karena tidak ingin pisah dari seseorang? Apa skenario seperti itu benar-benar terjadi dalam hidupku? Kenapa aku tidak mengingat hal sedramatis itu dalam hidup?

"Adek waktu itu masih kecil. Palingan baru 3 atau 4 tahun. Pasti Adek lupa," ujar Papa.

Jika tidak dibicarakan mungkin selamanya aku tidak tahu. Jadi benar aku begitu dengan Daryono atau ada yang lain? Daryono? Selain seperti laki-laki, namanya saja tidak keren. Masa cinta pertama dengan laki-laki yang tidak keren?

"Nanti juga ketemu. Bisa tiap hari lagi. Bisa kayak dulu dadah-dadah sebelum tidur. " Suara Dandi lagi-lagi terdengar seperti mengolok atau memang mengolok.

Apa yang dadah-dadah sebelum tidur? Aku jadi penasaran dengan orang itu. Apa benar-benar terjadi hubungan dengan erat di antara kami?

"Kalian itu dulu lucu banget.

"Setelah dia pergi Beno gak punya temen lagi. Dia gak pernah lagi ngajak temen atau main ke rumah temen."

Aku hampir saja tersedak mendengar ucapan Mama. Ini pasti sebuah singgungan. Pasal teman. Selalu saja Mama merepotkan hal itu. Kenapa aku tidak pernah membawa teman? Kenapa tidak pernah pamit untuk main ke rumah teman? Ini pula selalu membuatku jengkel.

"Beno terlalu membosankan, Ma. Orang itu juga nanti gak mau temenan sama Beno. Dulu dia mau temenen sama Beno karena belum paham aja. Kerjaan nonton kartu, baca komik, gak pinter, gak gaul, gak keren. Ditambah melihara kucing lagi."

Mulai lagi. Sesi mengejek Beno. Dandi selalu saja membara ketika mengejekku. Semua kekurangan sangat nikmat keluar dari mulutnya. Dia tidak sadar saja ada begitu banyak kekurangannya tapi bersyukurnya dia memiliki adik yang senantiasa menutup aib sang kakak.

"Iya, Kak Dandi emang yang paling sempurna di rumah ini. Aku mah apa atuh?"

"Itu sebabnya gue punya pacar, lo nggak."

Dandi tidak tahu saja kalau aku sudah bertindak jangankan cewek-cewek di luar saja, pacarnya saja aku ambil. Berterima kasihlah aku belum bertindak sampai saat ini dan dia masih bisa menyebut Veronika itu pacarnya. Aku tertawa dalam hati.

"Masih aja kamu pacaran sama Veronika itu. Apa yang kamu banggain dari dia? Cewek matre gitu."

Terlihat Dandi kesal dengan ucapan Mama yang menyepelekan pacar tercintanya. Mama tidak pernah menyukai Veronika berbagai sudut pandang. Mulai dari suka berbelanja, gaya berpakaian, bahkan tata sikap gadis itu.

"Mama belum akrab aja sama Veronika, nanti juga suka."

***

Suka-suka Beno aja
Iyain aja

Terima kasih partisipasinya
Tinggalkan jejak!

This is Beno [ #02 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang