Happy reading!
***
Aku duduk bersandar di sebuah pohon besar yang entah apa jenisnya. Tadi malam aku tidak tidur, ralat, seluruh orang di rumah dan juga tukang urut. Akibat insiden kekonyolanku dengan Dandi mengakibatkan tidak ada yang tidur normal. Terkadang aku juga menyadari kekonyolan kami tapi jarang sadarnya.
Untuk apa aku di sini? Pohon besar ini merupakan tempat tongkronganku saat jam istirahat. Tidak suka berbaur dengan keramaian membuatku tidak memiliki teman akrab. Lingkungan pertemanan di sini sangat abnormal. Mereka hanya menerima pertemanan jika merasa mereka sama. Lalu, yang tidak memiliki kesamaan ditinggalkan.
"Kita berhasil, girls!"
Mataku terbuka saat telinga mendengar suara seruan itu. Bukannya ingin tahu hanya sekedar naluri karena merasa kenal dengan suara itu. Benar saja itu Chelsea anak rekan kerja Papa. Waktuku hanya tinggal dua hari sebagai Beno berstatus tanpa hubungan dengan Chelsea.
"Bella udah out! Gue puas banget pas liat dia berlutut di hadapan gue kemarin."
"Bella?" gumamnya.
"Makanya jangan sok hebat," ujar Anfi sahabat karib Chelsea yang berjalan berdampingan.
"Dia pikir dia hebat karena masuk sekolah ini gratis?" Chelsea menghentikan langkahnya tepat dua meter di depanku. "Bella, Bella, lo itu gak lebih dari upil yang nyangkut di kuku."
Keduanya tertawa dan kembali melanjutkan perjalanan yang tadi tertunda. Aku dan dia berjodoh? Hah! Seumur hidupku akan merutuki pria kecil, kurus, hitam yang telah membuat semua itu menjadi mungkin.
Bella adalah salah satu murid yang masuk ke sekolah ini karena bantuan beasiswa atas prestasinya. Dia memang bermasalah dengan Chelsea dari awal-awal semester satu di kelas 10. Aku tidak tahu apa masalahnya tapi Chelsea sangat sering menganggu Bella.
"Aca?"
Seketika aku teringat pada Azzalia. Gadis itu bisa masuk ke sekolah ini karena mendapat beasiswa. Apa dia akan bernasib sama dengan Bella? Apalagi Azzalia menolak saran dariku. Menjadi orang kaya baru. Padahal hanya tinggal 1,5 tahun lagi.
"Buat apa gue peduli sama dia?"
Aku memejamkan mata dan kembali melanjutkan tidurku. Biarkan itu menjadi pilihan Azzalia. Aku hanya memperingatkan. Apapun yang Azzalia jalani dia harus siap menerima konsekuensinya.
***
Aku menempelkan ponsel ke telinga. "Ca, lo pulang sendirian gak masalah 'kan?" kataku karena saat ini tengah menghubungi Azzalia. "Gue minta temen gue bawanya. Jadi, lo gak perlu boncengin gue."
"Tapi, ...." Belum sempat Azzalia melanjutkan katanya aku buru-buru memutuskan sambungan panggilan itu.
Sejak kapan kami bertukar nomor telepon? Mama menjadi jembatan penghubungnya. Tadi malam aku yang tengah asyik bermain ponsel di anak tangga, Mama tiba-tiba merampas ponselku dan menyimpan kontak Azzalia. Aku tak begitu acuh tapi cukup berguna.
"Astaga!" Aku enepuk jidatku refleks. "Kunci motornya dibawa Aca."
Ternyata aku tetap harus berurusan dengan gadis itu. Setelah insiden di gudang kami berdua menjadi lebih renggang. Apalagi kata-kata terakhir sebelum kami berpisah.
"Kita bukan siapa-siapa jadi kamu gak harus peduli." Kata-kata Azzalia itu cukup menjelaskan segala terkait kami. Itu juga mewakili singgungan saat di kelas tadi. Rumit.
Seseorang menepuk pundakku. "Jadi gak?
Saat aku menoleh ternyata itu Daffi kembaran Daffa. "Gak jadi, kuncinya di Aca. Dia ikut ekskul jurnalis jadi pulangnya agak sore."
"Terus?"
"Gue nunggu Aca pulang."
Daffi menatapku tak percaya. "Aca pulang jam lima sore, ini baru jam tiga. Lo sanggup?"
"Dari pada dia liat tangki bensin motor ini. Soalnya bensinnya tinggal dikit, pasti dia pulangnya ngisi bensin."
Daffi tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Mungkin dia mengingat-ingat kembali sejarah tangki bensin motor BeAT butut ini. Mungkin itu lucu bagi Daffi tapi tidak denganku. Saat mengingatnya aku ingin melempar boom ke Caffe dikelola Veronika yang baru diberikan oleh Dandi.
"Gue duluan, bro." Daffi meninggalkanku masih dengan tawa yang sebelum berkesudahan.
Orang-orang mulai meninggalkan area sekolah. Hanya tinggal beberapa motor atau mobil yang tersisa. Aku mencoba menghubungi ponsel Aca, kalau-kalau masih belum dimatikan dayanya. Peraturan kelas ekskul jurnalis, ponsel harus dinonaktifkan. Namun, na'as ini bukan hari keberuntunganku. Ponsel Azzalia sudah tidak aktif.
Tinggallah aku seorang diri di parkiran siswa. Masih ada beberapa motor yang mungkin sedang mengikuti kelas ekstrakurikuler. Hari ada tiga macam ekstrakurikuler yang diadakan; futsal, jurnalis, catur. Aku? Aku mengikuti klub voli. Itupun karena ikut-ikutan si kembar. Aku tidak punya Pilihan akhirnya mengikuti mereka.
Berhubung menunggu di atas motor panas karena trik matahari, aku memutuskan menunggu di teras salah satu kelas di gedung IPA. Sembari scroll beranda Tiktok. Hampir semua konten membahas hal yang sama. Kasus Brigadir J di bunuh Sambo. Aku tidak tahu kronologi tapi mereka terus menghujat Sambo.
Mataku tidak bisa bertahan lagi. Akhirnya aku memutuskan untuk rebahan di sana serta memejamkan mata. Aku harap saat aku bangun sudah jam lima. Ah, sadar perut, tiba-tiba aku merasa lapar. Biasanya saat pulang sekolah jam tiga sore aku langsung makan di rumah. Aku membuka mata dalam artian menghancurkan hadapan tadi.
Tempat parkiran masih seperti tadi. Hanya saja ada seseorang yang duduk sambil main HP di salah satu motor terparkir di sana. Dia seorang pria yang mengenakan seragam yang sama denganku. Aku tidak mengenalnya. Murid di sini mencapai ribuan wajar aku tidak mengenal sebagian dari mereka.
Aku memilih pergi ke kantin. Dua jam kalau ditunggu akan terasa lama. Perutku juga tidak bisa menunggu lagi. Azzalia menjalani hari pertama berjalan dengan lancar. Namun, aku mendapatkan bagian sialnya.
Jika aku boleh berasumsi, kedatangan gadis itu cukup memberikan dampak negatif terhadapku. Mulai dari ditertawakan tetangga, jatuh dari tangga, rbut dengan Papa, dibonceng oleh cewek dan sekarang harus menunggu. Bagaimanapun aku tidak bisa menyalahkan dia.
"Beno!"
Aku refleks menoleh ke sumber suara tepatnya di parkiran. Ternyata yang memanggil namaku adalah orang yang duduk di salah satu motor di parkiran. Dia yang tadi kulihat. Aku menatapnya sambil menunjuk diri sendiri untuk mengkode apa dia benar-benar memanggilku.
"Iya, lo!"
Tanpa menunggu aku menghampirinya. "Ada apa?"
"Lo kenapa belum pulang?" tanyanya.
"Ini lagi nunggu temen yang ikut ekskul." Aku menunjuknya, "Lo sendiri?"
"Gue lagi nunggu pacar gue. Dia ikut ekskul jurnalis. Rumah gue lumayan jauh, repot kalau kudu bolak balik jadi mending nunggu aja."
Aku ber'oh' ria sebagai respons. "Lo kenal gue?"
"Lo pasti gak kenal gue. Iya 'kan?"
Aku menggaruk kepala tidak gatal sambil mengangguk tidak enak. "Iya," jawabku menyengir.
"Gue anak Harjono. Bokap kita temenan. Gue sering denger tentang lo dari bokap lo. Soalnya gue sering ikut mereka ke klub golf."
"Oh, iya. Gue kenal Om Harjono. Baru tau kalo anaknya juga sekolah di sini."
Dia mengulurkan tangan. "Kenalin gue Apra, Aprando Cahyoko. Gue kelas XII IPA 1."
Aku menerima uluran tangannya. "Lo Apra? Yang ikut olimpiade Matematika di Jakarta itu?"
Apra hanya tersenyum. Membuatku membengong. Bagaimana bisa Harjono—pria kecil, pendek, hitam dan bermulut silet itu bapaknya Apra? Mungkin yang membuat Apra tidak sempurna adalah memiliki bapak seperti Harjono.
***
Ternyata pria kecil, pendek, hitam dan bermulut silet ternyata punya anak se-sempurna Apra! Kesihan Apra.
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Beno [ #02 ]
Teen FictionBeno hanya ingin menjadi diri sendiri tanpa perlu dibebani generasi baru penerus bangsa dan tetek-bengek lainnya. Menonton anime, main game online, mengoleksi komik, meliha-lihat para gadis di media sosial dan tidak perlu berbaur dengan dunia luar a...