HAPPY READING!
***
Aku kembali duduk di teras setelah kenyang makan bakso dan es teh di kantin. Kulihat Apra—anak Harjono–itu masih menunggu tapi bedanya posisi sekarang ada di teras sama sepertiku. Jaraknya kami lumayan jauh jadi aku tidak perlu menyapanya. Aku mengeluarkan ponsel.
Seharusnya uang yang kupakai membeli makan itu digunakan untuk kuota internet. Ya, memang di rumah ada Wi-Fi tapi tetap saja untuk cadangan kalau-kalau kesalahan teknis dan kesialan menimpa. Lagian di sekolah tidak dipasang Wi-Fi gratis untuk seluruh penghuni. Ponsel tanpa kuota tidak lebih dari batu. Apalagi jika Yang Mulia Ratu sudah mengomel-omel minta Wi-Fi dimatikan.
Ada notifikasi di aplikasi biru muda dengan logo pesawat kertas di tengah-tengah. Buru-buru aku membukanya. Aku harap sesuai harapku. Senyumku mengembang yang kutunggu sudah tiga hari akhirnya tiba. Link untuk menonton salah satu anime yang tengah aku ikuti. Namun, aku menahan untuk menontonnya. Tidak mungkin aku mendownload video itu menggunakan kuota internet di ponselku yang tinggal sedikit.
"Beno?"
Aku mendongak saat namaku disebut. Azzalia berdiri di depan menatapku bingung. Pandang beralih ke tangannya yang menggenggam tangan seseorang. Kini tatapanku tertuju pada Apra yang ternyata pemilik tangan tersebut. Semua sudah jelas kini.
"Lah, masih nunggu? Temen lo belum keluar?" tanya Apra.
Tubuh masih mematung sembari menatap tangan keduanya yang masih tertaut. Azzalia tampak menyadari dan melepaskannya. Kini tatapku tertuju pada wajah Azzalia. Aku tidak tahu harus berkata apa.
"Katanya kamu duluan soalnya ada temen kamu yang nyetir?" tanya Azzalia.
"Kunci motor," kataku pelan.
Azzalia tampak terkejut dengan jawabanku "Tapi, kunci motor udah aku taruh di dalam tas."
"Hah!"
***
Aku menatap punggung Azzalia yang tengah mengendarai Nobe–motor metik hitam butut milik Papa saat zaman-zaman aku SD. Dulu kami memang belum bisa dibilang kaya karena pangkat Papa di Pertamina masih karyawan biasa. Hingga motor tersebut dianggap harga yang bernilai. Kini kehidupan kami meningkat motor itu beralih posisi menjadi harga yang berharga.
Sebenarnya Papa bisa membelikanku motor yang lebih modern dan canggih seperti anak zaman sekarang. Bahkan, mobil berkelas pun bisa kudapatkan. Namun, aku tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian. Hanya sekedar menuai pujian. Cukup biasa dan normal.
Saat ini aku tengah di bonceng Apra. Jadi, aku dibonceng Apra menggunakan motornya dan Azzalia mengendarai motorku. Tidak ada pilihan yang paling tepat selain ini. Apra tidak mungkin ikhlas begitu saja pacarnya satu motor dengan orang lain apalagi posisi membonceng.
Mengingat hal tadi aku kembali teringat dua jam yang aku sia-sia. Kenapa Azzalia tidak bilang dari awal kalau kunci motor ada di dalam tas? Kenapa juga aku selama di kelas aku tidak membuka tas bagian depan yang paling kecil agar menemukan kunci motornya? Beberapa hari ini aku terus mendapatkan kesialan.
"Beno," panggil Apra sembari mengurangi kecepatan motor Ducati hitam miliknya, serta membuka kaca helm.
"Iya?" jawabku ikut membuka kaca helm.
"Lo lumayan deket sama Azza?"
"Deket? Nggak juga. Kita kenal baru kemarin karena dia pindah di sebelah rumah gue. Karena ada insiden tangan gue sakit, nyokap nyuruh dia buat bawa motor gue. Kami bahkan belum ngobrol banyak. Lo cemburu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Beno [ #02 ]
Teen FictionBeno hanya ingin menjadi diri sendiri tanpa perlu dibebani generasi baru penerus bangsa dan tetek-bengek lainnya. Menonton anime, main game online, mengoleksi komik, meliha-lihat para gadis di media sosial dan tidak perlu berbaur dengan dunia luar a...