Satu hari sebelumnya...
Sinar matahari tiba-tiba saja menyeruak bersamaan dengan gemerisik suara tirai yang digeser secara tergesa-gesa. Tanganku meraih tepian selimut lalu menariknya menutupi kepala, berusaha kembali masuk ke alam mimpi. Tentu saja, usaha itu sia-sia belaka. Serangkai jemari kecil menggoyangkan tubuhku lalu menarik selimut rajut merah maroon itu hingga terbuka sepenuhnya.
"Seriously? Di hari terakhir kita, Kakak malah tidur sampai tengah hari? Bangun, gadis pemalas!"
"Aaargh!" Aku terpaksa duduk lalu membuka mata. Jam dinding menunjukan pukul sepuluh. Kulirik bocah yang masih melompat-lompat seolah kasur per ini adalah trampolin di taman bermain. "Ini belum tengah hari, silly! Tengah hari itu jam dua belas. Semalam aku begadang nonton ulang The Hunger Games. Biarin aku tidur satu jam lagi, please?"
Kini ia terduduk dengan wajah memberengut, lalu dengan dramatis melemparkan tubuhnya ke pangkuanku. "Tapi, Kakak bilang hari ini kita mau main ke Game Station seharian. Kan, ini hari terakhir."
Aku tertawa kecil. Neo dan aku memiliki perbedaan usia nyaris dua belas tahun. Ibu kami meninggal karena kanker lima tahun lalu, saat Neo belum genap berusia satu tahun. Sejak itu, otomatis hubungan kami menjadi sangat erat. Aku adalah kakak, sahabat, sekaligus ibu baginya.
"Bukan hari terakhir kita, cuma hari terakhir liburan. Aku cuma seminggu menginap di rumah Bude, minggu depan juga kita bakal ketemu lagi."
Senin depan aku akan resmi menjadi siswi kelas tiga di salah satu SMA favorit ibu kota. Masa yang pastinya akan sangat berat, dengan jadwal bimbingan belajar dan pemantapan yang seolah tak ada hentinya. Belum lagi, menjadi siswi kelas tiga berarti secara resmi aku harus meninggalkan segala kegiatan sekolah non akademik. Itu artinya, aku harus melepas jabatan sebagai kepala bidang seni di OSIS. Kegiatan OSIS telah menjadi pusat kehidupan SMA-ku sejak dua tahun lalu. Melepaskannya terasa sedikit berat.
Hari-hari terakhir yang seharusnya masih bisa kunikmati sebelum menghadapi tahun yang berat di depan mata berakhir sudah. Terima kasih banyak untuk Ayah yang tetap konsisten memaksaku menghabiskan setengah dari setiap liburan sekolah untuk pergi berlibur ke Bandung, ke rumah saudara kandung beliau semata wayang, Bude Nti.
Berlibur? Yang benar saja! Rasanya lebih seperti hukuman atas kesalahan yang tak kuperbuat. Masalahnya, bahkan sejak aku kecil, aku sudah merasa tidak nyaman setiap berada di rumah bude.
Alasan utamanya adalah Diandra, sepupu yang berusia dua tahun lebih tua dariku. Bagaimana bisa akrab, bila gadis berkacamata tebal dengan rambut sekaku papan tulis dan muka serius itu selalu meremehkan? Maksudku, bukannya dia pernah menghina atau apa. Itu sama sekali tidak perlu, karena sudah terpampang jelas dari raut wajah yang angkuh dan caranya berbicara—ia merasa dirinya lebih segala-galanya dariku. Apalagi sejak ia diterima di universitas teknologi terbesar di Indonesia.
Cih, kutu buku yang hanya tahu belajar seperti dia, mana tahu sulitnya mengetuai acara pentas seni terbesar se-Jakarta? Ingin rasanya membuktikan, bahwa aku pun mampu diterima di universitas yang berlokasi di Bandung itu tahun depan. Namun, membayangkan harus berkuliah di kampus yang sama dengannya belum apa-apa sudah membuatku mual.
Diandra juga adalah alasan utama mengapa pemaksaan ini terjadi sejak awal. Ayah dan Bude sangat akrab sedari kecil. Tumbuh hanya dua bersaudara pada zaman di mana umumnya keluarga memiliki lima anak atau lebih, membuat mereka tak terpisahkan. Tak punya pilihan lain, aku dan Diandra wajib akrab. Usia yang hampir sebaya dan jenis kelamin yang sama membuat harapan Ayah dan Bude bahwa kami dapat menjadi layaknya saudari melambung tinggi.
"Kenapa aku gak boleh ikut ke sana, sih?" Pertanyaan Neo memecahkan lamunan, pertanyaan yang sama yang dia ajukan setiap jadwal liburan datang.
"Karena kamu bakal bosan setengah mati. Di sana itu sepi, gak ada Wi-Fi, gak ada Nintendo, gak ada tukang jajanan yang lewat, gak ada teman sebaya juga. Karena rumah Bude bukan di perumahan, jadi gak ada tetangga dekat. Kamu mau ngapain hayo di sana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Glitch
Science FictionGlitch (completed) ------------------------------------------------------- "Neo lagi apa, Yah? Aku mau bicara, dong." "Siapa?" "Neo. Udah bangun belum dia?" "Neo siapa, Lin?" Aku bersumpah jantungku berhenti berdetak selama beberapa detik. "Maksud...