18. Spidol

3 2 0
                                    

Happy reading!

***

"Ayo, Beno! Jangan takut." Seorang gadis kecil berada di tengah-tengah papan ukuran lebar 15 cm dan panjang 150 cm. Papan tersebut merupakan jembatan penghubung sisi kiri dan kanan kolam ikan.

"Tapi, aku takut," ujarku di ujung berada di tepi kolam.

"Gapapa, aku bakal pegangin kamu." Gadis kecil itu mengulurkan tangannya padaku.

"Gak mau," kataku kekeh.

Dia bertindak. Berjalan ke arahku dan berjongkok menghadap ke kolam. "Ayo, aku gendong," ujar gadis kecil itu bersiap.

"Nanti jatuh."

"Kita bakal jatuh berdua."

Tanpa pikir lagi aku naik ke punggungnya. Dia menggendongku tampak kesusahan. Dengan tertatih-tatih dia mulai berjalan melewati papan tersebut. Tak terduga, di langkahnya ke empat papannya terbelah dua. Kami pun terjatuh.

"Aduh!" seru kami barengan. Setelahnya kami tertawa girang.

Kini tubuh kami basah semua. Kolam ikan yang dangkal hanya sedalam lutut orang dewasa itu airnya menyemburkan ke keluar. "Ada ikan dalam celanaku!" seruku girang kala seekor ikan masuk ke dalam ke celanaku.

"Tangkap!" perintah gadis kecil itu berusaha menahan ikan tersebut keluar dari celanaku.

"Ayo, cepat ambil!"

Aku buru-buru mengambil ikan tersebut. Ternyata seekor ikan nila yang masih kecil. "Ayo, kita tangkap lagi," kataku menyarankan.

Setelah menaruh ikan tadi ke tepi kolam, kami berlari ke sana kemari di dalam kolam berusaha menangkap ikan lagi. Namun, pop sayangnya ikan di sana sangat gesit. Tak satupun berhasil kami tangkap lagi.

"Beno!"

Rasa was-was dan seluruh badanku kakuh. Perasaan tak asing lagi. Aku baru bangun tidur. Namun, kapan aku tidur? Di mana aku sekarang? Bagaimana aku bisa tertidur? Aku berusaha mengumpulkan nyawanya. Ternyata aku tertidur dalam kondisi duduk bersandar.

"Beno, bangun!"

Aku kembali mendengar suara yang sama. Suara itu tak begitu kukenal tapi tak juga asing terdengar. Aku membuka mata, yang pertama kulihat adalah pandangan lapangan futsal yang ramai.

"Woy, Beno!"

Refleks aku menoleh ke samping kanan sesuai sumber suara. Apra duduk sejajar dan memandangku dengan tatapan seolah sedang memastikan sesuatu. Tatapannya beralih ke lapangan. Dia mengatur posisi duduk; kaki diluruskan dan kedua tangannya ke belakang sebagai tumpuan. "Pulas banget lo tidur," katanya terkekeh.

Aku tersenyum, "Suasananya mendukung," ujaraku. Setelahnya mengusap wajah agar tak tampak kusam. Pria itu tampaknya habis bermain futsal karena terlihat mengos-ngos dan berkeringat. Kulihat sekeliling yang berada di sekitar sini hanya anak dengan seragam olahraga saja berkeliaran. Aku baru menyadari kalau mereka semua menatapku. Termasuk guru PJOK; Ardi.

"Sampe bel bunyi lima belas menit lalu gak kedengaren."

"Apa?" seruku kaget.

Perkataan Apra berhasil membuatku kaget. Buru-buru aku mengecek barang bawaan berupa; ponsel yang berada di saku celana dan True Wireless Stereo (TWS) yang masih terpasang di telinga. "Gila! Gue beneran gak sadar. Mana pelajaran Bu Della lagi."

Apra tertawa, "Siap-siap aja lari sepuluh puteran," teriaknya saat aku sudah berlari menuju kelas.

Kulihat orang-orang di lapangan yang merupakan teman sekelas Apra ikut tertawa dari kejauhan. Pak Ardi geleng-geleng saja. Pasti Apra membangunkan tadi atas suruhan beliau.

Sebenarnya bisa saja sampai akhir pelajaran Bu Della tak usah masuk hingga terhindar dari lari mengitari lapangan 10 kali. Namun, beliau itu ingatannya sangat tajam. Di pelajarannya selanjutnya pasti diungkit-ungkit. Apalagi beliau mengajar matematika, dengan begitu dia mengungkit sambil menyuruhku mengerjakan soal.

"Permisi," sapaku di ambang pintu.

Hal pertama yang kulihat di dalam kelas adalah wajah Azzalia yang menatapku di dekat papan tulis. Baru kali ini aku menatapnya dengan ekspresi itu. Jika biasanya tersenyum ataupun tegas tapi kali ini ekspresinya seperti ingin tahu sesuatu serta ditambah rasa terkejut.

"Oh, iya. Silakan masuk, Tuan Muda. Gapapa, langsung duduk aja, ini 'kan rumahmu," seru Bu Della. Sudah pasti itu adalah sindiran untukmu yang baru kembali ke kelas setelah 15 menit bel masuk berbunyi.

Aku berjalan dengan kikuh menuju meja guru. Di tengah perjalanan aku berpapasan dengan Azzalia yang masih menatapku. Namun, hanya kuabaikan. Urusan dengan Bu Della yang terpenting.

"Dari mana aja kamu? Baru kali ini kamu bikin ulah. Ada apa dengan kamu?" tanya Bu Della memarahi.

"Saya tadi ketiduran, Bu."

Semua murid di kelas tertawa. Mungkin alasanku terdengar lucu mereka. Namun, tampaknya tidak untuk Bu Della. "Stop!" Atas perintah dari Bu Della semua seketika senyam meski tanpa menahan tawa.

"Saham bapakmu sudah mencapai 50%? Bisa seenaknya?" hardik Bu Della lagi.

"Jangan gitu, Bu, nanti Bapaknya tutup sekolah ini," seru Reyza salah penghuni kelas ini yang berupa olakan.

"Siap-siap besok di-PHK, Bu," seru Daren ikut mengolok.

"Cepet berlutut, Bu," seru Reyza lagi.

Satu kelas tertawa lagi. "Udah, udah! Cukup!" Bu Della menengahi. "Ibu lupa. Nama kamu siapa?"

"Habis ini bapaknya langsung datang pake helikopter terus bunuh Ibu. Masa anak pemilik saham tertinggi gak dikenal sih," ledek Reyza lagi.

"Kalau mau selamet harus sujud di hadapan Beno, sebelum dia ngadu." Kali ini Latifah Humairah–dengan nama Masya Allah tapi sifat astagfirullah–juga menimbrung.

Lelucon seperti sudah biasa di sini. Dikarenakan sekolah elit dengan banyak investor yang berinvestasi dalam yayasan ini dan beberapa dari mereka menyekolahkan anaknya juga di sini. Maka dari itu banyak banyak dari siswa di sini yang sombong dan semena-mena.

"Jadi, nama kamu siapa?"

Ini sudah sering terjadi. Beberapa guru lupa atau bahkan tidak mengenal namaku. Meski sekarang aku sudah duduk kelas yang artinya setahun lebih aku di sini. Aku memang tidak mencolok di manapun dan aku pun tidak berniat menjadi pusat perhatian. Jadi, aku sudah terbiasa dan nyaman.

"Beno. Beno Efiando Sanjaya," ujarku menyebut namaku sendiri. Padahal aku memakai name tag di baju.

Tiba-tiba sesuatu terjatuh. Refleks aku menoleh ke belakang sesuai sumber suara. Ternyata Azzalia baru saja menjatuhkan spidol yang tadi ia gunakan. Dia berjalan beberapa langkah untuk mengambil spidol yang tergelinding kurang lebih 1 meter darinya.

"Oh, Beno. Atas sikap hari ini yang telat masuk lima belas menit, kamu Ibu hukum ...."

Belum selesai Bu Della berucap, aku dengan cepat berlari untuk mengambil spidol itu. Azzalia tadi sudah siap-siap ingin mengambil spidol itu tapi dengan posisi menungging. Di depan kelas? Apalagi rok sekolah ini cukup ketat dan pendek. Itu tak sedap di pandang.

"Ini spidol," kataku memberikan spidol tersebut.

Azzalia menerima dengan ekspresi terkejut. "Oh, iya. Makasih," ujarnya menerima spidol tersebut. Tiba-tiba berlari hanya untuk mengambil spidol. Cukup mengejutkan. Orang-orang di kelas termasuk Bu Bella juga cukup terkejut.

***

Waduh ... takut aset Aca diliatin orang



This is Beno [ #02 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang