05. Meja Makan

47 20 77
                                    

HAPPY READING!

***

Ada yang berbeda di meja makan malam ini. Biasanya hanya dihuni oleh empat orang, yaitu Papa, Mama, Dandi dan, tentu saja aku. Namun, kali ini ada penghuni asing. Seorang pria, mungkin lebih mudah beberapa tahun dengan Papa dan di sampingnya ada gadis tadi.

"Adek, kenapa berhenti di sana? Ayo, sini gabung."

Aku tersadarkan. Ternyata aku berhenti di tepat di tangga ke tiga. Langsung saja meneruskan langkah menuju meja makan yang sudah dihuni lima orang dan akan bertambah satu saat aku tiba di sana.

"Maaf benget, Yuk. Kami pindahan jadi ngerepotin kalian," ujar pria yang tadi disebutkan.

Beno mendengarkan sembari mengambil posisi duduk dan ternyata tempat duduk yang Beno pilih berhadapan dengan gadis tadi. Tatapan kami bertemu tapi kali ini dia tidak senyum. Mungkin dia lelah tersenyum seharian ini.

"Gapapa, Yono. Kita 'kan tetangga. Saya malah seneng ada kalian di sini. Anak gadis kamu ini bisa nemenin saya masak di dapur. Anak kami cowok semua jadi paling anti masuk dapur."

Seketika aku menatap pria itu saat mendengar ucapan Mama. Jadi, dua orang ini ayah dan anak? Menurutku si pria terlalu muda memiliki anak yang sudah sebaya denganku. Yono? Apa orang sama dengan yang disebut waktu itu–Daryono?

"Kalian pasti kewalahan pindahan cuma berdua apalagi rumah itu udah lama ditinggal. Tidur di sini aja dulu. Rumah pasti belum tertata," ujar Papa menyarankan.

"Ini aja udah ngerepotin. Dapur belum bisa dipake kita jadi nyusahin kalian," ujar ayah gadis itu tidak enak.

"Jangan gak enak gitu. Kita 'kan tetangga. Walaupun gak ada hubungan darah, tetangga yang lebih dulu nolong kalau lagi ada apa-apanya," tutur Papa.

"Pokoknya kalian malam ini harus nginep di sini," tuntut Mama memaksa.

"Ayo, kita makan. Gak enak makanan terlalu lama dikacangin." Papa ambil tindakan. "Aca, silakan dimakan."

"Iya, Om," jawab gadis itu tersenyum.

Aku merasakan pinggangnya ditoel. Aku pun menoleh ke samping mendapati Dandi yang menatap penuh arti dengan mengangkat-angkat alis sebelah. Aku mengkode dengan isyarat bibir seakan bertanya, "Apa?"

Dandi mengisyaratkan untuk membuatku menoleh ke bawah. Saat kulakukan ternyata kedua tangan Dandi tengah membentuk hati. Sungguh, aku masih tidak mengerti. Love?

"Apa sih?" gumam Beno.

Dandi mendekatkan diri padaku lalu berbisik. "Cie, yang kembali dipertemukan dengan cinta pertama. Bakal CLBK."

Tatapanku terpusat pada Daryono yang berada di hadapan Dandi. Sungguh? Tiba-tiba Beno merasakan kepalanya diarahkan oleh Dandi hingga pandangannya berubah menjadi menatap gadis tadi. "Entar dulu mikirin restu bapaknya. Dapetin dulu hati orangnya," bisik Dandi.

Seketika aku terbatuk-batuk karena tersedak ludahnya sendiri. Jadi selama ini aku salah mengira. Ternyata yang dimaksud cinta pertama Beno itu bukan dengan Daryono melainkan anak Daryono. Jadi, gadis tadi?

"Kamu kenapa, Beno? Belum juga makan udah kesedak aja," kata Papa.

Semua mata tertuju padaku, termasuk gadis tadi.  Aku berdiri ingin mengambil teko untuk menuangkan air ke gelas. Namun, tangan yang kurang panjang dan membuatku kesulitan meraihnya. Gadis tadi mengerti dan sigap memberikan teko yang dekat dengannya. Aku mengambil teko itu, menuangkan separuh isinya ke gelas. Segera aku minum airnya hingga tandas.

"Ini, Pa. Dia gugup ketemu Aca lagi," ujar Dandi menepuk-nepuk punggungku pelan.

Aku menatap tajam Dandi sembari mengambil posisi duduk. Tak ingin lama melihat wajah Dandi, aku mengubah pandangan menjadi ke depan. Kini tatapan tertuju pada gadis tadi yang tengah menyendok lauk. Gadis itu tampak biasanya.

"Oh, iya. Mereka dulu temenan, ya. Sedih banget liat mereka berpisah. Mereka berdua sama-sama nangis pas mau pisah," kata Daryono.

Sigap aku menoleh ke gadis itu dan bertepatan dengan gadis itu juga melihat padaku. Mereka kembali bersitatap tapi kali ini dengan ekspresi wajah yang sama; sama-sama terkejut. Apa yang drama itu benar-benar terjadi pada kami? Apa ikatan kami sedalam itu?

"Beno ngurung diri dalem kamar seminggu full minta Aca balik. Sore-sore dia liat jendela kamar Aca sambil teriak 'Yono jahat'," ujar Mama bersemangat.

"Iya, Yono. Sampe sekarang Beno juga masih ngurung diri dalam kamar. Jarang banget liat dia keluar kamar kecuali makan sama sekolah." Papa ikut menimbrung.

"Maafin Om, Ben. Om terpaksa misahin kalian berdua karena benar-benar gak ada pilihan lain waktu itu. Keadaannya saat itu sangat buruk," ujar Daryono merasa bersalah.

Perkataan Daryono membuatku canggung saja. Aku mengaduk-aduk makanannya dengan sangat tidak nyaman. "Aku waktu itu masih kecil, Om. Belum ngerti apa-apa," kata Beno.

"Tante harap Aca kembali ke sini bisa bikin Beno ceria lagi." Mama menatap Azzalia–gadis tadi. "Iya, Ca?"

"Ma! Mama apaan, sih?" Aku benar-benar berada di situasi yang tidak nyaman.

"Loh, kenapa?"

"Kasian Aca, Ma. Kasian kalau dipaksa temenan sama Beno. Ntar dia tersiksa."

Perkataan Dandi membuat semua orang terkekeh, kecuali aku. Saat-saat seperti ini aku selalu tersakiti. Untuk menetralkan rasa malu di depan ayah dan anak itu aku menuangkan air ke gelas.

Mama kembali berkata sambil menatap Azzalia. "Ca, mau 'kan temenan sama Beno lagi?"

Azzalia tersenyum, "Iya, Tante."

Gadis itu memiliki senyum yang sangat manis. Lengkungan yang pas, lesung pipi di kiri, dan mata menyipit menyempurnakan senyum itu. Siapa pun yang melihat itu hatinya akan damai.

"Beno! Astaga!"

Aku terkejut dan menyadari apa yang telah aku lakukan. Gelas tidak bisa menampung air yang terus mengalir dari teko yang aku tuangkan sedaritadi. Dandi berdiri karena celana bagian paha kanannya basah oleh air tersebut.

"Kalau nuang air itu kira-kira. Lo ngalamun sampe airnya meluber gitu?" ujar Dandi kesal.

"Gue gak sadar," kataku.

Apa yang terjadi denganku? Aku dihipnotis senyum Azzalia. Senyumnya sangat berbahaya. Tadi aku tidak menyadari kalau sedang menuangkan air ke gelas. Seperti aku harus menghindari senyum dashyat itu.

"Aku udah kenyang. Kalau gitu aku mau ke kamar." Aku meletakan sendok dan garpu ke piring yang menciptakan suara khas. Setelah itu aku berdiri.

"Tunggu dulu," ujar Mama membuat ia menjadi pusat perhatian. "Karena Aca sama ayahnya bakal nginep di sini. Jadi, kita atur tempat tidur dulu."

"Mama bener. Kamar tamu cuma satu," kata Papa ikut-ikutan.

"Gak usah, Bang, Yuk. Rumah itu emang masih berantakan tapi kalau buar tidur masih bisa, kok," tolak Daryono tidak enak.

"Jangan gitu, Yono. Terimalah tawaran kami. Kasian Aca harus tidur di tempat kotor. Apalagi besok adalah pertama dia sekolah baru pasti banyak persiapan," ujar Papa membujuk.

"Kedatangan kami benar-benar nyusahin kalian." Daryono semakin tidak enak.

"Jadi, ayahnya Aca bakal tidur di kamar tamu dan Aca tidur di kamar Beno."

"Hah?" seruku. Aku menatap Mama tak terima. "Terus aku tidur di mana?"

"Adek tidur sama Kakak."

"Apa?" teriakku dan Dandi secara serentak.

***

TIDUR satu KASUR!

This is Beno [ #02 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang