25. Wibu

1 0 0
                                    

Happy reading!

***

Sekolah setelah izin sakit selama tiga hari suasana
sangat berbeda. Aku sampai mengenakan Hoodie dengan tudung terpasang di kepala, menunduk dan berpura-pura sibuk dengan ponsel. Hari ini hari Jum'at, seragam sekolah adalah olahraga. Warna baju olahraga adalah biru tua dan celana hitam. jadi aku juga mengenakan Hoodie hitam agar tidak mencolok.

Namun, bagaimana pun earphone kabel tak pernah tinggal. Meski zaman sekarang sudah beredar earphone bluetooth tapi aku tetap setia pada versi kabal. Aku selalu mengenakannya saat keluar rumah sambil menyetel lagu. Itu membuatku lebih tenang menghadapi dunia luar. Kacamata anti radiasi juga melengkapi. beberapa hari ini aku terlalu banyak menatap layar ponsel dan komputer.

Ini sangat mencemaskan. Bagaimana jika sebagian orang menyadari bahwa aku si siswa misterius yang ada di atap gedung saat kejadian itu? Mereka juga membenarkan artikel-artikel itu yang menyatakan ada sangkut-pautnya? Kenapa bisa serumit ini, sih?

"Woy! Anjirt! HP gue!"

Aku terlonjak kaget saat tak sengaja menabrak peralatan orang yang tengah membuat konten di ponsel. Pemilik barang itu langsung berlari dan memeriksa ponselnya yang terikat di benda yang entah apa namanya.

"Sorry! Gue gak sengaja. Ada yang rusak?" Aku sedikit membungkuk untuk meminta maaf.

"Lo! Punya mata gak sih? Masa ginian aja gak liat? Untung HP gue gak kenapa-kenapa. Kalo sampe ..., si Nolep?"

Aku mendongak untuk melihat siapa si pemilik ponsel. Dia mengatakan sesuatu yang butuh penjelasan. Setelah diingat lagi suara tidak asing tapi meragukan untuk menebak siapa pemiliknya. Danu Aryo Wiranata–generasi ke-3 dari pemilik perusahaan yang bergerak di bidang fashion; brand Wirnt. Dia juga adalah kekasih Chelsea merupakan salah satu selebram yanh menjadi brand ambassador dari brand Wirnt.

"Nggak ada yang rusak?" tanyaku. Melirik benda itu dan tampaknya baik-baik saja. "Gue minta maaf untuk yang tadi. Permisi!" pamitku berniat pergi dari sana. Aku melangkah kaki.

"Tunggu! Gue kayak ngerasa gak ada ketulusan di permintaan maaf lo."

Langkahku terhenti. "Ini yang sebisa gue. Terus gue harus minta maaf yang kayak gimana baru dibilang tulus? Kalo ada yang rusak biar gue ganti," ujarku mantap.

Dia berjalan mendekat ke arahku dengan kedua tangan di saku celana. Hanya tinggal selangkah lagi jarak di antara kami. Tangannya terulur menggenggam kabal earphone miliku dan menekan tombol di sana hingga suara musik terhenti. "Earphone, hoodie hitam, kacamata, rambut acak-acak ...," ujarnya terhenti dan menatap wajahku untuk memberikan senyumannya. "Aura Wibu-nya sangat kental."

Pria itu tertawa puas diiringi beberapa teman di belakang. Ini hal biasa saat ada orang yang mengatakan hal seperti itu. Namun, tidak pernah mengatakan secara langsung seperti ini. Kadang hanya sekedar bisik-bisik yang terdengar. Memang apa yang salah dengan cara pakaianku? Atau, apa salahnya aku menyukai hal-hal berbau Jepang? Lagian aku tidak mengkhianati NKRI.

"Jauh-jauh, Dan. Bau bawangnya sangat menyengat," timpal temannya di belakang diiringi tawa lagi.

"Tanya juga, apa nama bantal gulingnya!" Teman satunya itu menimbrung.

Aku tersenyum dan menatap Danu. "Sumpah, gue kaget. Ternyata hidup gue lumayan menarik buat kalian. Tapi, maaf dari hati gue yang paling tulus, gue gak tertarik ngeladenin kalian," ujarku.

"Woy, anjirt! Belagu banget lo wibu tai anjing!" maki teman Danu di belakang. Saat orang itu hendak menghampiriku Danu malah menahannya.

Acuh tak acuh dengan ekspresi mereka aku berbalik dan melanjutkan langkah yang tertunda. Aku membenarkan tudung hoodie lalu memasukkan kedua tangan di saku hoodie. Sekolah ini adalah kumpulan orang-orang yang merasa dirinya tinggi padahal hanya para benalu orang tua.

"Eh, bukannya itu Azza murid baru yang pacarnya Kak Apra, dia dianter siapa itu?"

Aku menoleh ke kiri dan melihat dua teman perempuan sekelasku. Mereka sedang berbisik sambil melihat ke gerbang. Aku refleks mengikuti arah pandang mereka. Azzalia sedang berdiri di sana bersama seorang pria dan sebuah mobil. Tunggu, aku mengenal mobil itu dan juga pemiliknya.

"Dandi?" gumamku menyebut orang yang ada di pikiranku.

Tadi pria itu menawariku tumpangan tapi aku menolak dan mengendarai motor sendiri. Dia lalu menyuruhku mengajak Azzalia juga yang kebetulan sedang menunggu entah seseorang atau tukang ojek. Namun, aku juga menolak dan melewati gadis itu begitu saja. Kini aku melihat mereka berdua di gerbang sekolah.

"Itu 'kan Bang Dandi Fian seleb Tiktok, anak pemilik Dithu Furniture. Kok bisa Azza dianter sama Bang Dandi?" ujar teman di sebelahnya.

"Kak Apra tau gak sih? Setelah dia ngembat anak bos tambang minyak sekarang dia juga ngincer Bang Dandi."

"Eh, itu ada Kak Apra."

Aku melihat Apra melambaikan tangan pada Dandi dan Azzalia. Dia berjalan menghampiri kedua orang itu. Saat tiba di sana Apra langsung menyalami Dandi lalu melakukan tos semacam tos persahabatan. Kapan mereka sedekat itu? Setelah itu Apra malah merangkul Azzalia dan dilanjutkan Dandi mengusap rambut Azzalia.

"Mereka saling kenal. Jangan-jangan Azza itu adeknya Bang Dandi. Bang Dandi pernah bilang di live kalo dia punya adek tapi gak dijelasin cewek atau cowok."

"Tapi, Azza masuk sekolah ini lewat jalur beasiswa."

"Itu 'kan karena prestasi bukan tidak mampu. Di grand opening kafe Bang Dandi juga gak ada adeknya."

Skenario macam apakah itu? Kursiku malah diduduki Azzalia. Aku yang anak kedua pemilik CV. Dithu Furniture dan adik selebriti TikTok sekaligus pemilik kafe itu bukan Azzalia. Aku lupa kalau keluargaku lumayan terkenal sebagai orang kaya dan hanya aku tidak dikenali.

"Kalo bener Azza bukan orang sembarangan."

Aku menoleh ke arah mereka bertiga yang jauh 10 meter lebih sampai tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi mereka sedang tertawa ria. Benar juga biarkan orang-orang mengira kalo posisiku adalah posisi Azzalia agar tidak ada yang meremehkan gadis itu karena masuk jalur beasiswa.

Sudahlah itu lebih bagus untuk Azzalia. Aku tidak membutuhkannya. Dia harus bersinar. Aku menoleh lagi. "Cih! Tangan murahan," gumamku. Ketika melihat Apra masih merangkul Azzalia. Malam itu dia seenaknya memeluk Chelsea berkedok sahabat kini Azzalia juga dengan status pacar. Apa semua perempuan yang dia kenakan selalu diperlakukan seperti itu? Lalu, apa spesialnya menjadi pacar seorang Apra?

Aku menekan tombol on di earphone yang tadi dimatikan Danu seenaknya. Suara musik kembali menyala. Ah, sudahlah! Itu kehidupan mereka aku tidak pernah repot-repot mengurusinya. Azzalia yang paling tahu tentang ketulusan pacarnya. Jika memang benar Apra ternyata tidak tulus itu terserah Azzalia dalam menyikapinya. Stop memikirkan.

***

Terima kasih atas kunjungan
Kalian sangat berharga bagiku

@POU_RJE

This is Beno [ #02 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang