Happy reading!
***
Au rebahan di sofa sambil menatap layar laptop yang menyala di atas perutku. Di sana sedang memampangkan proses mem-download sebuah video. Saat melihat notifikasi dari aplikasi pesawat kertas bahwasanya episode anime yang aku ikuti sudah di-upload, pulang sekolah langsung aku download.
"Papa beli mahal-mahal laptop cuma buat lo nonton kartun."
Aku melihat Dandi yang memilih duduk di sofa ukuran dua orang. Kulirik tangannya yang dibalut perban. Dandi juga mengalami hal yang sama denganku. Bahkan termasuk cara berangkat kami. Bedanya aku dibonceng oleh Azzalia menggunakan motor sedangkan Dandi disetir oleh Veronica menggunakan mobil. Ada juga bedanya, Azzalia bukan siapa-siapaku tapi Veronica pacarnya Dandi.
"Anime," kataku membela.
"Sama aja."
"Terserah." Aku memilih tak berdebat dan fokus pada laptop.
"Aca masih di kamar lo?"
Tatapku tertuju pada Dandi sekilas lalu beralih ke dapur. "Mama! Kak Dandi ngomong pake lo-gue sama aku!"
Dandi mengumpat dengan menyebut nama hewan berbulu yang suka menggonggong dan melempar bantal sofa ke arahku. "Dasar pengadu!"
"Mama ...," Belum selesai aku berteriak Dandi tiba-tiba mendekap wajahku dengan bantal sofa yang tadi dia lempar. Aku berusaha melepaskan diri karena tidak bisa bernapas. Aku juga merasa kalau laptopku jatuh.
"Mati aja lu! Biar gue gak usah berbagi harta warisan."
"Kalian ini!"
Bantal itu akhirnya terlepas dariku dan aku bisa bernafas lega. Dandi gila. Aku pikir Dandi benar-benar akan membunuhku. Cepat-cepat aku menghirup udara sebanyak-banyaknya. "Kalo aku mati yang merusak rumah tangga Kak Dandi bareng Veronica siapa? Iya 'kan, Ma?"
"Bacot lo!"
"Tuh, Ma. Kak Dandi gak sapon!"
"Udah, udah. Kalian itu kapan dewasanya, sih? Di rumah lagi ada tamu masih aja banyak tingkah. Punya anak dua berasa ngajar anak TK sekelas. Kapan Mama pensiun jadi guru TK?"
Aku mengambil laptop yang jatuh dan menaruh hati-hati ke meja. Dari layar laptop aku melihat pantulan Azzalia yang tengah menuruni tangga. Apa dia memikirkan kejadian tadi? Kejadian saat aku hanya mengenakan kaos kaki, dasi dan celana dalam. Itu pasti membekas di ingatannya.
"Kakak! Adek! Kalian denger gak, sih?"
Kepalaku mendongak ke arah Mama. Astaga, apa yang terakhir kali Mama katakan? Aku kembali menunduk dan tertuju pada layar laptop. Artinya kembali melihat pantulan Azzalia di layar laptop.
"Jangan-jangan kalian ini caper di depan Aca."
"Tante, aku pamit pulang, ya." Azzalia hadir di samping Mama saat namanya di sebut sambil menggendong koper besar itu. Aku masih mencari-cari alasan di mana pertama kali aku mencium bau yang sama seperti di koper tersebut. Rasanya itu tak asing tapi di mana pertama kalinya?
"Ca, biar gue bantu bawa." Aku berdiri. Namun, baru selangkah Dandi berkata. "Gak usah caper. Lo ngangkat badan lo aja beban."
"Ma!" rengekku sok imut.
Dandi tiba-tiba melempar bantal sofa yang dia gunakan sebagai senjata untuk percobaan pembunuhan terhadapku. "Manja!"
"Iya, ya. Yang sok keras!"
"Tangan Adek 'kan sakit, emang bisa bawa koper itu?" tanya Mama.
Aku menghampiri Azzalia. "Aku tau kemampuanku kok, Ma. Makanya aku bantu bawa kantong plastik ini aja," ujarku sambil mengambil kantong plastik ukuran sedang di tangan Azzalia. Untung ini ringan.
"Gak usah!" Azzalia mengambil kantong tersebut.
Aku kembali merenggutnya. "Udah gak papa ngurangin beban."
"Apa sih! Aku gak butuh." Dia tampak tidak mau mengalah dan mengambil lagi kantong itu.
Jiwa tidak mau mengalahku memberontak. Aku merampas paksa kantong tersebut dengan kasar. Dia menariknya tak kalah kasar hingga kantong itu robek dan isinya berserakan.
"Aku ada janji sama Veronika." Dandi bergegas pergi dari sana. "Ma, aku berangkat dulu. Aku gak ikut makan malam," teriak Dandi sambil berlari menuju pintu utama.
"Maaf," ujarku langsung berlari menuju tangga.
Ini benar-benar situasi yang canggung. Isi kantong plastik yang kami perebutkan itu yang kini berserakan di lantai ternyata pembalut. Pantas saja ringan. Aku tidak berani melihat Azzalia ataupun ekspresinya. Setelah hal memalukan di kamar dan di ruang tamu tadi aku tidak tahu apa hubungan akan baik-baik saja. Tapi, cukup impas.
***
"Ma, aku berangkat, ya!"
Aku menuruni tangga sudah siap semua untuk berangkat sekolah. Tanganku juga sudah mendingan jadi aku tidak perlu khawatir soal berangkatnya. Hari ini ekskul basket, pulangnya sore. Semangatku sedikit berkurang. Aku tak terlalu suka berkumpul dengan orang-orang yang masih asing bagiku.
"Adek udah mau berangkat?" tanya Mama tengah membersihkan meja makan.
"Iya, Ma," jawabku sambil menyodorkan tangan untuk salaman.
Mama menerima salamku. "Adek hari bisa bawa motor sendiri 'kan?"
"Bisa, Ma."
"Itu Aca diajak."
Aku menatap Mama tidak percaya. Dengan beberapa insiden kemarin aku bahkan kalau bisa tidak ingin setunggal planet dengannya. Akan benar-benar canggung jika kami bertemu. "Dia punya pacar, Ma. Yang ada aku dikira ganggu hubungan orang," ujarku berusaha menolak.
"Pacarnya itu Apra. Anak Pak Harjono, temen Papa. Dia pernah main ke sini tapi kamu gak keluar kamar."
"Mau siapapun kalau liat pacarnya dibonceng orang lain pasti bakal cemburu." Aku balik badan dan mulai berjalan ke pintu utama.
"Bakal susah dapetin Aca. Secara Apra itu jauh ..., jauh banget dari kamu. Dia ganteng, macho, jabatan Bapaknya lebih tinggi dari Papa."
Langkahku terhenti. Itu artinya Apra lebih tampan dariku, lebih macho dan lebih kaya. "Kalau yang dicari Aca bukan itu, ya, tetep gak berguna kelebihan Apra," kataku tanpa menatap ke belakang dan berjalan lurus. Aku berani berkata itu karena ucapan Apra kemarin. Miris sekali jadi Apra.
"Jadi, kamu yakin bisa dapetin Aca walaupun Apra lebih-lebih segala-galanya dari kamu?"
Aku berhenti melangkah dan menoleh ke Mama yang jarak kami sudah jauh. Mama memandang dengan sudut pandang yang berbeda. "Aku gak ada niat buat dapetin Aca."
***
"Kalau yang dicari Aca bukan itu, ya, tetep gak berguna kelebihan Apra."
- Beno
NEXT
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Beno [ #02 ]
Teen FictionBeno hanya ingin menjadi diri sendiri tanpa perlu dibebani generasi baru penerus bangsa dan tetek-bengek lainnya. Menonton anime, main game online, mengoleksi komik, meliha-lihat para gadis di media sosial dan tidak perlu berbaur dengan dunia luar a...