9. Who's The Father ?

1.5K 49 0
                                    

Cahaya temaram yang masuk melalui sela-sela jendela membuatku terbangun. Aku mengerjap pelan sebelum akhirnya menyapukan pandangan ke sekitar.

Desahan kesal kembali lolos dari bibirku saat menyadari bahwa aku masih terjebak di Rumah Sakit. Di susul ingatan lain akan apa yang tengah menimpaku sekarang sungguh membuatku ingin kembali tidur saja supaya aku bisa melupakan hal ini sejenak.

Rasa sakit menyapa lenganku saat aku bergerak untuk bangkit, mencari posisi nyaman untuk duduk. Sedikit kesulitan karena selang infusku tidak cukup panjang untuk membuat gerakanku leluasa.

Ternyata setelah ku perhatikan, ruanganku agaknya sedikit berbeda. Mungkin mereka memindahkanku saat aku tertidur.

Aku bersandar dengan posisi setengah duduk sembari mengamati satu persatu pria ku yang tidur tergeletak  memenuhi isi ruangan yang kuyakini adalah ruangan VVIP. Tidak perlu tanya siapa lagi ulahnya. Mereka memang selalu memberiku terbaik dari yang terbaik.

Dengan senyum bahagia aku meraih tangan yang berbaring paling dekat denganku. Liam seketika tersentak ketika aku menyentuhnya.

"Caitleen!?"

"Hmm... I'm still here." kataku menenangkan. Sejak kemarin dia selalu menatap khawatir kepadaku. Padahal aku sudah tidak apa-apa. Bahkan gejala mual ku tak lagi kurasakan pagi ini.

"Thank, God."Dia balas mengusap lembut tanganku. "I think i need some coffe."

"Yeah, aku juga." Jeff bergumam dari kursi yang sempat di tendangnya kemarin sebelum akhirnya berjalan ke sisi kananku. Dia menggeliatkan leher ke kanan dan ke kiri, berusaha melemaskannya. Pasti tidur di kursi sepanjang malam membuatnya tersiksa.

"Aku akan pergi mencari kopi untuk kita." dia mendaratkan sebuah ciuman di keningku. "Butuh sesuatu, baby girl?"

Kebetulan karena mulutku masih terasa lengket dan terasa pahit, jadi aku ikut memesan. Sebotol minuman rasa jeruk agaknya tidak masalah untuk kandunganku.

"Aku ingin minuman dingin rasa jeruk. Boleh?"

Jeff tersenyum lalu mengelus pelipisku. "Kau akan mendapatkannya." lalu kembali ia mengecup keningku.

Aku tak bisa mengalihkan pandangan darinya sampai Jeff benar-benar menghilang. Bahkan aku masih menatap hampa pintu keluar sampai akhirnya suara Liam mengalihkanku.

"Bodoh." gumamnya sambil bernapas panjang.

"Shut up, Liam!" Sialan. Lagi-lagi Liam memergokiku menatap Jeff berlama-lama.

"Apa kau--"

"Liam, please." pintaku. "I dont wanna talk about this, okay?" sungguh aku terlalu merasa aneh jika membicarakan ini dengan salah satu dari mereka.

Liam menggelengkan kepalanya lalu berdiri, menggertakan leher dan punggungnya sampai ia memapu bergerak dengan mudah.

"Sepertinya kau terlihat jauh lebih baik, Cait." dia menangkup sebelah pipiku dengan tangan besarnya. "Sudah lama aku tidak melihat warna pipimu selama seminggu ini."

Aku tersenyum. "Aku bilang apa. Kalian tidak perlu khawatir. Aku memang sudah sembuh."

"Oke oke, aku percaya. Tapi kau harus tetap istirahat disini sampai dokter sialan itu menyatakan kau pulih total."

"Tapi, Liam. Aku bosan disini." rengekku.

Liam berdecak kesal. "Aku tidak menerima penolakan, Caitleen. Kau harus sembuh atau kita tidak liburan sama sekali"

Aku menarik napas lalu menghembuskan nya lambat. Jika dia sudah mengancamku seperti itu aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Liburan ini sungguh impianku, aku harus melakukannya.

Living With The RockersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang